enam

180 55 14
                                    

Jinyoung ternganga, begitupun Daehwi dan Samuel yang ada di ruang tunggu ICCU itu. Dengan gugup Jinyoung menelan ludah, menatap Guanlin yang tampak begitu serius, menatap Daehwi dan Samuel yang mengamati mereka dengan penuh keingintahuan.

Jinyoung bingung harus bicara apa. Kalau menurut kata hatinya, seharusnya dia langsung menolak mentah-mentah lamaran itu, bukankah saat ini mereka sedang mempersiapkan pernikahan yang hanya sandiwara? Kenapa Guanlin melamarnya di sini, di depan kedua adik mereka? Bagaimana Jinyoung harus menanggapinya? dengan sungguh-sungguh atau bersandiwara?

"Guanlin...?" Jinyoung bergumam lirih berusaha supaya tidak terdengar oleh Daehwi dan Samuel yang ada di ujung ruangan.

Guanlin menatap Jinyoung dengan mata membara, tampak tersiksa, "Please." Mulutnya membentuk permohonan tanpa bersuara.

Jinyoung menelan ludah lagi. Guanlin pasti punya alasan melakukan ini, mungkin dia akan menjelaskannya nanti. Dan jika ternyata mereka salah arah, Jinyoung berharap Guanlin bisa mengeluarkannya dari masalah ini.

Dengan menguatkan hati, Jinyoung menganggukkan kepalanya. "Baik Guanlin aku bersedia menikah denganmu." Terdengar suara helaan napas Daehwi di sudut ruangan, lega.

Sementara Jinyoung mencuri pandang ke ekspresi adiknya yang tercekat. Mungkin sama seperti dirinya, Samuel kaget dan tidak menyangka hubungan Jinyoung dan Guanlin berkembang secepat ini. Sedangkan Guanlin, lelaki itu memejamkan matanya tampak lega luar biasa. Lalu dengan cepat, seolah takut Jinyoung berubah pikiran, dia menyelipkan cincin yang mereka beli barusan ke jemari Jinyoung.

"Itu jadi cincin pertunangan kita. Besok kita beli lagi cincin pernikahan," bisiknya serak sambil mengecup jemari Jinyoung yang bercincin. Guanlin lalu berdiri dari posisi berlututnya, tampak menjulang di depan Jinyoung, "Baiklah Jinyoung, karena kau telah menyetujuinya, kita akan menikah besok."

"Besok??!"

Kali ini yang bersuara kaget bukan hanya Jinyoung, tetapi juga Samuel dan Daehwi. Guanlin menghela napas panjang, lalu menoleh sedih ke arah ruangan ICCU. "Mama sedang memperjuangkan hidupnya di sana serangan ini tidak akan terjadi satu kali saja, pasti akan terjadi lagi, dan setiap terjadi kita mempunyai resiko kehilangan mama, satu-satunya permintaannya adalah bisa melihat aku menikah."

Kesedihan di mata Guanlin bukanlah sandiwara, lelaki itu benar-benar sakit dengan kondisi mamanya, "Aku tidak mungkin menolak permohonan mama kan? Akan hidup dengan penyesalan yang mendalam kalau sampai mama meninggal dan aku tidak bisa melakukan amanat satu-satunya darinya."

Daehwi mengusap air matanya dengan pedih, membiarkan dirinya dipeluk oleh Samuel. Sementara itu, Samuel mengamati Guanlin dan Jinyoung bergantian. "Apakah... Apakah kalian yakin? Aku tidak tahu seberapa lama dan seberapa dalam hubungan kalian berdua... Meskipun aku sangat senang kalian bersatu, tapi... Pernikahan mempunyai dasar pertimbangan lain selain cinta dan pemenuhan amanat untuk orang lain... Pernikahan adalah komitmen seumur hidup... Untuk selamanya kalau bisa," gumam Samuel, mencoba mencari jawaban dari ekspresi dua manusia di depannya.

Wajah Jinyoung memucat, tetapi tidak bisa berkata-kata. Samuel benar, pernikahan adalah hal yang sangat serius untuk dilakukan. Mereka melakukan janji di hadapan Tuhan, dan itu bukan main-main. Selain itu, jangankan komitmen seumur hidup, mereka bahkan tidak mempunyai cinta satu sama lain yang bisa mendukung komitmen itu. Apa yang harus dia lakukan? Dia menyetujui sandiwara ini dari awal dan kemudian terseret arus, tidak bisa kembali lagi.

Guanlin merangkul Jinyoung dengan sebelah lengannya, "Tidak apa-apa. Kami saling mencintai," Jawab Guanlin tegas, mengetatkan rangkulannya untuk menegaskan maksudnya, "Aku akan menemui ibumu, Jinyoung.. untuk meminta izin."

Perjanjian Hati ; PandeepTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang