Revan duduk dengan gaya elegan di atas kursinya sebagai pemimpin rapat bulanan di perusahaan. Matanya menatap lurus kedepan, pada salah satu anak buahnya yang sedang melakukan presentasi di depannya. Ditangannya ada sebuah pena yang sengaja dia ketuk-ketukkan secara pelan keatas meja hingga semakin lama, suara itu mulai mengganggu kegiatan di ruangan itu.
Orang-orang mulai mencuri lirik padanya. Sedang Revan sama sekali tidak menyadari. Dia terlalu fokus. Tapi bukan pada apa yang sedang di sampaikan di dalam rapat tersebut, melainkan pada apa yang terjadi sejak kemarin malam. Hal yang telah dia lakukan bersama Calista.
Revan masih mengingatnya. Bahkan hal sekecil apa pun seperti tahi lalat kecil yang ada di sekitar puting Calista masih bisa dia ingat. Apa lagi bagaimana rasanya bercinta dengan Calista yang membuat enggan untuk berhenti.
Tiga kali.
Mereka melakukannya sebanyak tiga kali. Dan Revan seolah masih belum puas hingga pagi harinya, ketika dia keluar dari kamar mandi dan masih melihat Calista berdiri di depan cermin memandangi dirinya sendiri, dengan daster menggemaskan yang Revan larang untuk di ganti, Revan seolah menjadi singa kelaparan.
Pada akhirnya, dia kembali berhasil menyeret Calista ke atas ranjang hingga sore hari sebelum bergegas menjemput Dimas.
Revan tidak bisa melupakan bagaimana rasanya menyentuh tubuh polos Calista. Menikmati setiap sentuhan malu-malu Calista yang sama sekali tidak berpengalaman, tapi malah membuat Revan semakin mabuk kepayang.
Gerakan penanya terhenti ketika desah manja Calista yang membuatnya semakin berhasrat seolah memenuhi indra pendengarnya. Membuat bulu kuduknya meremang dan kembali mendamba.
"Pak,"
Teguran dari Vania, sekretarisnya, menyadarkan Revan, sang sekretaris melirik kearah ponsel Revan yang sejak tadi berdering. Revan baru menyadari kalau ternyata sejak tadi semua orang sedang menatapnya.
Dia berdehem, "Sebentar, saya menerima panggilan dulu." Pamitnya lalu menyambar ponsel dan pergi keluar ruangan.
Matanya mengerjap saat menemukan nama Calista di layarnya. Lagi-lagi dia berdehem pelan sebelum menerima panggilan itu.
[Ayah!]
Suara nyaring Dimas adalah hal pertama yang dia dengar sebelum Revan sempat mengucapkan halo. "Ya, Dim?"
[Ibu sakit, nggak bisa masak katanya. Kepalanya pusing. Ibu belum masak, jadinya Dimas belum makan siang. Kata Ibu, Ibu minta tolong beliin makan siang buat Dimas, Yah.]
Dahi Revan berkerut cepat. "Ibu sakit?"
[Iya, kan Dimas udah bilang tadi. Sebentar,]
Terdengar suara langkah kaki sedikit tergesa.
[Badan Ibu juga panas, Yah.]
[Dim... Ibu nggak apa-apa. Bilangin sama Ayah buat beliin makan siang buat kamu.]
[Tapi badan Ibu panas. Kan itu artinya sakit.]
Revan yang sejak tadi menjadi pendengar setia kedua orang itu kini mulai mengerti. "Dim, kasih ke Ibu hp-nya."
Suara berisik Dimas kembali terdengar saat dia memberikan ponsel itu pada Calista.
[Halo?]
"Kamu sakit?"
[Nggak enak badan aja kok. Tapi ini lemes, jadi nggak bisa masak. Tadi aja aku minta tolong sama Resya jemput Dimas. Tolong beliin Dimas makan siang ya, Van.]
"Kamu sendiri udah makan siang belum?"
[Belum. Aku nanti aja. nggak selera makan.]
Revan berdecak, dia melirik arlojinya. Sudah pukul setengah dua belas. Tapi Rapat belum selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
CALISTA Book 1
Ficção GeralSebagian cerita sudah di hapus Menjadi istri Revan Anggara itu tidak sulit. Yang sulit adalah ketika aku mulai jatuh hati padanya, tapi ternyata dia sudah menyimpan satu nama di hatinya sejak lama. Hanya satu nama. Dan itu bukan aku.