"Mereka kira, aku adalah orang yang sangat beruntung yang telah dapat kebahagian itu, namun sayangnya tidak sama sekali."
-Vespiary
━━━━ • ━━━━
Rintik hujan terlihat berjatuhan dari atas langit. Menghujami trotoar jalan tol kota paling sibuk itu. Membuat semua orang lari pontang panting sambil menutupi tubuhnya, tak mau air hujan membuat mereka basah.
Terlihat banyak pekerja kuli yang mendengus pelan melihat kedatangan ratusan tetes air itu.
Ah kenapa harus sekarang, padahal hanya tinggal mengecat saja, protes mereka.
Ditengah kemacetan, terlihat segerombolan anak jalanan sedang berceloteh ria dibawah guyuran hujan. Bercanda sambil berlari mengejar satu sama lain, tanpa rasa takut jika nantinya akan terjatuh.
Tak jauh dari sana, banyak para pedagang kaki lima yang bergegas menutup kios dan membungkus rapat dagangan mereka sebelum basah.
"Sudahlah, Bu. Kita bisa menjualnya esok hari." Dipojok trotoar terdengar seorang pria tua berumur 50-an sedang menenangkan istrinya. Semua dagangan mereka masih utuh, tidak satupun terjual. Padahal hujan sudah turun dengan sangat lebat sedari tadi.
Bukan, bukan cerita tentang mereka. Tokoh utama cerita ini adalah Dia.
Seorang gadis berambut hitam sepinggang yang sedang melamun di dalam mobilnya yang macet ditengah jalan tol. Kulitnya putih pucat. Namun terlihat sangat anggun dengan dua lesung pipi di kedua pipinya.
Hujan, sepatah kata itu yang tersirat dalam benaknya saat ini. Sudah lama ia tak merasakan dinginya hujan. Lama sekali.
Ia bahkan tak sadar, jika saat ini sedang diperhatikan oleh seorang pria yang duduk didepanya. Pria yang sedari tadi diketahuinya sedang menyetir.
"Pak, Pak Wiyoko. Pemilik tempat itu sudah menyetujui tawaran bapak. Esok pagi dia setuju menemui anda di Mansion nya"
Pria yang dipanggil Wiyoko tersebut menghela nafas pelan. Sudah seminggu dia menunggu kabar ini.
"Sampaikan padanya aku siap menemuinya esok pagi" Balasnya lewat alat yang berada di telinganya.
Percakapan ditutup. Menyisakan keheningan didalam mobil yang sudah melaju itu.
"Sam,"
Wiyoko mencopot alat yang berada di telinga yang dan mendongak menatap gadis yang sedari tadi diam seribu bahasa.
Sam mengalihkan pandangannya dari hujan dan menatap ayahnya.
"Iya, Ayah?" Tanyanya lirih. Itu pun sudah merupakan suara yang normal menurutnya.
Wiyoko hanya tersenyum tulus kearah Sam dan kembali fokus kejalan.
"Ayah punya kejutan untukmu"
Sam mendongak dan tersenyum lebar. Kedua lesung pipi itu terlihat dengan sangat jelas. Manis sekali.
"Oh ya? Wah aku sudah tak sabar melihatnya" Ucap Sam antusias.
Wiyoko hanya tersenyum sambil menatap sendu jalanan.
Lihatlah, Marry, anak kita tumbuh dengan baik. Dia masih bisa tersenyum hangat.
Hari itu, setetes air jatuh ke bawah. Bukan air dari langit. Melainkan air mata seorang ayah terhadap putrinya.
---------------------------------------
"Ayah harus pergi besok pagi, Sam. Mungkin akan kembali esok paginya lagi. Ayah harap kau bisa menjaga dirimu baik selagi Ayah pergi"
Sam mengangguk sambil tertawa kearah ayahnya. "Ayah masih saja menganggapku seperti anak kecil. Padahal aku sudah berumur 15 tahun"
Wiyoko tersenyum hangat dan menyuruh putrinya tersebut supaya beranjak ke tempat tidur.
Sam mengantar Wiyoko hingga pintu depan Rumah Mewahnya dan berjalan menuju kamar.
Matanya jengah melihat apa yang menyambutnya setiap hari film kamarnya. Bahkan setiap pagi, sore, dan malam.
Obat.
Ya, diatas nakas tempat tidurnya terdapat bahkan hampir sepuluh macam jenis obat untuk penyakitnya. Dia tahu dia sakit, dan penyakitnya berbahaya. Tapi apakah dengan meminum obat sebanyak ini setiap hari akan membuatnya sembuh. Gadis itu masih ragu.
Bahkan pernah terbesit dalam pikiranya jika saja hidupnya mungkin tak lama lagi, apakah seandainya lebih baik dia menikmatinya dengan melakukan hal hal yang selama ini tidak diperbolehkan ia lakukan daripada meminum sesuatu yang masih semu untuk diyakini.
Dia memang penyakitan.
Dia tidak menyalahkan itu.
Dia hanya tak suka menatap dirinya sendiri.
Lemah. Tak berdaya. Ringkih.
Seolah olah anginpun dapat menerbangkannya.
Dia membenci ketika kerap kali dia bercermin. Gadis itu memang cantik. Sangat malah. Ditambah dengan kedua lesung pipinya.
Namun dia benci dirinya.
Dia benci wajah pucatnya. Dia benci pipi tirusnya. Dia benci mata sayunya. Dia benci bibir mungilnya. Dia benci lingkaran hitam yang setiap hari menghiasi matanya.
Bahkan dia membenci caranya berjalan yang tidak normal. Tidak, dia memang berjalan normal menggunakan dua kaki. Namun salah satu kakinya kurang beberapa senti dari kaki lainya. Kaki kirinya lebih pendek sedikit daripada kaki kananya.
Dia membenci semua yang ada pada dirinya.
"Nona, Anda sudah minum obatnya?"
Seorang Maid dengan seragam khusus masuk kekamar Samantha.
"Ah sudah, terimakasih" Ucap Samantha sambil tersenyum ramah, memperlihatkan kembali lesung pipinya.
Maid tersebut masuk kedalam kamar Samantha dan duduk disebelahnya. Dia Maid yang sudah agak tua, umurnya sekitar hampir 50-an. Dan itu tandanya dia sudah mengasuh Samantha dari sejak Samantha lahir.
"Saya tahu Nona sangat menyukai sejarah. Dan apakah Nona tahu apa kejutan yang akan dipersiapkan oleh Ayah Nona nantinya?" Maid tersebut tersenyum hangat kepada Sam.
Sam memicingkan matanya dan mendekat kearah Maid tersebut.
"Sebuah Mansion besar didekat benteng Belanda yang sudah tua" Bisik Maid tersebut sambil terkekeh.
Maid tersebut tahu jika Nona-nya ini amat menyukai Belanda.
Samantha yang mendengar itu langsung membulatkan matanya sempurna.
"Bibi tidak bercanda kan? Mansion besar? Peninggalan Belanda? Apakah ada banyak han.." Samantha menutup mulutnya dan kembali melanjutkan. "Apakah bangunan itu milik pemerintah?"
Samantha hampir saja mengatakan sesuatu yang berbahaya bagi dirinya. Dia suka hantu. Tapi Ayah-nya sangat membencinya. Jika saja Mansion itu terdapat hantunya, habis sudah keinginannya untuk memiliki Mansion berhantu itu.
Maid itu tertawa pelan. Bingung mau menjawab yang mana.
"Mansion itu memang peninggalan Belanda, Nona. Tapi tidak dinaungi pemerintah. Asal Nona tahu, Ayah Nona pasti akan terkejut ketika tahu jika pemilik Mansion yang akan beliau temui nantinya adalah seorang anak laki laki sepantaran Nona" Tawanya geli.
Samantha ber'wah' ria. Pemilik Mansion seumuran dirinya? Bukankah itu hebat?
Samantha tidak tahu. Maid itu pun tidak tahu. Bahkan Ayah-nya dan Pemilik Mansion itu juga tidak tahu.
Kalau nantinya, sebuah cerita besar akan terjadi setelah itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vespiary
RandomVespiary~ Best cover by @Rindu_rasa Bagi Sam, hujan adalah jantung keduanya. Tempat dimana dia mengaduhkan sedu sedan. Meratapi diri dan mengutuk segala nasib. Disanalah dia bergantung harap, ketika semua mata manusia, menatap aib tangisnya. Ah biar...