Mau apa lagi, sih?

20 5 3
                                        

*aku kembali hehe*












Diva tidak salah lihat? Untuk memastikannya, ia coba sedikit melangkahkan kakinya agar lebih dekat dengan mereka. Tak lupa, ia sedikit menyipitkan matanya agar benar-benar yakin kalau ia kenal dengan lelaki yang ada di seberangnya.

"Dia Yudha, kan? Eh tapi Yudha kan lagi kuliah di Lampung. Tapi itu bener-bener mirip Yudha. Lebih baik aku samperin dja"

Baru saja Diva akan menyebrang, tetapi lalaki yang ia lihat mirip Yudha itu sudah terlebih dahulu melajukan motor matic hitamnya. Meninggalkan gadis berambut sepinggang yang tadi mengobrol dengannya.

"Ah sudahlah. Mungkin aku salah lihat" Diva kemudian melanjutkan langkahnya lagi.

🌱

"Bundaaaaaa......." ucap Diva ketika baru memasuki rumahnya. Ia segera melangkahkan kaki menuju dapur untuk menyimpan barang belanjaan yang tadi ia bawa, pesanan bundanya. Harap-harap sang bidadari tak bersayap itupun sedang ada di dapur.

"Kok bunda gak ada di dapur ya" gumam Diva

"BUNDAAAAAAAAAA" gadis berkulit kuning langsat itu kembali memanggil sang ibunda dengan suara menggelegar memenuhi seluruh ruangan yang ada di rumah itu.

"BUNNNNN---" ucapannya terpotong ketika ada suara serak dari seorang pria yang tiba-tiba menyahuti dari belakangnya.

"Teriak terus. Dipikir ini hutan kali" sindir pria yang hanya memakai boxer hitam itu. Terlihat rambutnya masih basah dan sedikit acak-acakan dengan handuk yang menggantung di pundaknya. Khas orang baru selesai mandi.

"Eh bang sat" ucap Diva seraya tersenyum  menampilkan gigi putihnya yang tersusun rapi.

"Eh eh eh, itu omongan dijaga yaa" pria itu menghampiri Diva lalu menjewer telinga gadis itu.

Diva meringis kesakitan karena perlakuan abangnya barusan. "Awww.. Abaang sakit dih!"

"Suruh siapa ngomongnya kasar gitu"

"Maksud aku itu, Bang Satria. Abang namanya Satria kan?"

"Alah ngeles mulu lo, dek. Kayak bajaj aja. Biasanya manggil bang Tama, lah ini malah kayak gitu. Lo ada masalah apa sama gue?" ucap lelaki bertinggi 179 cm itu.

"Oh abang Satria Tama yang paling aku sayangi karena aku cuma satu abang, jangan baperan gituuu dong. Aku cuma becandaa" Diva berusaha agar Tama tidak marah.

"Jadi kalau lo punya abang lagi, lo gak bakal sayang gue gitu?"

'Abang aneh deh. Yakali aku punya abang lagi' batin gadis itu.

"Udah ah, abang jangan ngaco gitu. Abangku cuma satu. Tidak kurang dan tidak lebih. Cuma bang Tama seorang. Dan aku sayang bang Tama selamanyaaaaaaaa" Diva lalu berhambur ke pelukan kakaknya itu.

"Kebiasaan nih, lo paling bisa bikin amarah gue reda dalam waktu sekejap" ucap Tama sembari mengusap kepala adiknya.

"Abang sayang aku juga, kan?" Diva berbicara sembari mendongak. Karena tingginya hanya sebahu Tama saja.

"Kepo. Hahah" Diva mendengus kesal lalu melepaskan pelukannya.

"Abang nyebelin!"

"Bodooooo!" Tama berlari ke kamarnya meninggalkan Diva yang masih kesal karena sikapnya barusan.

Brak. Pintu kamar Tama tertutup dengan sempurna.

Sedetik kemudian, pria berusia dua puluh dua tahun itu kembali menyembulkan kepalanya dari balik pintu kamar, "Ayah sama bunda lagi ke rumah paman Indra dulu. Katanya paman lagi sakit. Dan bunda pesen, lo suruh tidur duluan aja. Karena mereka pulang nya agak malam"

"Kok cuma aku aja yang di suruh tidur duluan? Bang Tama gimana?"

"Yaa terserah gue dong mau tidur jam berapa. Hahah" lagi lagi Tama membuat adik semata wayangnya itu kesal.

"Abang nyebelin!" rutuk Diva. Ia kemudian langsung berlari ke arah kamarnya. Gadis itu tak mau jika harus mati berdiri karena mengobrol dengan abangnya yang hanya ingin menang sendiri.

Waktu sudah menunjukan pukul sepuluh malam kemudian Diva merebahkan tubuhnya karena baru selesai belajar. Tiba-tiba saja pintu kamarnya kembali terbuka.

"Dek,"

Diva tak merespon.

"Dek," ujar Tama menghampiri adiknya sembari mengguncang lengan Diva yang sedang telentang memainkan ponsel.

Diva hanya berdehem tanpa menoleh ke arah abangnya

"Adek, ish.. bangun dulu bentarrr.." Tama membangunkan paksa adiknya itu. Karena tenanga abangnya yang kuat itu, Diva jadi terduduk menghadap Tama.

"Mau apa lagi sih, bang? Ganggu tau gak" ketusnya.

"Bikinin gue telor ceplok dong, dek. Gue laper"

"Bikin sendiri aja bisa kan bang?" ujar Diva malas.

"Ya kalo gue bisa gue gak bakal minta dibikinin sma lo, dong"

"Masak mi instan aja sana bang! Kan abang ahlinya"

"Gue bosen dek. Masa tiap malem makan itu mulu"

"Yaudah sih, abang tinggal tidur aja. Kan udah tau sekarang udah malem. Aku juga udah ngantuk"

"Abang kalo lagi laper gak bisa tidur dek. Ayolaaaaa adeku yang cantiiikk, pinter dan baik hati, masakin abang telor ceplok bentaaar aja. Masa lo tega sih liat abang lo kelaperan kayak gini" Tama merayu adiknya dengan memasang wajah melas

"Iya iya iya.. Aku bikinin nih" dengan terpaksa, Diva bangkit dari kasurnya.

"Giliran ada maunya aja muji segalaa" gumam gadis mungil itu

"Abang denger deekk" ucap Tama, namun tak mendapat respon dari adik satu-satunya itu.

🌱🌱🌱


"Lian," sudah tiga kali gadis itu memanggil laki-laki di sampingnya. Namun hasilnya tetap sama, lelaki itu tetap diam dengan mata yang terus fokus pada layar ponselnya.

"LIAN!" suara gadis itu meninggi sembari merebut paksa ponsel milik lelaki yang dipangil 'Lian' itu.

"Ish Hani, apaan sih lo! Balikin handpone gue!" Lian kembali merebut benda pipih itu.

"Aku mohon, Yan. Kamu jangan gantungin hubungan kita kayak gini" rengek gadis itu pada Brylian.

"Kita putus." Brylian mengucapkan dua kalimat itu dengan mantap. Lalu pergi meninggalkan Hani, yang kini sudah menjadi mantan kekasihnya, yang masih menganga tak percaya dengan ucapan lelaki berkumis tipis itu.




















🐝🐝🐝

NadeevaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang