Lapangan dan Bokuto

422 78 9
                                    

“...mungkin bisa saja dia di rebut orang lain.”

Sehabis mengatakannya Sakura berambut pirang ini dengan ‘centil’nya menoleh kearah lapangan. Lalu melambaikan tangan lagi. Hilih. Sok artis. Ya memang sih.

Selagi kepala memproses banyak hal, telingaku masih berfungsi untuk memproses informasi dari suara komentator yang diperdengarkan keseluruh gymnasium; tim Bokuto menang—dan lagi itu berkat spike-nya. Ia memang menyukai hidangan penutup yang spektakuler.

Dan mbak ini. Mba sakura yang menatap lapangan dengan mata berbinar ini. Kira-kira aku membencinya boleh tidak ya?

"Bokuto-san, sepertinya kamu dipanggil Koutaro—" Sakura memberitahuku tanpa menoleh kearahku. Agak nyelekit sebenarnya.

“Aku sesayang itu pada Bokuto Koutaro.” Kulantangkan suaraku, lebih seperti sebuah utimatum yang perangnya sudah terjadi duluan, tapi tentu saja bukan aku yang memulainya, “Ya. Aku sesayang itu.”

Perlahan Sakura kembali mengalihkan sepasang aquamarine-nya kearahku, mengkonfirmasi perkataan yang sebenarnya sudah pasti keluar langsung dari mulutku.

Dari muka datar perlahan aku memberinya sebuah senyuman polos yang selalu kuberikan pada orang-orang, “Seseorang nggak bisa direbut, Sakura-chan. Kecuali, memang dia memutuskan meninggalkanku.” Senyumku berganti menjadi seringai jahat, entah aku belajar ekspresi itu darimana. Mungkin dorama tentang ibu mertua jahat yang suka menyiram menantunya pakai air?

Ia bergeming ditempatnya berdiri; terpaku dengan kalimatku.

“Tapi sepertinya dia tidak pernah punya rencana meninggalkanku, sih.” Selepas itu aku langsung tersenyum lebar sekali, sampai menyipitkan mataku yang sudah tertutup lensa kacamata.

Dengan sekali lompat, aku teralihkan pada Bokuto di lapangan.  Aku menghadiahinya dua jempol, pokoknya artinya, dia keren banget.

“Na-chan turun kebawah!” Bokuto membuat gestur sambil menunjuk tanah, memintaku kebawah?

Aku menunjuk diriku sesudah itu menunjuk dirinya, kulakukan sebanyak lima kali sambil berucap, “Aku kesana?” dia mengerti bahasa isyarat seperti ini nggak ya?

Bokuto menggangguk antusias, “Ya, Na-chan turunlah.”

Aku berbalik, Sakura memperhatikan tingkahku dan aku hanya menangguk sekilas padanya sambil tersenyum ramah, setelahnya lari secepat mungkin. Aku ingin bertemu Bokuto. Secepat yang kubisa.

Secepatnya.

•••

Klub sedang berbalik dan  memberi salam, tak berapa lama wartawan langsung mengerubungi Bokuto, lampu kilat kamera, dan segerombolan pertanyaan yang dilontarkan bersamaan. Dia akan memilh jawab yang mana dulu ya?

Dari jarak pandang beberapa meter aku tahu dia sedang kewalahan. Poni uyang menutupi dahi kini lepek karena terlalu berkeringat, seragamnya juga nampak basah, dan cara ia mengatur napas, Bokuto juga sepertinya kelelahan. Tapi ayolah, mana ada di kamus seorang Bokuto ada kata ‘kelelahan’?

Meski sudah sampai ujung pintu lapangan, aku mengundur niat untuk memberinya ucapan selamat, melihat dari jauh seperti kebiasaanku untuk menyadarkan diri bahwa husbu 2D adalah hal yang tak tersentuh. Tapi Bokuto bisa tersentuh, aku merasakannya didalam aku—didalam hatiku.

Tapi ini hanya mimpi, kan?

“Na-chan!”

Aku tidak sadar Bokuto sudah mendekat, dan setelah itu semua terjadi begitu cepat, kepalaku mempunya cara kerja yang buruk sehingga beberapa detik itu otakku mengalami disorentasi dalam waktu yang tak tertentukan. Ia mengecupku.

Ia mengec—IA MENGECUPKU DIDEPAN SEMUA ORANG!

Kuulangi, MENCIUMKU DENGAN  BRUTAL, DI LAPANGAN, DITENGAH KERUMUNAN WARTAWAN YANG SEDANG MEWAWANCARAINYA, DI TEPAN TEMAN-TEMANNYA, DI DEPAN PARA PELATIH, WASIT, DI TONTON DARI SEGALA PENJURU TRIBUN.

DILIHAT SEMUA ORANG!

“Bo-chan! Banyak orang! Malu!” aku memukul-mukul punggungnya yang masih asyik dengan pangutannya.

Aku merasa bibirnya bergerak, ia tersenyum, IA TERSENYUM DALAM CIUMANKU! Bisa-bisanya!

“Biarin,” ia melepas tautan bibir kami, “Biar semua tahu kalau Na-chan punyaku.”

“Malu! Itu nggak lihat banyak yang motret?”

Ia mengulang sekali lagi kalimatnya barusan, “Biarin, Biar semua tahu kalau Na-chan punyaku.” Lalu tersenyum. Dan sedetik sehabis itu, Wakrtawan mengerumin Bokuto (kami) lagi.

Seharusnya, itu menjadi kalimatku kan?

Biar semua tahu kalau Bokuto itu punyaku. Ya hanya milikku.

•••

Note :

Ini gua bikin apaan! Huhuhu.

Maaf kalau misalnya dua chapter kebelakang kurang greget. Ada konflik menunggu cuman karena aku bego, jadi tungg nanti setelah aku berhasil mengeditnya, ya! Semoga suka. Oh iya, ada yang tanya kenapa Harus Ino? Sederhana, aku hanya menulis apa yang kepalaku katakan. Dan dia akan sering muncul kurasa hehe.

“Waw,” steve (Captain amerika)”Canggih seperti Jarvis.”

Terimkasih sudah membaca! Aku senang sekali, seriusan!

DREAM (Haikyuu-Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang