Tamu tak diundang

0 0 0
                                    

Aku datang ke sekolah lebih awal dibanding murid yang lain, apalagi saudaraku. Hari ini ada ujian kalkulus khusus anak-anak dengan nilai di bawah standar. Jadi mungkin akan banyak waktu kosong bagiku, sambil berpikir apa yang akan kulakukan di kantin sekolah ini. Karena masih terlalu pagi apa tak sebaiknya aku mengantar Gayla ke sekolah saja. Tidak banyak waktu, ku tinggalkan kantin menuju parkiran. Karena gerimis, mobilku ku parkir dekat tangga menuju kelas. Beberapa siswa mulai berdatangan takut kalau-kalau hujan lebih deras nanti siang.

Aku harus memikirkan alasan yang tepat untuk menjelaskan pada Gayla mengapa aku harus mengantarnya ke sekolah. Sepanjang perjalanan ke rumahnya, banyak alasan yang berkecamuk di pikiranku. Beberapa meter lagi aku sampai, sesuatu menghalangi pandanganku, kuhentikan mobilku yang suaranya mendecit dari kejauhan. Gayla sedang bersama seorang pria, rambutnya hitam keperakan, kulitnya putih seperti Gayla, gayanya juga menarik dan wajahnya lumayan tampan. Aku bisa mendengar apa yang mereka bicarakan dari kejauhan. Mereka sedang tertawa bersama.
"Jadi kapan kau akan mengajaknya" tanya Gayla pada pria itu.
"Aku tak berniat begitu, maksudku bukan dia yang kuajak tapi kau" jawabnya malu-malu.
"Hei, ini kan cuma tugas kelompok, lagi pula aku berpasangan dengan Rob. Kau gabung dengannya saja" ucap Gayla mencoba meyakinkan. Wajah pria itu tertunduk menahan kesesalan akan jawaban Gayla. Kenapa perasaanku tiba-tiba cemburu?. Apa ini benar cemburu.

"Bisa kita berangkat bersama ke sekolah" ajak si pria dengan semangat. Aku tak tahan melihatnya, kuambil kendali sekarang. Aku turun dari mobil dengan gaya mempesona, membuat mereka berdua beralih pandang padaku.
"Hai" sapaku pada Gayla dengan senyuman menggodaku, pipinya merona lagi.
"Hai Aland, ada apa" tanyanya sambil tersenyum.
"Aku ingin mengantarmu ke sekolah, tapi kalau kau tak ada janji dengan seseorang" aku sedikit melirik pria itu sebentar, wajahnya penuh kejengkelan ketika aku menyindirnya.
"kita pergi bersama saja" usul Gayla.
"Apa tidak terlalu ramai" kata pria itu
"Justru bagus, Daniel" kata Gayla, ternyata pria itu bernama Daniel. Tiba-tiba telepon Daniel berdering di sakunya, wajahnya berubah kecut saat melihat siapa yang menelponnya di layar handpone.
"Ya ya ya. Baiklah aku kesana" katanya. Dia meminta maaf pada Gayla, dan segera berlalu bersama vannya tanpa memedulikan aku.
"Pacarmu ya" tebakku, dia tertawa renyah.
"Bukan. Yang benar saja, belum pernah aku suka dengan pria manapun. Apalagi dia" ia masih saja tertawa
"Sepertinya Daniel itu menyukaimu"
"Kuharap tak seperti itu" katanya
"Aku juga".

"Mau kuantar" tawarku lagi.
"Kenapa kau harus mengantarku" tanyanya ragu-ragu. Sudah kuduga.
"Ehm...aku masih punya banyak waktu sebelum ke sekolah"
"Yup. Boleh, aku akan mengambil tas dulu" sambil berbalik ke rumahnya. Dia kembali dengan tas ransel coklatnya dan jaket hitam lumayan tebal untuk cuaca sekarang.
"Kau naik mobil bersamaku, aku akan menjemputmu saat pulang. Kau mau" ku berikan lagi senyuman mempesonaku dan ia mengganguk setuju. Aku membukakan pintunya dan beralih ke kursiku.
"IFE Education high school?" Tanyaku
"Kau lurus saja ke utara"
"Kamu pikir aku tak tahu" ucapku terkekeh dan wajah ceria.
"Ini serius, maksudku kamu ngga terlambat" ia memandangku kurang yakin dengan keadaan yang sebenarnya.
"Bukan masalah kok, santai saja" aku menambah laju kecepatan. Dia melirik-lirik bagian mobilku yang mewah penuh takjub di wajahnya.
"Berapa harga mobil ini" tanyanya sambil mengotak-atik sound system.
"Well lumayan mahal, hanya beberapa di Eropa"
"Kau suka lagu apa" dia melihat daftar laguku.
"Ini semua kesukaan saudaraku, aku tidak terlalu menyukai lagu. Lebih tepatnya menyukai membaca".

"Novel, majalah atau koran?"
"Novel klasik" jawabku.
"Berapa banyak di rumahmu"
"Seperti perpustakaan sekolah, aku mengoleksinya. Beberapa hadiah dan aku yang membelinya langsung"
"Aku suka melamun dibanding membaca novel klasik yang membosankan" dia tertawa.
"Kau harus mencobanya". Kami sampai disekolahnya yang sudah dipenuhi para siswa, aku memasuki parkiran sekolahnya yang sesak sampai-sampai harus membunyikan klakson. Mereka semua menatap mobilku dengan takjub, dan menebak-nebak siapa yang membawanya.

The Sun In The Grey SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang