Siang itu Jinyoung sedang menunggui mama Guanlin di kamarnya, mereka sedang membicarakan mengenai dekorasi resepsi dan persiapannya.
"Nuansa emas akan sangat cocok untuk pernikahan kalian," Mama Guanlin tersenyum. "Terima kasih sudah membuatku begitu tenang. Kau membuatku bisa meninggalkan dunia ini dengan mudah, mengetahui bahwa anak-anakku sudah menemukan pasangan hidupnya masing-masing."
Rasa bersalah langsung mendera Jinyoung, menyadari bahwa mereka telah membohongi mama Guanlin, wanita yang sedang sakit dan berjuang untuk hidupnya. Apakah hal ini bisa dibenarkan? Sebuah kebohongan dengan alasan demi kebaikan? Kalau memang ini benar, kenapa hati Jinyoung dipenuhi oleh rasa bersalah?
"Mama jangan berkata begitu, Jinyoung yakin mama akan menghabiskan lebih banyak waktu lagi bersama kami. Asal mama semangat ya?" Gumam Jinyoung lembut.
Mama Guanlin mendesah dan menggelengkan kepalanya, "Aku sudah merasakannya, Jinyoung. Tubuhku sudah lelah... Tidak perlu diagnosa dokter untuk mengetahui bahwa umurku tidak akan lama lagi."
"Mama..." Jinyoung mencoba berbicara, tetapi Mama Guanlin menggeleng dan menahannya.
"Jangan menghiburku." Gumamnya lembut, "Aku sudah siap. Satu hal yang mama minta darimu, Jinyoung... Bahagiakanlah Guanlin, anak itu sudah menderita karena cinta di masa lalunya, kaulah satu-satunya hal yang menyangkut cinta yang bisa dipegangnya." Mama Guanlin menggenggam tangan Jinyoung dengan lembut, "Berjanjilah untuk terus ada di samping Guanlin dan membahagiakannya."
Napas Jinyoung tercekat di tenggorokannya, dia bingung harus berkata apa. Di satu sisi kalau dia berjanji, maka itu akan menjadi sebuah kebohongan terbesarnya. Tetapi di sisi lain, Mama Guanlin saat ini sedang menatapnya penuh harap, menanti jawaban Jinyoung, demi ketenangan hatinya.
Akhirnya Jinyoung menghela napas panjang dan menatap mama Guanlin dengan lembut, "Jinyoung berjanji, mama."
Di dalam hatinya Jinyoung berdoa, semoga Tuhan mengampuninya karena telah membohongi wanita sebaik ini, atas nama kebaikan.
***
Ketika Jinyoung sedang memberi nilai pada gambar hasil karya anak didiknya, pintu ruangan kelasnya diketuk. Jinyoung memang tidak berniat untuk pulang cepat, dia menunggu Guanlin menjemputnya. Lelaki itu sekarang mengantar jemputnya setiap Jinyoung bekerja, dan tidak mengizinkan Jinyoung naik kendaraan umum lagi. Ketika Guanlin sedang sibuk dengan pekerjaannya, dia akan mengirimkan supir.
Pernikahan ini sudah berjalan hampir dua minggu, dan mereka baik-baik saja. Guanlin mengajak Jinyoung tinggal di rumahnya bersama ibunya dan Daehwi. Mereka tidur seranjang meskipun Guanlin menepati janjinya untuk tidak menyentuhnya.
Pada malam-malam pertama tentunya terasa canggung, Jinyoung tidak pernah seranjang dengan lelaki manapun seumur hidupnya, kecuali dengan Samuel, itupun ketika mereka masih berumur 7 tahun. Ketika tanpa sengaja kaki atau lengan mereka bersenggolan, Guanlin akan segera meminta maaf dengan canggung, lalu mereka akan bergeser dengan cepat masingmasing di ujung sisi ranjang yang berseberangan.
Tetapi lama kelamaan mereka terbiasa, mereka akan mengucap selamat tidur tanpa kata, lalu menempati posisi masing-masing, sambil berusaha tidak menyentuh satu sama lain di ranjang itu.
Setidaknya setelah Guanlin menangis di pelukannya waktu itu, Jinyoung menemukan sisi positif dalam diri Guanlin. Lelaki itu memang arogan, angkuh dan suka memaksakan kehendaknya. Tetapi dia juga lelaki yang bertanggung jawab, yang sangat mencintai mama dan adiknya. Jinyoung bisa memahami itu karena dia juga begitu sayang dengan ibunya dan Samuel.
Ponsel di tangannya berdering. Dan Jinyoung melirik ke layarnya, lalu mengernyitkan matanya, Minhyun? Jinyoung masih menyimpan nomor Minhyun di ponselnya ternyata, dan ini nomor yang sama, yang berdering dan membuat layar ponselnya terus berkedip-kedip, tak mau menyerah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjanjian Hati ; Pandeep
FanfictionRemake dari novel dengan judul yang sama milik Santhy Agatha