Rumah kami kembali sepi setelah Mama dan yang lainnya pulang. Aku tersenyum kecil mengingat kebersamaan kami semua beberapa saat lalu sambil mencuci beberapa gelas dan piring. Jarang sekali kami semua bisa berkumpul di rumah ini. Biasanya hanya bisa di rumah Mama, itu juga kalau yang lainnya punya waktu luang. Terkadang Mba Kila ada, tapi Bima nggak ada atau sebaliknya.
Rumah kami memang nggak sebesar rumah Mama, walaupun isinya nggak jauh beda sih. Itu juga semuanya Mama yang beli. Revan cuma ngeluarin duit beli rumahnya aja, isinya Mama semua yang beliin.
Terkadang aku capek sendiri mikirin harus pakai cara apa lagi balas jasa ke Mama. Dari dulu, dari sebelum aku menikah sama Revan, bahkan belum kenal Revan sama sekali, Mama selalu aja baik ke aku. Perhatiannya persis kaya perhatian Ibu ke anaknya. Makanya, sebisa mungkin, aku nggak mau buat Mama nangis karena aku.
Apa pun itu, asal buat Mama bahagia, akan aku lakukan.
"Kan udah aku bilang, aku aja yang cuci."
Mengangkat wajahku yang dari tadi menunduk menatap gelas ditanganku, aku melihat Revan menatapku penuh protes.
"Cuma dikit kok. Di depan udah diberesin?" tanyaku demi mengalihkan perhatiannya. Memang tadi Revan bilang kalau setelah membersihkan ruang tengah tadi, dia akan mencuci gelas-gelas ini.
"Udah, dibantuin Dimas." Jawabnya. Dia berdiri disampingku, tiba-tiba menghidupkan kran air dan membasuh kedua tanganku sampai bersih dari busa sabun. Membuatku mengernyit dengan tingkahnya.
"Van–"
"Tidur sana." Potongnya setelah tanganku dia keringkan dengan serbet, dan sekarang dia yang menggantikan pekerjaanku. "Dimas udah aku suruh ganti baju sama sikat gigi. Nanti aku aja yang nemenin dia sampai tidur."
Entah kenapa, melihat sikap dia yang nggak biasanya sejak siang tadi sampai malam ini, ditambah dengan ucapannya yang seperti mengandung... hm... apa ya, perhatian? Bodo amat lah kalau memang aku yang kegeeran. Tapi bibir ini sama sekali nggak bisa nahan senyuman.
"Kok tumben sih." Ujarku pelan. Dia hanya melirikku dari ekor matanya. "biasanya boro-boro kamu mau cuci piring. Bawa piring bekas makan kamu ke wastafel aja, kamu nggak mau."
Revan nggak bereaksi. Hih, kebiasaan. "Van," panggilku lagi.
"Aku bilang tadi apa? Tidur sana."
"Belum ngantuk."
"Tiduran aja dulu."
"Ngobrol dulu. Kamu belum jawab loh tadi."
"Apa?"
"Ini, kenapa kamu seharian ini tumben baik banget, sampai mau cuci piring begini lagi."
"Harusnya kamu nggak nanya, tapi bilang makasih."
"Iya, makasih. Ya udah jawab dulu."
Dia mendengus, melirikku kesal dan membuatku mau tertawa. "Kamu kan sakit."
Itu aja? nggak seru ah. Jahilin dikit nggak apa-apa kali ya.
"Bukan karena merasa bersalah?"
"Merasa bersalah kenapa?"
"Udah buat aku sakit."
"Maksudnya?"
"Kan aku kecapekan sampai sakit begini gara-gara kamu."
Tangannya yang dari tadi sibuk menghilangkan busa dari gelas dengan air yang keluar dari kran terhenti seketika. Kepalanya bergerak cepat menatapku, matanya sedikit melotot.
Aku nggak bisa nggak ketawa melihat ekspresi terkejutnya itu. Ya ampun... perut aku sampai kram karena ketawa.
Tadinya aku juga malu sih, apa lagi Bima tadi nggak berhenti ngeledekin sampai Revan hampir aja ngelempar adiknya pakai gelas. Tapi kalau dipikir-pikir lagi jadinya lucu. Bisa gitu ya, aku sakit karena kecapekan nananina sama Revan?
KAMU SEDANG MEMBACA
CALISTA Book 1
General FictionSebagian cerita sudah di hapus Menjadi istri Revan Anggara itu tidak sulit. Yang sulit adalah ketika aku mulai jatuh hati padanya, tapi ternyata dia sudah menyimpan satu nama di hatinya sejak lama. Hanya satu nama. Dan itu bukan aku.