Prolog

20 2 0
                                    

"Udang!"

Sesederhana itu ternyata untuk bisa membuatku terkejut. Alasannya sangat sepele. Panggilan ejekan untukku, yang keberadaannya hanya diketahui oleh 'dia', kembali hadir. Sama denganku, ekspresinya juga terkejut.

Kenapa sih, semesta senang sekali mendatangkan, menghilangkan, dan memulangkan manusia seenaknya?

"Oh..Eh..hai!", dalam keadaan seperti ini rasanya mustahil untuk tidak terbata-bata menyapa nya. Duh, Gusti!

Matanya yang hitam pekat masih menatapku dengan sangat lamat, dalam sekali. Seolah mencoba masuk ke dalam pikiranku, menelisik, dan mengeluarkan  semua  kenangan dengannya yang sudah lama aku kubur.

Masih dengan memegang segelas minuman, aku tidak tahu pasti itu apa, dia terus manatapku. Kami berdiri diantara kerumunan manusia-manusia sibuk dengan urusannya sendiri. Dalam hati aku mengaduh, siapapun tolong aku!.

"Kamu apa kabar?", setelah beberapa menit hanya bertatapan akhirnya dia membuka percakapan.

"Baik, setelah sempat tidak baik baik saja, sekarang aku baik", genteng commodus caffe mulai gemerisik, ternyata diluar sedang hujan. Kurasa langit mencoba menyampaikan turut berduka kepadaku.

Filosofi warkop modern, dengan suasana retro, ini bisa memberikan tempat yang nyaman untuk menyeduh secangkir kopi. Tapi untuk saat ini tidak. Aku merasa sama sekali tidak nyaman sekarang.

Adegan lain yang menyebalkan hari ini, setelah bertemu dengannya, adalah dia memutuskan untuk mengajakku duduk disudut caffe. Aku mencengkeram erat secangkir machiato pesanan ku. Kukira itu cukup untuk menghangatkan. Ternyata tidak, itu tidak cukup jika digunakan untuk melawan dingin yang sudah dia ciptakan.

Asap dari gelasnya dan gelasku mengepul, membuat tirai tipis, melayang terbang lalu hilang ditelan udara dingin kami. Jarinya mengetuk pelan meja. Tak pernah dia melepaskan pandangannya terhadapku. Kepada aku yang lebih memilih melihat lalu lalang kendaraan diluar.  Senyumnya masih sama. Wajah dengan tipikal rahang kaku dan garis tegas. Juga bulatan hitam dibawah mata. Mudah benar mengenali nya.

"Nggak kepikiran sama sekali bisa ketemu lagi sama kamu. Setelah 5 tahun kita lost contact . Untung kamu nggak lupa sama aku, kamu kan pikun dimasa muda.", benarkan kataku? Dia memang mencoba menguak lagi kenangan yang dulu.

"Beca apa kabar?"

"Kamu masih suka mengalihkan pembicaraan."

Aku diam.

"Aku udah putus, nggak lama setelah kita memutuskan untuk saling meninggalkan", Tatapan yang awalnya tajam ke arahku, sekarang beralih ke luar jendela.

Aku masih diam.

"Kamu udah ada gandengan?", tanyanya kembali menatapku.

"Maksudnya?"

"Pacar."

"Oh", kusengaja untuk menatap balik dia.  "Nggak. Aku juga nggak mau kenal siapapun, nggak lama setelah kita memutuskan untuk saling meninggalkan juga, sampai sekarang.", entah dari mana keberanian untuk mengatakan hal itu datang. Rasanya sudah tidak bisa lagi ditahan. Kenangan yang lalu itu terlalu mengecewakan.

"Udang..."

"Namaku bukan Udang", potongku cepat.

"Ternyata se-kecewa itu ya kamu. Aku menyesal, Za. Maaf kalau.."

"Udah aku maafin.", ayolah! Cepat selesaikan basa basi nya.

Dia menghela nafas panjang. Nafasnya benar benar berat. Aku tau dengan pasti, jika sudah seperti itu, ada hal yang ingin sekali disampaikan olehnya. Tapi tidak bisa. Kalau pun bisa, aku tidak membolehkan. Kalau dia memaksa juga, aku tidak ingin mendengarkan. Egois. Dia atau aku memang sama saja. Dia dengan keinginan menjelaskan. Dan aku yang ingin sekali segera menutup pertemuan ini.

Hujan bertambah deras diluar. Commodus Caffe semakin ramai. Padat oleh orang orang yang entah memang ingin menikmati seduhan kopi atau sekadar membeli untuk selanjutnya ikut berteduh. Tapi hal itu tidak mengusik sepi diantara kami berdua. Kulihat dia sepintas. Ada rasa iba melihatnya menunduk sangat dalam. Bahunya yang dulu tegap, sekarang menjadi bungkuk, seolah ada beban yang sangat berat dipunggungnya.

Kalau saja dulu kamu mau jujur, Ta. Mungkin sekarang kita tidak akan canggung dan penuh dendam seperti sekarang. Mungkin, kita akan baik saja...

Rumahmu Bukan DisiniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang