"Tetep aja kalah mau kaya segimana juga. Menurut pengamatan gue, Sail paling anti yang namanya cewek berisik sekalipun dia cantik, bukan tipe dia," celetuk Oji, salah satu teman Sail yang saat ini sedang berbaik hati mentraktir empat temannya di Dapur Bu Nur, rumah makan sederhana yang berada di perempatan jalan raya. Ketiga temannya mengangguk kompak membenarkan penyataannya. Selama beberapa bulan mengenal Lara, hampir di setiap pertemuan mereka bertengkar.
"Lu bandingin deh sama de Salwa, udah anggun, lemah lembut, cantik, pinter," timpal Rado yang menyempatkan diri berkomentar sebelum menyantap sayap ayam kesukaannya.
"Masya Allah! Kak Salwa memang sempurna." Salah satu pelayan nimbrung sambil membawa sambal dan lalapan. Pelayan itupun pergi setelah mendapat anggukan dan tatapan tajam dari Rado, pertanda dirinya harus meninggalkan meja mereka.
"Gak ada orang yang sempurna, lagian percuma juga sempurna! Udah jadi istri orang ini. Yaaa, kecuali kalau si Sail mau nunggu jandanya," sahut Jair.
"Hush! Ngawur!" Oji mendengus kesal.
"Makan yang bener, jangan sambil ngobrol! Apalagi bahas masalah itu," ucap Sail yang sudah mulai bosan dengan pembahasan itu. Ia satu-satunya orang yang tidak bisa lagi menikmati hidangan dihadapannya karena pembahasan yang mereka bicarakan. Ia hanya memainkan cangkir kopi di hadapannya. Ia menyesal mulutnya tidak bisa dikunci rapat, ia tak sengaja mengatakan hal yang seharusnya ia simpan sendiri. Lalu sesuatu terjadi pada adiknya yang mengharuskannya menjalani operasi. Di tengah kebingungannya ia kembali mempertimbangkan tawaran pak Rama dan meminta masukan dari satu temannya yang semula ia percaya, namun sebelum ia kembali menemui pak Rama, beruntung ada seseorang atas nama hamba Allah yang telah membantu hingga ia tak harus melakukan sesuatu yang tidak bisa difahaminya. Pekerjaan apa yang dengan hanya mengawasi seseorang diberi imbalan sebesar itu. Tapi itu bukan lagi rahasianya. Satu teman yang terlanjur tahu itu berbagi cerita pada satu teman hingga dua, tiga teman yang lainnya tahu. Tadinya hanya empat teman yang tahu, lalu kemudian bu Nur dan dua pelayannya tahu karena mereka biasa nongkrong di tempat itu. Mereka bahkan terlibat diskusi panjang untuk mendukung Sail menerima tawaran pak Rama dua bulan yang lalu. Untungnya selama seminggu setelah rahasianya terbongkar hal itu masih bisa dijaga untuk tidak menyebar luas hingga keluar dari rumah makan itu. Dijamin. Karena kalau terjadi kebocoran informasi, pasti saat ini Lara sudah mengetahuinya, karena semua orang begitu tertarik untuk bicara dengannya, hingga orang lain mampu mengungkapkan isi hatinya bahkan menceritakan hal-hal tidak penting, karena menurut mereka bicara dengan Lara itu bisa meringankan beban mereka, entah kenapa hal itu tidak berlaku bagi Sail.
"Tapi gue udah ngira sih kalau dia anak orang kaya. Kalian pernah lihat saat kerja bakti bersihin mesjid, tangannya saat megang sapu itu udah tanda-tanda kalau dia bukan cewek rumahan. Itu tipe-tipe anak manja yang cocoknya nenteng tas kecil seharga mobil atau bisa jadi lebih mahal dari rumah lu, Ji." Rado menunjuk Oji.
"Rumah gue dibawa-bawa, masih mending gue daripada kalian cuma ngontrak."
Memang hanya Oji yang asli penduduk daerah setempat, yang lain hanya pendatang yang mengontrak tepat di samping rumahnya.
"Kenapa orang sekaya dia mau tinggal di sini?" Jair menaikan sebelah alisnya.
Pertanyaan itu pula yang sering menggelayuti pikiran Sail belakangan ini. Jika hanya untuk bertemu dengan teman masa kecilnya yang sudah lama tidak ia jumpai tidak perlu tinggal sampai berbulan-bulan. Apalagi kalau dilihat dari latar belakangnya, lingkungan seperti sekarang bukanlah tempat yang nyaman untuknya.
"Orang kayamah bebas, ke luar negeri aja gak perlu mikirin duit, apalagi ke sini, tinggal bawa badan doang sama kartu...Emm ngomong ngomong ATM gua yang lu pinjem kapan dibalikin Muhammad Zahir?" ucap Rado kesal sambil menarik daun selada yang sesaat lagi mendarat di mulut Jair yang sudah terbuka lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sail With Lara
قصص عامة"Kemanapun ragamu berlayar, kupastikan hatimu berlabuh di hatiku." (Laradhiya Aisya Bahtiar) "Lara tetaplah lara dan takkan pernah bisa menjadi 'pelipur lara' sampai kapanpun...." (Sailendra Omar Bahari) Ini bukan cerita cinta pria shaleh dan wanita...