Mencoba Kejujuran

369 74 22
                                    

“Bagaimana kalau aku bukan Mona-mu,” Aku terdiam melihat Bokuto yang menatapku dengan seksama, dengan cara ia memandang yang tak pernah teralihkan padaku, “bukan Na-chan?”

Aku sudah berfirasat kalau hari ini akan jadi hari yang panjang, kan?

Ia terdiam. Lama. Kalimatku seperti sebuah pukulan yang membuatnya mundur beberapa langkah kebelakang, tatapan matanya seketika kosong, ia terduduk, lalu tertawa tanpa energi—tawa kebingungan.

“Bagaimana bisa kamu bukan Na-chan?” ia tertawa, matanya berkeliling untuk kembali menemukan aku yang dipeluk kebimbangan.

Sangkar bianglala kami kembali bergerak menuju kearah atas.

Bokuto menari napas, mengulang kalimatnya yang tak juga bersambut, “Bagaimana bisa kamu bukan Na-chan sementara kamu adalah Na-chan?” itu pertanyaan teoritis. Semua akan menjawab aku pasti Mona. Aku adalah Na-chan. Tapi dari mana seharusnya kumulai sebuah jawaban panjang dari pertanyaan teoritis itu, pertanyaan yang bisa membuka satu persatu kebingungan Bokuto—juga kebingunganku.

Guna memecah suasana, aku tertawa juga, “Kalau begitu kenapa Bo-chan begitu yakin kalau aku ini adalah Na-chan yang membuatmu jatuh cinta pada pandangan pertama sampai-sampai kau putus dengan Yukie?”

“Tunggu,” Bokuto mengangkat tangannya, menahanku berbicara lebih jauh, padahal ya akukan juga sudah selesai ngomongnya, “Aku mau klarifikasi dulu.”

Meh. Sudah kayak artis youtube aja deh pak.

Aku mengganguk, mempersilakannya melanjutkan yang disebutnya klarifikasi itu.

“Pertama aku putus sama Yukie bukan karena Na-chan, tapi karena memang udah kesepakatannya begitu. Kedua, aku sama Na-chan bersama karena sudah takdir yang nggak bisa di ganggu gugat lagi.”

“Bagaimana kalau sebenarnya ‘kenyataan bahwa aku bukan Na-chan’ adalah takdir yang nggak bisa di ganggu gugat lagi?”

“Kamu bukan Na-chan?” Bokuto melipat tangannya setinggi dada.

“Aku Mona. Na-chan.”

“Nah.”

“Tapi aku bukan Na-chanmu, Bo.” Akau menggaruk kepalaku, sesuai dugaan, ini akan jadi penjelasan yang rumit dan alot, “Ih, gimana ya ngomognya....” oke kini aku diserang kebingungan yang hebat.

“Gimana kalau ternyata kita dari dunia berbeda, dan suatu saat nanti Na-chan pergi meniggalkan aku dan nggak ada satu orangpun yang ingat Na-chan?”

Exactly! But, wait--” Aku takjub dan senang ia langsung mengerti tanpa perlu kujelaskan terperinci, tapi bagaimana dia bisa sampai mengira kalau aku akan hilang dan dilupakan, “Aku pernah cerita apa ya sama Bobo-chan sampai punya kesimpulan menyeramkan seperti itu?!”

Bokuto menghela napas, “Katakan kalau yang aku bilang barusan nggak benar.”

Aku menggangkat bahu.

“Na-chan ingat kalau aku sering cerita tentang mimpi buruk yang aku alami?”

Aku menggangguk perlahan-lahan sekali.

Sangkar kami sudah hampir kembali mencapai puncak, dan obrolan kali masih belum menemui titik temu, maksud, dan tujuan. Ibarat TA anak D3, ini bab 1 nya saja belum terbentuk, berantakan abis. Entah akan dibawa kemana.

“Na-chan hanya ilusi. Nyata tapi bukan. Ada tapi hanya bayangan. Dan...” Bokuto frustasi menceritakannya, aku tahu, selalu tahu. “Aku hampir mati membayangkan kalau itu semua adalah kenyataan."

“Bagaimana kalau iya?”

“Apanya?”

Aku mengangkat bahu lagi, “Aku nggak nyata.”

“Tapi kamu nyata.”

Saat mengatakannya, dapat kulihat dengan jelas pada ujung mata bokuto menggantung air mata yang tertahan, tidak tumpah. Apa ia menyadarinya? Sadar kalau ia siap siaga dalam tangisan. Tapi seorang Bokuto tidak menangis, kan?

Mendebatkan perihal tentang nyata, sementara, dan kehilangan ini tanpa terasa juga memberatkan ujung pelupuk mataku, entah kenapa aku selalu saja lemah tentang hal-hal kecil seperti itu. Seperti yang selalu kuulang dalam kalimatku—tulisanku—perpisahan itu adalah sebuah keniscahyaan.

Aku memberanikan membuka suara, “Terimakasih untuk—”

Sebelum kalimat inti selesai, tangan besar lelakiku itu sudah membekap mulutku, terasa seperti rasa menyerah, “Jangan lanjutkan.” Ia bertitah. “Untuk apa Na-chan ber terimakasih? Sedangkan aku sudah janji tidak akan membuat Na-chan tidak bahagia?”

Kalau sesuatu itu bisa disebut aman, maka tatapan kesedihan Bokuto ini jawabannya, samar aku melihat luka disana. Entah luka karena apa, sebabnya kenapa, dan bagaimana. Yang kurasakan adalah rasa sakit untuk melindungi. Detik itu aku bertanya-tanya, apa pernah aku menyakitinya tanpa sadar melakukannya?

“Jangan pergi.” Dua kata diucapkan dengan patah-patah.

Ketika itu, pecah sudah pertahananku. Aku bangkit memeluknya. Hangat. Erat. Semua masa kemarin memainkan perannya dalam otakku, bagaimana ia yang bangun lebih pagi untuk mebuatkan sarapan, kejutan-kejutan kecil menyenangkan, ungkapan cinta dan kecupan-kecupan selamat pagi. Dan bagaimana aku dibanjiri berjuta-juta perasaan kasih setiap harinya—tidak pernah habis.

“kehilanganmu aku sudah. Kehilanganku kamu jangan sampai. Meski itu mimpi, rasanya seperti terjadi.” Ia bercerita dalam pelukku, “aku tidak menemukan Na-chan dimanapun, aku tidak bisa menanyai siapapun tapi tidak ada yang mengerti. Tidak ada yang ingat. Dan sekarang, Na-chan bilang itu adalah kenyataannya?”

Tangisnya pecah. Kurasa punyaku juga.

“Bagaimana bisa Aku kehilangan Na-chan?”

Sangkar kami berada di puncak untuk kedua kalinya. dan kami masih terjebak dalam serangkaian pertanyaan yang bukan untuk dijawab.

Ia melepaskan pelukanku, menatapku dalam, mencari sisa-sisa kejujuran kalau aku hanya berbohong. Tapi tentu saja Bokuto gagal, karena aku sedang berterus terang padanya.

“Bagaimana, aku hidup tanpa Na-chan?”

Entah kenapa tulisan kali ini dipenuhi tanya 'bagaimana'.

Diputaran kedua, tepat disaat puncak, aku menarik kerah Bokuto. Membawanya pada ciuman pertama yang kumulai duluan. Didalam sana, aku merasa sama. Aku merasa perpisahan adalah hal mustahil yang sanggup kulakukan. Aku membutuhkan Bokuto sebanyak ia membutuhkanku. Kami memang harus bersama, apapun akhirnya.

“Jangan pergi, aku akan membuatmu bahagia. Na-chan boleh menghukumku kalau kelak, kau tidak bahagia.”

Ia membisikiku sebuah janji, yang mungkin hampir mustahil di tepati.

***

Note:
Aku menukis ini dengan lagu Dewi Lestari – peluk yang di repeat berulang-ulang. Dan aku mewek ditengah kegiatan pengetikan. Sangat cengeng. Aku merasakan bagaimana takutnya bokuto berpisah, apalagi sebelumnya dia sudah diberi gambaran dalam mimpinya. Sedangkan Na-chan? Na-chan memang tahu ia hanya tersesat dalam semesta 2D, meskipun pasti sedih ia sudah mempersiapkan dirinya karena memang tahu ini bukan tempatnya. Huhu. Maapkan aku cengeng. Terimakasih banyak sudah mau mengikuti sampai sini, terimakasih banyak. Masih ingin menjadi saksi mimpi ini sampai akhir, kan? Hehe.

 Masih ingin menjadi saksi mimpi ini sampai akhir, kan? Hehe

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
DREAM (Haikyuu-Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang