1. Awal

1.9K 92 47
                                    

Kau yang selama ini
Tak lagi mampu ku dekati
Walau telah ku coba
Agar dirimu dapat mengerti

Kau kala ku ingin
Kesungguhan cinta darimu
Kau semakin jauh...
Hilang bagaikan tertiup angin

Kau yang memberi terang
Kala petang membayangi
Ku salah menduga
Arti kehadiran dirimu

Kau bukan untukku
Mengapa ku semakin rindu
Salahkah diriku
Bila ku harapkan
Kau tahu tangis hatiku..

Mp3 Lagu Almarhumah Nike Ardila dengan judul yang kurang Alfin ingat itu, kini terputar memenuhi ruangan tempatnya berkemas menuju tempat yang orang bilang sekolah.

Berkat lagu itu ia menjadi Relaxed, tampak ada makna kelam dan menyakitkan didalamnya. Ah entahlah.. sejak kapan ia menjadi seorang pengamat lagu?

Tapi overall, lagu tersebut adalah salah satu tembang favoritnya dari mendiang Gadis cantik kelahiran tahun 1975 itu.

Andai beliau masih hidup, usianya sudah setara dengan Bunda tercintanya mungkin. Tapi sudahlah.. tidak ada yang tahu perihal usia seseorang, bukan?

"ALFIN... CEPETAN!" Alfin mendecak malas dengan suara Kakak tertuanya yang begitu melengking bak speaker hajatan yang kemarin sempat-sempatnya dangdutan di depan rumahnya.

"Iya iya Bang Rivan! Tungguin! Bentar lagi beres!" Alih-alih menyelesaikan acara memakai atributnya, Alfin malah berguling-guling malas, kemudian memeluk guling kesayangannya, bersantai sambil sesekali memejamkan matanya ingin kembali tidur. Kalau saja suara yang terdengar lebih mirip seperti suara maling yang memaksa masuk, tidak menyeruak di indera pendengarannya.

"Iya iya Bang!" Alfin menaikan resleting celananya cepat, menyambar tas, kemudian memakai dasinya dengan kecepatan Mach yang setara dengan kekuatan kucing nyolong ikan itu.

Ia kemudian membuka pintu, dan melihat Kakaknya bersandar di tembok sambil menatap dirinya kesal.

"Lama! Kayak apa aja lu Fin!" Rivan melenggang mendahului Alfin.

Damn it! Masih pagi, dan Rivan sudah membuatnya kesal. Oke, ingatkan Alfin untuk memukul kakaknya itu nanti siang.

"Bang! Kok ditinggal sih! Aish.." Dengan langkah berat, Alfinpun menyusul Rivan.

'Selamat tinggal kasur, bantal, guling, dan selimut. Kita ketemu lagin nanti sore ya' Batin Alfin lalu mempercepat langkahnya menyusul sang kakak.

Rivan Nurmulki, 18 tahun. Usianya hanya terpaut satu tahun dari Alfin.

Dan well, Rivan itu bukan kakak kandung Alfin. Rivan adalah anak dari pamannya. Namun karena suatu alasan tertentu, akhirnya Bunda mengangkatnya sebagai anak. Ayah dan Bunda sudah menganggap Rivan seperti anak kandung mereka sendiri. Ketika usia mereka masih kisaran 2 sampai 3 tahunan, mereka mulai merawat Rivan dan Alfin bersama.

Yeah.. semenjak tinggal serumah, Alfin yang memiliki kepribadian supel dan terlampau hiperaktif selalu menganggu Rivan. Rivan yang pada dasarnya cuek hanya menuruti Kemauan adik angkatnya itu sekenanya. Kepribadian mereka terpelanting jauh 180 derajat dari radius masing-masing.

Rivan sudah terbiasa dengan Alfin yang seenaknya itu.

"Gak mau tahu.. nanti pulang sekolah, Bang Rivan harus anterin Alfin ke rumah Alif!" Alfin berujar demikian, memasang ekspresi merajuk yang terlihat pas di wajah jawa-cina nya.

Rivan menghela napas; "Sendiri saja Fin.. abang mau ke toko dulu nanti.."

Alfin tersenyum sumringah seketika, yang tampak mengerikan di mata Rivan.
"Ikut!"
Kalau sudah berkata demikian, tidak ada penolakan lagi baginya.

Alfin Daniel Pratama, sejak dahulu Rivan selalu meminta kepada Bundanya untuk mengganti nama Alfin menjadi Alfin Daniel Dwitama.

Well, sebagai kakak ia tidak ingin dilangkahi oleh adiknya. Meskipun Alfin bukan adik kandungnya, tetapi tetap saja.

Namun Bunda hanya menanggapi usul Rivan yang lebih idealnya disebut dengan protesan Rivan dengan perkataan halus ala dirinya, yang selalu sukses membuat Rivan berhenti memohon.

Ah biarkan saja, toh Mau namanya Pratama atau Pratami sekalipun, yang menjadi kakak disini tetaplah Rivan Nurmulki.

"Abang..abang.. Alfin besok mau ikut teman-teman lari pagi ya.." Sahut Adiknya, wajahnya ia lihat di spion matic yang kini sedang berjalan membelah jalanan ke sekolah yang jaraknya lumayan jauh tersebut.

"Kemana?" Tanyanya cuek padahal sebenarnya penuh makna tersimpan dari satu kata itu.

"Gak jauh.. paling ke Kompleksnya Alif.. kalau enggak ke makam Pahlawan.."

"Jangan lama-lama.."

"Yaelah Bang.. Abang masih khawatir sama anak usia 16 nyaris 17 ini?"

"Abang tidak menerima penolakan Fin"

"Yah Bang... tapi kan Alfin mau jalan-jalan sama beli makanan buat Apin.."

"Si Apin kasih makan Ikan yang kemarin Abang tangkep dari kolam aja!"

Bicara tentang Apin, Apin hanyalah seekor anak kucing peliharaan Alfin yang anak itu temukan sepulang UTS beberapa bulan lalu.

Keadaan Apin sangat mengerikan pada saat itu. Dengan kaki depan sebelah kanan yang nyaris gepeng terlindas mobil. Serta ceceran darah dengan Bangkai kucing dewasa disampingnya.

Apin kecil tampak meraung-raung minta di kasihani. Alfin yang tabiatnya 'nggak tegaan' akhirnya membawa Bangkai Ibu kucing serta Apin ke rumahnya.

Ia mengubur Mayat Ibu Apin yang sudah tewas itu di belakang rumahnya. Kemudian Ia membawa Apin menghadap Ibunya untuk meminta izin.

Acara minta izin Alfin malah mirip seperti lamaran.

Rivan yang notabenenya alergi bulu kucing, langsung menolak mentah mentah keinginan Alfin. Jika sudah begitu, keluarlah jurus pamungkas andalan Alfin. Menatap sang objek tanpa kedipan.

Oke, Rivan muak.

Dia hanya mengiyakan dengan syarat;
1. Alfin tidak boleh membawa Apin ke dekat Rivan
2. Apin tidak boleh berdekatan dengan Rivan
3. Apin tidak di izinkan berdekatan dengan Rivan

*_Ditambah syarat lain yang apa-apa pasti antara Apin dan Rivan harus ada jarak_*

Alfin hanya menghela napas, ingatkan dirinya untuk lain kali mencakarkan kuku Apin ke wajah Rivan.

Oke maaf, Alfin malah terdengar seperti Psikopat junior sekarang.

Heum, jadi psikopat, tidak buruk juga.

TBC

Haloo akhirnya cerita ini bisa di publis juga.

Oke, buat media kucing diatas, dia Adalah Apin. Gimana? Imut kan?

ALFIN Life Story (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang