Bulan-bulan berlalu, Narel mulai terbiasa dengan kelas baru nya yang diberi nama SATPAM alias satuan tugas pecinta alam. Ia juga terbiasa dengan beberapa selentingan tentang perasaan Banu kepadanya.
Dia tidak begitu menggubris ketika beberapa waktu lalu Banu bilang "Kamu teh kunaon sih cuek-cuek teuing, judes, untung geulis, mun teu geulis cigana manis pisan da, naon sih naha bet cuek? Abong ti lembang tiris, jadi kadieu ge milu tiris," yang bisa diartikan "Saya suka sama kamu, tapi kamu cuek banget, saya jadi sedih. Kapan mau suka sama saya? " tapi yang tadi hanya diartikan bagi manusia peka, jelas manusia itu bukan Narel.
Ia hanya berpikir kalau Banu sedang halu, sudah punya pacar masih saja mengganggu yang lain, hak asasi nya terancam gara-gara makhluk seperti Banu.
Pada bulan November, sudah muncul musim hujan dan musim foto studio untuk kelengkapan kelas. Seluruh SATPAM pergi ke sebuah studio mini dekat sekolah, lengkap dengan seragam putih abu dan wali kelas tercinta.
Dengan semangat sentosa para murid melakukan selfie -kecuali Narel, menggunakan beberapa properti yang tersedia seperti papan nama, boneka, topi, dan bunga.
"Sini bunga nya," rebut Banu tanpa persetujuan dari temannya yang memakai itu sebagai properti selfie.
Bunga itu disodorkan kepada Narel yang sedang asyik berduduk ria. Narel yang polos menerimanya tanpa menatap siapa yang memberikan itu.
Narel benar-benar tidak menggubris si pemberi bunga, dia hanya menggenggamnya erat-erat agar tidak jatuh lalu terinjak oleh orang. Bagaimana jika bunga nya rusak lalu yang dituduh adalah pemegang bunga terakhir, pikirnya.
"Guys, kumpul. Sesi fotonya udah mau mulai, " teriak Denai -sang ketua kelas.
Seluruh SATPAM berhamburan mencari ke-pewe-an alias 'posisi wenak' untuk terlihat kurus, lighting bagus, dan bisa dicrop tentunya.
"Yang ujung sana coba pindah ke belakang baris dua ...," arahan photografer.
Yang ditunjuk malah tidak merasa, dia sedang serius menelaah, terbuat dari apa kain latar yang ada di depan nya, apa bahannya sama seperti bahan karpet di mesjidnya? Tapi kenapa lebih bagus.
Siapa lagi dia kalo bukan Narel, perlu cubitan kecil di lengan untuk bisa menyadarkan dia pergi ke barisan dua.
Lalu berdirilah dia dengan tubuh ceper dan berisi diantara jajaran tinggi langsing yang membuat pola lengkung di foto yang akan mereka ambil.
"Oke bagus. Sekarang semuanya gerak bebas ya, kita bikin boomerang seheboh mungkin," kata sang photographer menjelaskan.
"Satu, dua, tiiiii...gaaa."
Duukk... dukk... dukk... badan Narel bertabrakan dengan laki-laki yang ada di belakangnya.
Astaga siapa yang bergaya sebegitu hebohnya sampe nyenggol badan gua, batin Narel sambil memasang muka sebal.
Diliriklah ke atas sang pemilik raga itu.
Banuuuuuuu, kenapa gaya nya harus gitu? Badan gua sakit kena senggolan elu tiga kali, protes Narel pada Banu.
Tentu itu hanya diucapkan dalam hati, ia tidak suka hal sepele berbuntut panjang, jadi dia lebih memilih memupuk kesal dalam hatinya hingga tumbuh sehat dan berakar kokoh lalu berbuah apel yang rindang.
"Oke, bagus. Terakhir bubaran ya bikin previous ...," lagi photographer itu menjelaskan
"Hitungan 3 baru mulai bubar. Satu, dua, tiga..."
Daaann, siapa minta, lagi-lagi tubuh Narel tertabrak oleh Banu.
Kenapa kalian begitu antusias pada sebuah lensa, batin Narel geram.
Namun, ketika hendak pulang Banu menyempatkan untuk minta maaf pada Narel.
"Rel, maaf ya gua nyenggol hehe. Abisnya kita harus keliatan ceria pas di kamera jadi gua antusias banget. Mau maafin kan?" tanya Banu agak sedikit canggung.
"Iya."
"Jadi di maafin kan?"
"Udah denger jawabannya, kan?" jawabnya begitu simpel.
Wajar jika orang-orang menilai dia judes. Narel melenggangkan kaki tanpa pamit meninggalkan Banu dan maafnya.
"Witwiwww...," goda Iman, -salah satu teman dekat Banu.
"Gimana rasanya, dude?" timpal Hendra, -teman dekat Banu juga.
"Deg-degan haha. Baru pertama nih gua sama Narel ngobrol aktif. Biasanya dia kalo ditanya cuma ngangguk atau geleng, paling banter jawab hemm doang, jadi agak speechless sih tadi tuh," jelas Banu sambil mengelus dadanya, -efek dia merasa deg-degan.
"Good luck ya, pepet teroosss sampe mampoossss," kata Hendra sambil menepuk pundak Banu.
"Jangan kasih kendor, Mang," tawa Iman sambil hi-five di udara tanda mereka berpamit pada Banu untuk menghilang dibalik pintu.
Tubuh Banu mematung sambil mencerna kegugupan nya memilih hendak kemana langkah ia selanjutnya. Mengurut dahi pun tidak mempan mengurai perasaan nya.
Banu melenggang tertunduk melewati kerumunan teman-teman nya yang sedang melihat hasil foto. Dan lagi, ia refleks menarik sudut bibirnya hingga tercipta seringai manis, hanya karena mengobrol dengan Narel.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE (hi)STORY IS OUR
AcakSiapa yang tidak mengenal Bandung? Tempat dengan berjuta cerita, surga kuliner, dan masyarakat yang ramah. Tapi ini bukan bercerita tentang kota kembang itu, ini tentang si gadis hitam manis. Tentang kota Lembang yang menumbuhkan dirinya menjadi beg...