Prolog

200 10 13
                                    

Sebuah cahaya terang dari sela-sela jendela membuatku terbangun dari tidur yang lelap. Gorden hijau dengan motif bunga dendelion kutarik dengan cepat untuk menghalangi sinar matahari masuk dan melanjutkan tidurku.
"Derttt....," suara itu berasal dari perutku.
"Ah! Kenapa harus sekarang?" aku bergumam kecil, dengan malas aku bangun dari tempat tidur dan menuju ke dapur mencari santapan.

Di meja dapur terlihat bekas makanan semalam. Aku kemudian membuka lemari es, berharap disana masih ada sosis atau apa saja yang dapat di santap. Sayangnya, tuhan tidak mengambulkan harapanku, di kulkas tidak ada satu pun makanan, boro-boro sosis, air putih saja tidak ada.

"Nita! Kamu udah bangun?" Aku menuju ke kamarnya untuk mengecek keberadaanya.
"Tuh anak kemana coba." Langkahku terhenti sejenak ketika melihat sebuah kalender yang terpampang di dinding. Stop dulu, sekarang hari jum'at? Berarti dia sekolah donk. Aku mendengus pelan lalu kembali ke dapur. Andai saja ada Nita, aku bisa meminta dia untuk membelikan makanan. Nita adalah adik angkatku, aku mengambilnya karena kisah hidupnya hampir sama denganku. Juga karena dia memilki kepintaran yang cukup bagus. Beda denganku, smp saja aku 4 tahun. Tapi syukurlah, SMA-ku tiga tahun. Ya, meskipun aku dapat peringkat 29 dari 30 siswa.

Pekerjaan lumayan berat sih, aku jadi seorang kasir di salah satu kafe dan juga malamnya aku jadi penyanyi. Itu pekerjaanku dari dua tahun yang lalu. Hari ini, aku harus menuju ke minimarket untuk membeli bahan makanan.

Drrrttt!....
Ah! Suara perutku kembali berbunyi. Aku kemudian bergegas keluar dari rumah dan mempercepat langahku menuju ke minimarket terdekat. Jarak rumah kontrakanku ke minimarket kurang lebih 70 meter.

Kendaraan dengan berbagai jumlah roda terus berlalu lintas di jalanan kota. Aku semakin mempercepat langkahku, seorang wanita tua berumur 50-an berdiri di pinggir jalan berdekatan dengan tiang lampu merah. Dia terlihat sedang menunggu pergantian lampu. Ketika lampu hijau menyala untuk pejalan kaki. Wanita tua itu langsung mempercepat langkahnya menuju ke seberang jalan.

Aku juga semakin mempercepat langkahku agar tidak ketinggalan dengan lampu hijau itu. Sekitar 2 meter dariku, Dompet wanita tua itu terjatuh di aspal membuatnya berhenti sejenak di tengah jalanan. Aku kemudian membantunya dengan cepat. Lalu bergegas berjalan melewatinya.

3.... 2.... 1...,

Lampu hijau pun berganti, suara yang nyaring dari arah kiri membuat ku membuatku menengok sejenak. Motor itu melaju di atas kecepatan normal. Di belakang motor itu terdapat mobil polisi yang tak kalah cepat. Kakiku bergetar, sebab wanita tua itu masih di badan jalan. Sedangkan lampu pejalan kaki sudah berwarna merah.

Motor tersebut menyalip dari kanan dan masuk ke samping kiri mobil, lalu menancap gas lebih cepat lagi, sedangkan perempuan tua itu berada di posisi berlawanan dengan motor tersebut. Kulangkahkan kakiku dengan penuh keberanian untuk menyelamtakan wanita tua itu.

Awas!

Brugh!!! Argh...!

Perempuan itu terpental karena doronganku sekaligus karena motor tersebut. Sedangkan aku, terkulai lemas di sisi kiri dia, kakiku terasa seperti mati, aku tahu apa yanng terjadi, pandanganku hanya pada wanita tua itu. Apakah aku berhasil menyelamatkannya?"

****

"Apa ma? Aku harus nikah sama dia. Gak! Gak akan." suara dari samping kamar membuatku terbangun.

Sayup-sayup aku menatap Nita dengan pakaian SMA-nya berdiri di sampingku.

"Eh, Kak Areta udah sadar." Nita bergumam kecil sambil tersenyum lembut ke arahku. Gadis itu kemudian memelukku dengan hangat.

"Aku panggil dokter dulu ya kak," Gadis itu kemudian berlari kecil sambil memanggil dokter.

Tiba-tiba seorang pria dengan jas putih dan rambut berwarna hitam kelam masuk sambil membawa kursi roda. Cukup kasar.

"Ma-Maaf anda siapa?" suaraku lemah karena badanku belum pulih sepenuhnya. Lelaki itu dengan cepat mengangkatku dari ranjang ke kursi roda.

"Cukup! Anda siapa berani-berani memindahkan saya dengan kasar," aku mengoceh pada pria yang super kasar ini. Pria itu mendorong kursi roda tersebut keluar dari ruanganku.

"Saya bilang cukup! Anda tidak bisa memaksa saya!" ucapanku seperti angin yang berhembus di telinganya. Pria itu terus mendorongku dan kemudian masuk ke dalam ruangan. Ruangan tersebut terdapat 5 perempuan yang umurnya 20-35 tahun. Juga terdapat 4 lelaki yang tak jauh dari umur kelima perempuan itu. Mulutku terdiam sejenak ketika semua mata menuju ke arahku.

"Mama sekarang liat bagus-bagus gadis ini. Apa yang bagus dari dia dan apa yang membuat mama tertarik menjodohkan dia denganku!" ucapan pria kasar itu membuat jantungku berdetak kencang. Siapa yang akan dijodohin?

"Arta pelankan nadamu, kamu gak liat kondisi ibu gimana?" seorang pria yang lebih tua dari pria kasar itu menatap tajam.

"Nak, aku tidak tahu nama kamu siapa, orang tuamu siapa? Dan dari keluarga mana kamu. Aku tidak tahu kenapa kamu mau menolongku. Hati sepertimu sekarang sulit sekali untuk dijumpai. Dan aku sangat berterima kasih kepadamu. Huk-huk-huk...," Wanita tua itu kemudian batuk. Mendengar batuknya saja membuat terasa sakit. Kondisinya benar-benar kritis. Dua selang oksigen masih duduk di lubang hidungnya.

Aku hanya tersenyum tipis mendengarkan ucapannya. Karena aku rasa, menolong sesama manusia adalah keajaiban.

"Aku tidak tahu harus bagaimana berterima kasih kepadamu, karena kebaikan hatimu, kau ikut menerima imbasnya." Wanita tua itu meneteskan air mata. Dia mulai kesulitan berbicara. Tenggorokannya seperti tercekat.

"Untuk itu, biarkan aku membalas budi kepadamu, menikahlah dengan, Arta. Dia akan menjadi perisai dalam hidupmu, melindungimu seperti kau melindungiku. Jadi apakah kau mau menikah dengan Arta?" Wanita tua itu kemudian tersenyum lembut padaku. Aku yang hampir mengangkat mulut untuk menolak, tercekat oleh ucapan Arta, maksudku pria kasar itu.

"Ma, aku gak mau nikah sama dia. Aku cuma cinta dan akan nikah sama Serta. Dia satu-satu-"

Desahan nafas Wanita tua itu tidak beraturan. Matanya berkelipat ke atas.

"Cari dokter cepat! Aku gak mau mama kenapa-napa!" tiga gadis di ruang itu keluar berlarian mencari dokter untuk segera datang.

"Arta, tolong terima perjodohan ini. Ma-mama ingin-,"

"Ma, tapi aku-," tetesan dari mata Arta jatuh dengan cepat.

"Dokter mana!" Pria yang paling tua itu meneriaki saudara laki-lakinya untuk segera mencari dokter.

"Telpon bibi sekarang, suruh mereka datang," gadis yang paling tua itu berkata kepada Pria yang paling tua, kemungkinan mereka suami istri.

"Nak, kau mau-kan?"Wanita tua itu menatapku penuh harapan. Aku tidak bisa menolak kali ini, tidak ada pilihan. Wanita itu benar-benar dalam kondisi kritis dan aku tidak akan pernah mau berkata tidak di saat situasi ini. Aku kemudian mengangguk pelan. Ia kemudian menatap ke arah Arta.

"Berjanjilah bahwa kau akan menikahinya," ucapan itu terdengar lemah sekali. Tanpa sadar air mataku jatuh dengan teramat deras.

"Aku janji akan menikahinya. Berhenti bicara ibu, aku tidak mau kau semakin parah," Arta menangis dengan teramat deras. Tepat ketika dokter datang, saat itulah nafas wanita tua itu berhenti berhembus.

Mama! Ma! Bangun!

Ma!!!

Bangun ma! Mama baik-baik aja! Ma bangun!

Tidak ada satu pun dari mereka tidak menangis. Semuanya menjatuhkan airmata dengan teramat keras. Entah kenapa, meskipun aku bukan dari keluarga ini, Rasanya sampai ke hatiku, rasanya teramat perih, seperti ditusuk oleh ribuan duri mawar. Hari ini, tubuhku terasa seperti milik dari keluarga ini.

Jangan lupa follow  Firamarifat dan juga akun segenggamrindu sebelah kiri. Happy reading

A Bad MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang