WOMAN AT 25: MARRIAGE?

43 0 0
                                    


Aku ingin pergi ke tempat yang sangat jauh sebelum aku meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya...

* * *

Seorang pramugari menyapaku dengan ramah ketika aku sedang membaca sebuah novel. Aku mendongakkan kepala melihat pramugari itu. Senyum ramah yang menghiasi wajahnya membuat ia terlihat begitu cantik. Rambutnya yang berwarna kecokelatan digelung rapi ke belakang. Matanya berwarna kebiruan dengan bulu matanya yang lentik. Bibirnya yang tebal dihiasi lipstik warna merah darah yang sangat merona. Kulit wajahnya putih berbintik kecokelatan. Perawakannya yang khas Hispanik itu sangat jelas menunjukkan negara asalnya yang juga menjadi tujuanku saat ini.

Aku meminta jus mangga pada pramugari yang sedang menawarkan minuman itu. Dia segera mengambil botol besar dari dalam meja dorongnya, lalu menuangkan isinya ke sebuah gelas. Gelas itu diisi hingga hampir penuh, lalu dia memberikannya padaku. Setelah aku menerimanya, pramugari itu menyapa penumpang yang duduk di sebelahku. Penumpang itu hanya menggeleng dengan raut tidak ramah. Pramugari cantik itu berlalu menuju tempat duduk di depanku.

Sekilas aku mengamati penumpang di sebelahku. Dia seorang laki-laki paruh baya dengan badan kekar dan rambut pirang yang botak di bagian depannya. Sejak aku duduk di pesawat ini dengannya, dia sama sekali tidak pernah menunjukkan raut wajah hangat dan bersahabat. Tak sedikit pun senyum terutas di bibirnya ketika pramugari datang menawarkan sesuatu. Dia juga tidak menegurku sama sekali. Aku melihatnya lebih banyak menghabiskan waktu di tempat ini hanya dengan tidur.

Aku tak mempermasalahkan hal itu. Justru, aku merasa senang karena aku duduk dengan orang seperti dia. Saat ini, aku pun tak ingin banyak mengobrol dengan siapa pun. Aku ingin menikmati perjalanan ini dengan diam sampai aku tiba di tempat tujuanku.

Aku membuka meja lipat yang ada di depanku untuk meletakkan gelas minuman berisi jus mangga itu. Kutegakkan badanku sejenak untuk meluruskan otot-otot dalam tubuhku yang terasa tegang. Lalu aku menyandarkan badanku ke kursi. Aku menghela napas dalam ketika sesuatu tiba-tiba menyergap benakku. Hal yang selama ini cukup mengganggu pikiranku hingga aku harus mengambil sebuah keputusan yang sangat berani. Aku tidak banyak berpikir dalam memutuskannya. Keputusan itu kuambil dengan begitu cepat.

* * *

Aku melangkah meninggalkan bangunan gedung setinggi lima lantai tempat aku bekerja sehari-hari. Bank swasta yang berada tepat di pusat kota Bandung. Saat itu waktu menunjukkan pukul 7 malam. Aku baru saja menyelesaikan lemburan yang biasa menyergap pegawai sepertiku di akhir bulan. Ketika aku berjalan menuju trotoar di luar kantor, terdengar seseorang memanggilku dari arah parkir.

"Lusi!"

Aku memalingkan wajah ke arah si pemanggil. Kulihat Alya, seorang rekan sekantor, melambaikan tangannya padaku.

"Hai, Al! Aku pulang dulu ya!" sahutku sambil membalas lambaian tangannya, lalu kembali meneruskan langkahku.

"Tunggu, Lus!" Alya berteriak lagi sehingga membuatku mau tak mau harus berhenti.

Aku berdiri menunggu Alya tepat di tengah halaman kantor yang luas. Kulihat Alya menstarter motornya lalu menjalankannya ke tempatku berdiri. Dia membuka kaca helm-nya ketika sudah berada di dekatku.

"Ayo pulang bareng aku, Lus," kata Alya sebelum aku bertanya kenapa dia memintaku menunggunya. "Hari ini kamu terlihat pucat. Kamu sakit?"

Pertanyaan Alya membuat keningku berkerut. Aku tidak tahu apakah aku terlihat pucat dan sakit di depan banyak orang hari ini. Hanya saja, memang aku merasa badanku kurang sehat. Tapi aku sudah berusaha agar terlihat sehat sehingga tugasku untuk melayani banyak orang bisa tetap kulakukan dengan baik seperti biasanya.

Spring AndaluciaWhere stories live. Discover now