Chapter 2

69 1 0
                                    

Mentari bersinar lembut di atas sana. Rasanya, seperti kemarin saja aku bangun dari tidur dan terganggu oleh sinarnya. Namun lihatlah sekarang, aku terjebak dalam labirin pernikahan bersama orang yang bahkan aku tidak tahu datang dari mana.

Aku sudah satu minggu di rumah ini, maksudku di rumah Arta. Jika boleh jujur aku sedikit bosan diam dan menyendiri seperti boneka mati. Ditambah pergi ke mana-mana harus menggunakan kursi roda.

Aku menerima keadaanku sekarang, keadaan yang tak pernah kuinginkan. Duduk di kursi roda. Hari ini Kak Menica akan datang, tapi batang hidungnya saja belum terlihat. Adikku Nita jarang ke rumah karena dia sedikit sibuk.

Jangan tanya apa aktivitas Arta. Semenjak kejadian itu, aku tidak pernah berbicara dengannya. Dia keluar dari rumah pagi dan pulang dengan keadaan mabuk. Aku tidak memperdulikannya, kenapa aku harus peduli pada dia? Ya meskipun kadang otakku menyuruh diriku peduli dengan dia karena aku berstatus sebagai istrinya. Oh iya, semalam dia pulang di antar oleh seorang gadis cantik seusiaku. Aku tidak tahu siapa dia, Namun mereka amat dekat. Tapi Siapa juga peduli dengan mereka?

"Kau sedang apa sendiri di taman belakang." Kak Menica tersenyum lembut dan memeluk dari belakang. Dia akhirnya tiba.

"Aku cuma bosan di dalam rumah kak. Oh iya, boleh gak kalau taman belakang ini jadi tempat favoriteku? Soalnya aku belum pernah punya taman." Aku menatap Kak Menica dengan tatapan penuh harap.

Saat Kak Menica mengangkat mulut untuk menjawab. Arta tiba-tiba berjalan di hadapanku dengan Apel merah di tangan kanannya.
"Ini bukan rumahmu. Dan taman ini bukan milikmu. Jadi cari tempat lain untuk dijadikan tempat favorite. Taman ini terlalu besar untuk seorang pembunuh sepertimu." Dia menatapku dengan amat tajam. Hatiku benar-benar tergores, bukan karena tatapannya. Tapi karena ucapannya. Arta pergi dari hadapanku menyisakan aku dengan airmata yang jatuh.

"Kamu tidak boleh nangis, Areta. Kamu itu kuat. Ucapan seperti itu tidak ada apa-apanya bukan." Kak Menica menghapus airmataku. Aku tetap diam, mencoba menahan dan tegar.

"Areta, kamu harus kuat. Arta itu dulu tidak seperti itu. Dia itu lelaki penyayang. Dulu saat aku terluka kecil saja, dia membawaku ke rumah sakit. Dia kalau khawatir akan berlebihan dan itu semua semata-mata keinginan dia untuk menjaga orang yang ia sayang." Kak Menica diam di hadapanku sambil bercerita.

"Aku tidak tahu harus menyarankan apa dalam rumah tanggamu Areta. Tapi cobalah untuk mengikuti arusnya. Jangan melawan sedikit pun. Kau sekarang membenci Arta, tapi jangan berlama-lama. Kau adalah istrinya, kau punya hak dalam rumah tangga ini termasuk meminta dia untuk mencintaimu. Aku bukan maksud mengajarmu, Areta. Tapi ketika kau menjadi seorang istri, kau harus menjalankan kewajibanmu. Jangan peduli sikap buruk suamimu. Kau hanya perlu melakukan kewajibanmu sebagai istri. Suatu saat mungkin kau akan mencintai Arta. Dan juga sebaliknya, kalian hanya butuh waktu. Untuk itu, berjanjihlah kalau kau akan menjadi istri yang baik dan akan mempertahankan pernikahan ini." Kak Monica tersenyum lembut.

Ucapannya membuat otakku yang berpikir seperti anak kecil mulai terbuka dan berpikir seperti orang dewasa. Perasaanku juga mulai terbuka dan ada beberapa celah untuk membangun rumah tangga ini.

"Ayo janji!" Kak Menica melontarkan jari kelingkingnya. Aku dengan cepat menerimanya dan memeluknya. Tanpa aku sadari airmataku terjatuh.

"Jangan menangis. Hari ini aku bawa kejutan untukmu. Dan ayo kita ke dapur, aku akan membocorkan resep rahasia masakanku." Balas Kak Menica sembari melepaskan pelukan.

Kami lalu meninggalkan taman belakang ini dan menuju ke dapur sambil berbincang renyah. Kak Menica tidak keberatan mendorong kursi rodaku. Jujur, aku tetap saja merasa tidak nyaman.

"By the way, kamu mau resep apa dulu?" Kak Menica bertanya dalam perjalanan menuju dapur.

"Emang, kakak punya resep apa aja?" Aku menengok sejenak ke belakang.

"Banyak. Ada Spesial dada ayam malam pertama, kemudian ada juga Capcai naik turun tengah malam. Dan ada juga—,"

"Kak Menica. Aku tidak tahu kakak punya masakan seksi seperti itu. Wajar Kak Arlo tidak pernah berpaling." Potongku sambil tertawa.

"Harus begitu Areta. Masakanmu akan lebih nikmat jika namanya seperti itu." Kak Menica ikut tertawa. Aku bersyukur punya kakak seperti dia. Meski tak sedarah, tapi rasanya lebih dari sedarah. Ah..., aku otakku sudah tertular kak Menica sepertinya.

Maaf untuk typo gengs. Oh iya, jangan lupa follow akun ini ya dan baca Semuanya ceritanya.

Jangan lupa vote juga ya, happy reading.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 10, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

A Bad MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang