Satu - Calista

35K 1.6K 80
                                    

Good morning, world.

Ritual pertama yang kulakukan setiap pagi setelah membuka kedua mataku adalah menggumamkan kalimat itu. Aku juga nggak tahu sejak kapan ritual seperti itu membantuku menambah semangat untuk memulai hariku.

Menggeliat sebentar, aku melirik ke samping kiriku. Ada sesosok lelaki yang tidur dengan tubuh menelungkup kearahku. Tenang saja, aku enggak akan menjerit terkejut seperti kebanyakan cerita roman picisan setelah menemukan keberadaan lelaki disisiku dipagi hari seperti ini karena sosok lelaki itu adalah suamiku.

Yeah, aku, Calista Giani, sudah menikah.

Namanya Revan Anggara, bekerja sebagai Direktur diperusahaan properti milik keluarganya. Kami sudah menikah sejak lima tahun lalu. Kali ini kisahnya sama seperti roman picisan kebanyakan. Perjodohan.

Aku yang sejak dulu tinggal dipanti asuhan di mana keluarganya adalah donatur tetap disana, ternyata telah mencuri perhatian Mama mertuaku, Annisa Wijaksana. Sebenarnya sejak umurku delapan belas tahun, aku sudah nggak lagi tinggal di sana, aku memilih keluar dari sana dan mencari pekerjaan, tinggal di indekos yang murah sambil bekerja di dua pekerjaan sekaligus.

Tapi aku memang selalu menyempatkan diri mendatangi panti setiap hari libur dan membantu pengurus panti mengurus mereka yang bernasib sama sepertiku sejak kecil. Dari sana lah aku dekat dengan Mama dan Papa. Sering mengobrol dan mulai saling menyayangi membuatku mengangguk setuju begitu saja saat Mama dan Papa menawariku perjodohan dengan putra kedua kebangaan mereka.

Kami menikah dan... yeah... tipikal pernikahan tanpa cinta. Tanpa aku jelaskanpun semua orang sudah bisa menebak. Kalimat keramat cinta ada karena terbiasa yang sering orang-orang ucapkan membuatku ingin tertawa geli. Bayangkan saja, tujuh tahun menikah dan terbiasa hidup bersama tapi sampai detik ini kami masih belum saling mencintai. Dan tetap menjadi orang asing satu sama lain.

Sambil menatap wajah damainya yang memesona, aku menghela lirih. Bukan... bukan helaan penuh kekecewaan karena belum berhasil membuatnya mencintaiku. Ugh... percayalah, aku bukan perempuan seluar biasa itu, yang harus berjuang mati-matian untuk membuatnya menyadari keberadaanku. Hei, itu terlalu membuang waktu.

Seperti yang kulakukan saat ini, memandangi wajah tampannya terlalu lama akan membuang waktu berhargaku yang seharusnya kupakai untuk membangunkan putra kesayanganku. Dimas Anggara.

Aku meloncat turun dari tempat tidur, pergi kewastafel untuk mencuci muka, menyikat gigi dan merapikan tatanan rambutku sebelum melangkahkan kaki kedalam kamar Dimas. Begitu aku membuka pintu kamarnya, aku menghela napas malas mendapatinya yang sedang meringkuk seperti bayi didalam selimutnya.

"Dimas... bangun, udah jam tujuh." Aku mengguncang pelan bahunya. Dia bergeming. Aku mengganti guncanganku dengan menepuk pipinya beberapa kali. "Dim, Ibu nggak bakalan buatin kamu sarapan kalau kamu nggak bangun juga."

Menggeliat pelan, Dimas menarik selimutnya dan menutupi seluruh tubuhnya. Aku memutar bola mataku malas. "Dimas!!"

"Eungh... Ibu berisik ah..." gumamnya serak. "Hari ini libur, Dimas nggak sekolah, Bu..."

"Ya terus, mentang-mentang nggak sekolah kamu mau bangun siang-siang gitu? Nggak bisa! Biasain bangun pagi."

"Lima menit lagi..."

"Kamu pikir Ibu percaya?"

"Hm..."

"Ya ampun... Dimas!"

CALISTA Book 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang