Prolog

317 23 2
                                    

Langit gelap yang dihiasi dengan titik-titik putih berjatuhan membuat malam ini terlihat indah. Jalan pedesaan berbata yang biasanya berwarna coklat kemerahan kini tertutup warna putih, dingin. Taman, bangku, pepohonan, bahkan rumah penduduk pun tak terhindarkan dari guguran es yang mereka sebut salju.

Di sebuah bar sekaligus penginapan, terdengar lantunan musik klasik dari piringan hitam. Canda tawa beberapa orang di dalamnya terdengar sampai luar. Rupanya mereka sedang merayakan starry night festival bersama.

Namun di luar hiruk pikuk kebersamaan mereka, di salah satu sudut Mineral Town, sepasang kaki bersepatu boots coklat menginjak tumpukan salju yang menyelimuti dermaga kayu. Claire, ia turun dari atas kapal dengan mengenakan mantel musim dinginnya. Nafas yang ia hembuskan mengepulkan embun yang kemudian hilang di antara udara dingin malam ini.

Ia menengadahkan kepala dengan wajah muramnya. Seluruh tubuhnya terasa dingin. Namun hanya kedua matanya yang terasa panas. Terlihat jelas ia menahan sekuat tenaga air hangat yang akan keluar dari pelupuk matanya.

Dari pondok Zack, keluar Won dengan membawa tas kopernya yang besar. Salah satu tangannya memegang setangkai bunga berwarna biru keputihan yang sudah agak layu. Malam ini ia akan pergi ke pulau tetangga yang jaraknya tidak terlalu jauh dari Mineral Town. Tujuannya sudah tentu untuk berdagang.

Namun ketika langkah kakinya menginjak dermaga, ia segera berhenti. Dilihatnya Claire berdiri di ujung dermaga tanpa bergerak sedikitpun. Wajah sedih Claire tampak sangat jelas sehingga membuatnya membuang nafas dan segera melangkahkan kakinya untuk mendekati gadis itu. Selama ini Claire sudah menjadi pelanggan setianya meski mudah ditipu. Jadi ia ingin setidaknya membuat gadis itu tidak terlihat bersedih.

"Kau baru sampai di Mineral Town dan wajahmu sudah semengenaskan ini. Ada apa, gadis petani? Apa kau tidak bertemu dengannya?" tanya Won.

'Nya' yang dimaksud Won sudah pasti Claire tahu siapa dia. Maka dari itu ia tidak bisa menjawabnya dan hanya menunduk menelan saliva.

"Sudahlah, kau tidak cocok dengan wajah sedih seperti itu."

Meski Won berusaha menghibur Claire, tapi nyatanya kata-kata yang keluar dari mulutnya tak satupun dijawab oleh gadis itu.

Won teringat, ia harus segera naik ke kapal agar tidak ketinggalan pemberangkatan berikutnya. Namun sepertinya barang bawaannya terlalu banyak. Ah, benar, bunga layu yang ia pegang. Ia lupa untuk membuangnya. Namun sayang sekali jika harus dibuang.

Ia memandangi Claire dan bunga yang ada di tangannya bergantian. Yaah, daripada di buang sebaiknya ia berikan saja pada Claire.

"Ini, aku berikan bunga ini padamu," ucap Won sambil menyerahkan bunga berwarna biru keputihan tersebut pada Claire.

Claire mengernyit, bingung. Untuk apa Won memberikan bunga layu ini padanya? Namun jika diperhatikan, ia belum pernah melihat bunga tersebut.

"Itu adalah bunga kebahagiaan. Bunga langka yang hanya tumbuh di Mineral Town. Hanya orang-orang yang beruntung saja yang bisa melihatnya. Dan kurasa kau salah satunya. Harusnya harganya sangat tinggi jika dijual. Tapi ini sudah agak layu, tidak akan ada orang yang mau membeli. Meskipun begitu, efek kebahagiaannya tidak akan hilang." Won mulai dengan kata-kata omong kosongnya. Yaah, meskipun tidak semuanya omong kosong. Hanya sedikit berlebihan.

Claire hanya memandangi bunga tersebut dengan tatapan sendu.

"Semoga kau bahagia, Claire," ucap Won berpamitan.

Claire berjalan meninggalkan dermaga. Kini satu tangannya memegang bunga kebahagiaan yang diberikan Won padanya. Satu tangannya yang lain menyeret koper tanpa tenaga, meninggalkan jejak di atas tumpukan salju.

Malam ini sungguh dingin. Bahkan mantel tebalnya pun tak sanggup menghangatkan tubuhnya. Setelah beberapa menit berjalan, langkahnya terhenti. Rasanya kakinya tak sanggup lagi melangkah. Ia menoleh ke kiri. Sebuah jalan setapak dengan ujung yang gelap di antara Yodel Farm dan Poultry Farm entah kenapa membuatnya tertarik. Bagai magnet, ia pun melangkahkan kakinya menuju ke hutan yang gelap. Mungkin hanya ada sedikit cahaya dari dalam rumah Gotz.

Kakinya terus berjalan tanpa tujuan. Tempat gelap kini tak lagi jadi menyeramkan baginya. Lamat-lamat Claire mendengar suara air terjun. Ia berpikir, mungkin disanalah tempat yang tepat untuknya memikirkan semua ini.

Claire melepaskan pegangan tangannya pada koper yang ia seret, meninggalkannya di jalan masuk menuju air terjun. Ia berjalan mendekati batu pembatas dan terduduk lemas.

Memang benar, selain suara ombak, suara air terjun juga bisa menenangkannya. Mungkin kulitnya sudah hampir membeku diterpa hawa dingin. Tapi ia tidak peduli. Suasana hatinya saat ini jauh lebih dingin daripada hawa di sekitar.

Claire menarik sudut bibirnya, memaksa tersenyum.

"Bukankah... aku gadis terbodoh di dunia ini?" Claire bergumam sendiri. Tiba-tiba senyum di bibirnya menghilang. "Dan kau... yang membuatku jadi seperti ini."

Kembali ia rasakan kedua matanya memanas. Dan sekuat tenaga ia menahan air matanya agar tidak terjatuh. Ia tidak ingin menangis. Dilihatnya bunga kebahagiaan di tangan kanannya. Apa tidak salah Won memberikan bunga layu ini padanya?

"Bunga kebahagiaan?" Claire tersenyum sinis. Kemudian ia membuang bunga itu ke air terjun. Salah sekali Won memberikan bunga itu padanya. Karena pada akhirnya hanya ia buang.

Memberikan efek bahagia?

Cih!

Nyatanya yang ia rasakan malah sebaliknya.

Tetapi, hal tak terduga kemudian terjadi. Cahaya putih itu hampir menyilaukan matanya.

--||--

.

.

.

.

.

Haloo.. senang menyapa lagi 😊

Akhirnya season 2 hadiiir 🤗

Tapi...
WARNING! Season 2 ini banyak dramanya yaa.. jadi maaf bagi yang tidak suka fanfic harvestmoon rasa drama 🤭 mungkin scene2 bercocok tanam dan semacamnya khas harvestmoon hampir tidak ada di cerita. Karena memang passion saya lebih ke drama yaa. Mohon pengertiannya :)

After all, happy reading.. 😘

"Next part secepatnya.." 🤭

(HIATUS) He's My Fiance [Fan Fiction Game Harvest Moon]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang