Gue benar-benar kekenyangan sekarang. Gimana nggak, dalam waktu dua jam, gue udah makan sebanyak dua kali. Dan sekarang gue berakhir di tempat tidur Renata, berbaring dengan perut buncit.
Kemampuan memasak Renata memang nggak perlu lagi diragukan. Walaupun pekerjaannya yang banyak menyita waktu, tapi Renata pintar memasak.
Dulu, dia sering membawakan bekal buat gue ke kampus. Bekal yang nggak mau gue bagi ke siapa pun termasuk sahabat-sahabat gue. Karena bekal itu pasti Renata buat untuk gue dengan penuh cinta. Dan dipikiran gue saat itu, gue nggak mau membagi cinta Renata pada siapa pun.
Ya, gue sedikit berlebihan memang.
Renata masuk ke kamar membawa segelas air yang dia letakkan di atas meja, kemudian dia duduk di samping gue.
"Malam tahun baru nanti, semuanya kumpul di rumah Mama kamu, kan?"
"Hm."
"Aku datang loh, Mama sama Papa juga."
Gue mengangguk kecil.
"Kamu datang juga nggak? Biasanya kan, kamu malesan banget kalau disuruh datang ke acara keluarga."
Gue tersenyum kecil menanggapi ucapan Renata. Dia memang benar-benar mengerti gue dan masih mengingat sekecil apa pun hal mengenai gue.
"Rame banget pasti." Gumam gue.
Renata tertawa pelan. "Namanya juga malam tahun baru. Terus, gimana? Nggak ikutan malam tahun baruan di rumah tante?"
"Ikut."
"Beneran?" tanyanya sangsi seolah apa yang baru aja gue bilang adalah hal besar yang mengerjutkan. Mungkin karena Renata tahu kalau dulu, dari pada harus menghadiri acara keluarga sekalipun ada Renata di dalamnya, gue lebih memilih menjadi nyamuk di antara Adrian dan korban-korbannya. Seenggaknya, gue bisa belajar dari Adrian bagaimana cara meluluhkan hati perempuan setiap kali mereka melakukan aksi menyebalkan seperti merajuk.
Jujur aja, gue bukan ahlinya untuk urusan yang satu itu. Untung aja Renata bukan perempuan yang senang merajuk. Dia selalu memahami dan mengerti gue sekalipun gue membuat dia kesal.
"Gimana kerjaan kamu?" tanya gue, mengingat sejak datang ke sini gue belum menanyakan apa pun padanya karena dia yang terlalu bersemangat mengajak gue mencicipi masakannya.
"Lumayan sibuk sih, banyak pasien. Cuaca sekarang buat anak-anak pada sakit, demam, batuk, flu. Kasihan banget kalau lihat anak-anak pada sakit begitu."
Gue mengangguk pelan.
"Dimas... nggak apa-apa, kan?"
"Hm?"
"Makan sama jam mainnya Dimas di perhatiin, Van. Terus harus rutin minum vitamin."
Gue hanya mengangguk pelan. Setahu gue, untuk urusan itu, Calista nggak perlu lagi diingatkan. Dia selalu memikirkan Dimas di atas segalanya. Selalu mempersiapkan apa pun untuk kebutuhan Dimas lebih dulu bahkan dibandingkan gue.
"Tadi waktu di luar, kamu udah makan ya bareng Calista sama Dimas?"
Entah kenapa, tiba-tiba aja pembicaraan kami mengarah ke sana. Gue hanya bergumam pelan. Renata selalu bisa menebak gue, percuma juga kalau gue bohong.
KAMU SEDANG MEMBACA
CALISTA Book 1
General FictionSebagian cerita sudah di hapus Menjadi istri Revan Anggara itu tidak sulit. Yang sulit adalah ketika aku mulai jatuh hati padanya, tapi ternyata dia sudah menyimpan satu nama di hatinya sejak lama. Hanya satu nama. Dan itu bukan aku.