Bertemu lagi

1 0 0
                                    

Hari ini mendung, luar biasa bagiku. Karena libur kuputuskan pergi ke bengkel tempat mobil Gayla diperbaiki. Tempat itu lumayan jauh, aku harus cepat takut kalau tiba-tiba matahari muncul.

Bengkelnya tak terlalu besar, hanya beberapa karyawan dan mobil-mobil yang sedang mereka perbaiki.
"Ada yang bisa kubantu?" Tanya seorang pria berseragam hitam lusuh.
"Em.. aku ingin tahu mobil sedan kecil kemarin apa sudah selesai diperbaiki" kataku.
"Yup, sudah selesai kau bisa ambil kapanpun, ini totalnya" pria itu memberiku tip. Aku menyodorkan beberapa uang lembar
"Apa itu mobilmu?" Tanyanya tiba-tiba.
"Bukan, itu milik temanku"
"Oh. Pantas saja kemarin ada seorang wanita datang menanyakan mobil itu"
"Kalau dia kemari berikan mobil itu padanya, namanya Gayla" ucapku.
"Baiklah"

Masalahku selesai dan harusnya aku senang, apa aku bisa bertemu dengannya lagi?. Keinginan yang menurutku benar-benar konyol. Kupandangi jalanan dihadapanku meliuk-liuk seperti pikiranku. Biarpun rumahku sudah di depan mata, tapi pikiranku masih ke lain hal.
"Hai Aland" sapa Elidi ketika aku membuka pintu mobil.
"Ada apa?" Tanyaku seramah mungkin.
"Bisa kita ngobrol, sambil jalan-jalan" ajaknya.
"Tidak masalah".

Kami berbincang hangat di tepi Sungai Rose. Dia terus saja menatapku dengan tatapan anehnya.
"Jujur aku tak suka tatapanmu" ucapku.
"Kalau begitu jangan hiraukan, aku biasa menatapmu sambil senyum-senyum sendiri"
"Memang inti pembicaraan ini apa" tanyaku.
"Kau ingat 10 tahun yang lalu, aku pernah mengatakan perasaanku padamu. Aku ingin tahu jawabannya sekarang," wajahnya berseri-seri.
Aku bingung harus mengatakan apa, karena jujur saja aku tidak sama sekali mencintainya melebihi adik. Apa ini akan menyinggung perasaannya.
"Untuk selamanya kau tetap ku sayangi sebagai adik, apa itu sudah cukup" tuturku.
"Apa ini karena gadis itu, menjijikan" nadanya naik satu oktaf.
"Kau tak tahu apapun tentang perasaanku" aku memberi penekanan di setiap kata yang kuucapkan dengan hati-hati namun terdengar marah.
"Jadi aku benar, ayah pasti bakal menyesal seumur hidupnya" nadanya menyindir.
"Apa sih masalahmu? Kau selalu membawa-bawa ayah dalam setiap permasalahan kita" batinku mulai tak enak.
"Aku mencintaimu, Aland dan kau tahu itu. Tak sepantasnya kau mengacuhkan aku," nadanya melembut bersama tatapanya.
"Tapi aku tidak seperti itu, tidak bisa" bujukku.
"Kenapa"
"Karena, bukan seperti kau yang kucari. Aku menunggunya dan akan selalu begitu, kuharap kau mengerti" jelasku, wajahnya menekuk kesedihan. Aku buru-buru pergi sebelum dia menatapku. Ini tidak benar, seharusnya aku tidak membiarkannya sedih seperti itu. Seketika itu langkahku terhenti tapi sesuatu membisikiku untuk segera pergi. Dan itu berhasil.

Aku membaca buku di balkon kamarku, novel karangan lama. Sesuatu berdering di saku celanaku dan membuat semua imajinasi khayalan saat membaca tadi buyar.
"Hello," ucapku
"Hai Aland, ini Gayla" aku terkejut ketika mendengar namanya disebut, napasku megap-megap. Kucoba terdengar rileks.
"Ya. Ada apa?" Tanyaku
"Terima kasih tentang mobilku, aku dapat nomor handphone mu dari petugas bengkel. Jadi...kapan aku bisa membalas budi" suaranya terdengar indah.
"Terserah saja, aku akan mengikutimu"
"Kau suka apa" tanyanya.
"Apa saja"
"Ehm...kalau gitu, kutunggu kau sore ini di perbatasan kota dekat sungai rose. Oke"
"Tidak masalah"
"Oke bye" tutupnya. Ada apa ini, kenapa perasaanku senang sekali mendengar ajakannya. Aku mulai menebak-nebak apa yang direncanakannya nanti, sore hari perbatasan kota. Aku terus menggingatnya tanpa henti.

Cisco memandangku ragu dan cemas, sebab mungkin saja sore ini matahari kan keluar. Disana juga kabutnya tidak terlalu pekat.
"Aku sudah janji padanya" kataku.
"Kalau begitu hati-hati" ada nada mengejek di dalamnya, seperti menahan tawa. Aku meminjam mercedez milik Cisco, hanya bosan dengan porsche ku. Dan segera melaju karena perasaan ini tidak bisa ditahan lagi.

Mataku menjelajahi sudut-sudut pinggir jalan dimana ia memarkir mobilnya. Rupanya ia sedang bersandar di pintu mobilnya sambil melipat tangannya di dada. Gayla hanya memakai celana jeans hitam, kaos putih lusuh dan jaket kulit warna coklat tua yang kontras dengan rambutnya yang hitam kemerahan. Dia melonjak kaget ketika aku mengklakson di kejauhan, aku tertawa melihat reaksinya.
"Kau melamun atau apa, hah" tanyaku tekekeh ketika sampai di tempatnya berada.
"Tidak juga" jawabnya singkat sembari menyunggingkan senyum.
"Jadi apa hadiahku, tiket nonton atau liburan keliling eropa" ucapku sok akrab, wajahnya memelas sedih.
"Maaf, kupikir sore ini matahari bakal muncul, tapi ternyata...hadiahku batal" ucapnya sedikit kecewa.
"Yeah mungkin aku harus bersabar"
"Kita jalan-jalan saja, ya. Daripada kau pulang lebih cepat" ajaknya.
"Boleh juga".

Kami sama-sama menelusuri jalan setapak menuju sugai rose di perbatasan kota. Udaranya sejuk sedikit dingin dan hangat, pepohonan juga agak basah dan langit berkabut lembut. Dia berjalan kikuk di depanku, sebentar-sebentar melirik ke belakang.
"Hati-hati banyak ranting" ucapku datar padanya. Gemericik air mengalir deras memecah bebatuan kecil di pinggir sungai rose. Hiruk pikuk burung-burung liar terbang melingkar di atasnya.
"Menurutku ini cukup" kataku.
"Maksudmu, untuk hadiah balas budi" tukasnya memandangku.
"Well, aku sebenarnya ingin melihat matahari terbenam. Bersamamu".
"Aku juga" pipinya merona, memangnya kenapa.

"Jadi kau ini seperti apa" pertanyaan konyol macam apa yang diberikannya padaku.
"Seperti...dihadapanmu sekarang"
"Keluargamu mungkin"
"Aku empat bersaudara, Cisco,Elidi dan Zena. Orangtuaku pekerja bisnis, mereka sering keluar kota bahkan benua. Jadi aku jarang bertemu. Kau"
"Tidak jauh beda dengan orangtuamu, ibuku meninggal dua bulan setelah kematian kakakku. Sedangkan ayah...well sibuk dengan bisnisnya" jelasnya dengan datar.
"Kenapa bisa begitu" tanyaku.
"Sampai sekarang aku juga belum tahu, dia mati secara misterius. Apa kau takut" ucapnya sambil terkekeh di bagian akhir.
"Tidak".
"Kau punya berapa mobil, maksudku terakhir kali kau dengan porsche hitam dan sekarang mercedez mewah" tanyanya antusias.
"Kami masing-masing punya satu mobil, dan mercedez itu milik Cisco. Jujur, kalau kau bertemu dengannya jangan sekali-kali memiminjam apapun darinya. Itu seperti kau berurusan dengan retenir" dia tertawa dengan ucapanku barusan.

Hari semakin sore dan udara semakin dingin, kami mengobrol tanpa henti. Dia membahas tentang sekolahnya, rumahnya dan tugasnya sehari-hari. Gayla tipikal gadis yang rajin dalam urusan rumah.
"Sungguh kupikir kau punya suami" ejekku.
"Dan kau apa kau punya teman kencan" nadanya terdengar membalas tapi terdengar asik.
"Tidak"
"Mustahil, kau bohong kan"
"Memangnya kenapa" tanyaku.
"Secara kau tampan, mempesona, kaya pasti banyak yang menyukaimu" ringkasnya.
"Jadi aku membuatmu terpesona dengan semua itu" wajahnya memerah karena malu dan binggung harus mengatakan apa.
"Siapapun yang melihatmu pasti berpikiran sama denganku, apa kau tidak menyadarinya"
"Tidak" dustaku.

Kami terdiam cukup lama, memandang lurus ke hijau hutan dan jernihnya air sungai. Aku terus memandang wajahnya di balik kelopak mataku, dia sama sekali tak berkutik. Matanya memancarkan keindahan, bibirnya kemerahan dan penuh, kulitnya seputih salju. Kemudian dia berpaling menghadapku, yang saat itu aku sedang memandangnya. Langsung saja aku berpaling, diriku seperti salah tingkah.
"Aku harus pulang untuk menyiapkan makan malam ayahku" ucapnya.
"Baik. Boleh aku mengantarmu," pintaku, ia berpikir beberapa saat.
"Tak masalah. Ayo".

Aku mengikuti mobilnya dari belakang, menembus kabut dan keheningan temaram yang tersembunyi di baliknya. Mobilnya memasuki daerah pemukiman yang sedikit penduduk, lampu-lampu rumah dan jalan mulai dinyalakan. Sedan gayla berhenti tepat di pinggir jalan dan rumah bergaya klasik eropa, bercat coklat dan tingkat dua.
"Jadi ini rumahmu" tanyaku
"Ini warisan dari kakekku, ayah tak berani menjualnya. Padahal kalau dijual lumayan untuk membeli seratus porschemu" ia terkekeh ketika mengucapkan kalimat terakhir.
"Aku tak ingin menggangumu, sebaiknya aku pulang saja. Sampai jumpa" aku memberinya senyuman terbaikku. Sebelum mobilku berlalu melewati pemukiman dan disambut hutan lagi, aku bersumpah melihatnya tertawa.

The Sun In The Grey SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang