Tiga

6K 865 133
                                    

Jaemin tidak bisa tertidur nyenyak. Di hadapannya ada wajah lelaki pujaannya yang sedang terlelap. Air wajahnya berseri. Jaemin mengafirmasi dirinya sendiri, kebahagiaan Jeno juga kebahagiaannya. Tapi mengapa rasanya ia benci untuk menjadi munafik?


Sejam yang lalu, Jeno tiba-tiba keluar dari tenda saat Jaemin memasakkan makan malam untuk mereka. Ia memekik senang, lalu bersorak penuh kegembiraan.

"Hei apa yang terjadi?" tanya Jaemin dengan hati-hati. Ia harus fokus pada masakannya.

"Huang Renjun menerimaku dan kami sudah resmi menjadi sepasang kekasih! Kau pasti senang juga kan?!" kata demi kata yang Jeno ucapkan dengan cepat membuat Jaemin terpaku hingga ia lupa kalau sendoknya tercebur ke dalam panci.

"I-iya, tentu saja. Selamat ya untuk kalian. Semoga bahagia selalu!" Entah keberapa kalinya ia memasang senyum palsu ini. Benar-benar pintar ia menutup luka hatinya.


Air matanya meleleh, lagi. Perlahan tangannya bergerak mengusap rahang tajam milik Jeno, kemudian beralih ke dagu lancipnya, lalu naik ke bibir tebal itu. Bibir yang selalu mengucap kata manis hingga membuat Jaemin jatuh cinta. Tidak, ini bukan salah Jeno. Kau tau kan kalau perasaan Jaemin memang terlalu lembut? Namun ini hanya berlaku untuk Jeno, ia lembut hanya untuk Jeno, manusia tak sempurna yang bukan miliknya.

Tak lama kemudian, Jeno seperti terusik. Jaemin bergegas untuk menjauhkan diri tapi sialnya, Jeno malah menahannya dan memeluknya dengan erat. Mata sipitnya terbuka sedikit, tangan kekarnya menuju pipi tirus milik Jaemin. Entah sadar atau tidak, satu kecupan singkat oleh Jeno mendarat di bibirnya. Jaemin tersenyum dan jantungnya berdetak tak beraturan.

"Cepatlah tidur. Lingkar hitam dan kantung matamu akan semakin parah nantinya." ucap Jeno dengan suara pelan. Lalu mendekap erat pria manis yang sedang salah tingkah itu. Kepedulianmu menyakitkan, sikapmu padaku melebihi batas, tapi aku sangat suka merasa tersiksa selama pelakunya itu kau, Lee Jeno, batin Jaemin.

-
-
-

Angin semilir berhembus ke dalam tenda, membuat Jaemin bergidik kedinginan. Karena tak nyaman, ia membuka kedua matanya dan melihat kalau Jeno sedang packing. Hari ini ia akan menuruni gunung dan kembali ke rumah. Bukan hanya barang-barangnya saja, tapi milik Jaemin juga.

"Jeno..." ujar Jaemin lalu meraih botol air minum didekatnya. Ia meneguk isinya perlahan. Tenggorokannya terasa kering sebab suhu yang cukup dingin.

"Ah kau sudah bangun rupanya. Ayo makan. Aku sudah membuat bibimbap kesukaanmu. Maaf aku lancang, tadi aku mengecek ranselmu dan menemukan sebungkus beras dan beberapa bahan makanan." kata Jeno yang beralih duduk di depan Jaemin. Jaemin tersenyum dan mengangguk.

"Tidak apa-apa. Ayo kita makan, aku sudah lapar." ajak Jaemin sambil terkekeh. Jeno keluar tenda dan Jaemin buru-buru berganti pakaian sebelum Jeno masuk lagi.

Setelah Jaemin mencuci muka, mereka makan bersama sambil menikmati keindahan alam dihadapannya. Waktu menunjukkan pukul 05.30 pagi. Matahari perlahan timbul naik dari ufuk timur. Jaemin mencuri pandang ke arah lelaki tampan di sebelahnya. Hidungnya yang mancung dan bangir, mata sipitnya yang indah, bibir tebal yang semalam menciumnya... Semuanya hampir mendekati kata sempurna!

"Setelah wisuda nanti, kau akan menetap di Belanda atau kembali ke Seoul?" Jaemin menggeleng pelan menjawab pertanyaan yang dilontarkan Jeno. Sejujurnya ia sangat betah di Amsterdam karena bisa melupakan bayang-bayang Jeno sedikit. Tapi hanya sedikit karena setiap sore sepulang ia kuliah, Jeno akan menelponnya karena di Korea waktu masih pagi hari.

"Ku pikir aku akan mengambil double degree juga disana." Jaemin meletakkan mangkuknya perlahan, membersihkannya dengan air bersih, lalu memasukkan ke dalam tas kecil. Jaemin berdiri tegak, lalu mengulurkan tangannya kepada Jeno. "Ayo kembali, teman-teman sudah menunggu kita di pos."

Tangan besar dan kekar itu meraih tangan mungil Jaemin. Bukannya ia ikut berdiri, Jeno malah menarik Jaemin ke dalam pelukannya. Sejenak waktu terasa terhenti. Jaemin bisa merasakannya, bagaimana dada bidang itu menopang tubuh kurusnya, bagaimana tangan kekar itu mendekapnya erat, dan bagaimana hembusan nafas yang terhela dari hidung mancung Jeno.

"Aku sangat menyayangimu, Jaemin. Cepatlah berubah pikiran untuk mengambil double degree di Seoul karena itu akan jauh lebih baik, dan karena aku tidak bisa tanpamu."


-

Aku yang nulis kenapa aku yang emosi? :")

✔ PupusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang