Sama-samar Narel mendengar suara mesin motor mendekatinya dengan kecepatan tinggi. Pasti itu Banu, ujarnya dalam hati.
"Kamu ngapain ngumpet di balik beruntas? Mana ada yang bakal liat buat nolongin kamu kalo gitu cara nya."
Entah itu nada ledekan atau khawatir yang jelas suara itu membuat ia tenang. Akhirnya ada yang datang menolong, -meskipun itu Banu.
Sudah lama Narel berpose putri duyung. Ini dilema berat antara lemas dan malas. Tapi Narel tau pasti Banu menghampirinya, jadi ia tidak usah beranjak.
"Astagaaaaa ...," mulutnya menganga lebar. Ya, benar itu adalah Banu. "Kamu gapapa?"
"As you look," jawab Narel santai. Padahal yang bertanya panik setengah mati.
Banu menatap lamat-lamat tubuh mungil milik Narel, -barangkali ada luka berat. Matanya terhenti ketika melihat jas hujan yang dipakai Narel robek.
"Heh! Mesum banget sih lu, jangan nyari kesempatan dalam kesempitan ya!" Tangan yang hendak meraba pahanya dihempas dengan keras.
Hening. Hening. Hening.
Hahahahahahaha, tawa Banu memecahkan.
"Iihhh, Arel kok kasar sih." Nadanya merengek tapi itu adalah ledekan.
Narel membuang muka. Dalam hatinya berkecamuk antara kesal dan takut, ia menyesal meminta bantuan makhluk itu. Gimana kalo dia ngelakuin hal yang lebih gila? Abaaahhh, jeritnya dalam hati.
"Ehh kok buang muka gitu sih? Kamu mah lucu, mukanya polos tapi pikirannya burem, hahahaha." Banu mengelus puncak kepala Narel yang terhalangi helm.
Narel tidak menggubris.
"Marah? Maaf atuh, gak sengaja tadi tuh saya refleks mau angkat rok kamu maksudnya mau cek luka kamu yang di paha. Haduh, saya lupa diri kalo kamu beda gender sama saya. Udah dong jangan marah lagi, maafin yaaaaaaaa," bujuk Banu dengan puppy eyes yang sama sekali tidak menggemaskan di mata Narel.
Ah, iya. Narel lupa kalau tubuhnya terluka.
Akhirnya ia mengambil kembali mukanya. Batinnya meminta maaf, hanya saja tidak terucap. Tapi tetap saja tidak sopan jika seorang laki-laki menyentuh anggota tubuh seorang gadis, apalagi paha.
"Sekarang mau pulang ke rumah atau ke asrama?" Rasanya Banu sedari tadi hanya bermonolog. Lawan bicaranya tetap bungkam.
Arghh, hampir saja Banu kesal.
Narel bangkit dari kediamannya, kakinya terasa sakit tapi ia tetap menguatkan diri.
"Yaudah pulang aja sendiri," Banu melangkah lebih cepat mendahului Narel.
Dalam batinnya, ia takut jika Banu benar-benar pulang, ah payah banget sii dia kek bocah, terus gimana gua pulang nanti, Nu?
Laki-laki itu sudah bertengker di motor maticnya. Mesinnya sudah menyala.
Jangan tinggalin gua, please, Narel bergumam dalam hati. Tapi yang keluar dari mulutnya malah, "katanya mau pulang duluan, kok masih diem di situ, ckk."
"Siapa bilang mau pulang duluan?"
"Tadi nyuruh gua pulang sendiri."
"Suudzon mulu, ya Allah. Itu kan belum beres ngomong nya, sendiri aja kamu nya, kamu sendiri saya sendiri, jadi berdua, jarang kan quality time bareng saya." Banu terkekeh.
"Motor gua," ringis Narel.
"Eh, lupa. Haduhhhh ...," Banu menepuk jidatnya sendiri.
Saking ingin pulang dengan Narel, ia sampai lupa kalau Narel membawa motor. Akhirnya Banu mematikan motornya.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE (hi)STORY IS OUR
RandomSiapa yang tidak mengenal Bandung? Tempat dengan berjuta cerita, surga kuliner, dan masyarakat yang ramah. Tapi ini bukan bercerita tentang kota kembang itu, ini tentang si gadis hitam manis. Tentang kota Lembang yang menumbuhkan dirinya menjadi beg...