Pagi itu setelah menunggu Jeffreyan kembali ke perusahaannya, Lirisha memutuskan untuk menemui Jeandra. Perempuan yang masih duduk di ruang makan setelah melakukan sarapan bersama Jeffreyan beberapa menit yang lalu itu di sibukkan dengan ponselnya. Perempuan itu berkali-kali menghubungi Jeandra, namun tidak ada satu pun panggilan dari Lirisha yang di jawab oleh Jeandra. Sama sekali.
Lirisha risau, perempuan itu mulai menggigit jarinya dengan perasaan kacau. Memang, semua ini salahnya. Tidak seharusnya kemarin dirinya mengatakan itu pada laki-laki itu, dan seharusnya ia bisa menolak Jeffreyan semalam. Benar semua salahnya, Lirisha paham Jeandra sangat berperan penting dalam hidupnya setahun belakangan ini saat Jeffreyan mengabaikannya karena lebih mementingkan perusahaan di atas dirinya. Sekali lagi, ini memang salahnya. Dan Lirisha mengakui itu.
Bahkan semalam pun, setelah Lirisha dan Jeffreyan melakukannya, ia benar-benar tidak bisa tidur. Perempuan itu mengingat bagaimana wajah kecewa Jeandra saat melihatnya di cumbu oleh Jeffreyan.
Hari itu Lirisha terus menghubungi Jeandra. Sampai pada akhirnya perempuan itu mulai tidak sabar, ia marah, entah amarahnya di tujukan pada siapa tapi nafasnya mulai terengah. Gebrakan pada meja makan juga mulai mengudara saat perempuan itu meletakkan ponsel miliknya karena tak ada jawaban apapun dari Jeandra. Cukup lama Lirisha berdiam sembari menetralkan perasannya, perempuan itu menarik nafas panjang. Benar, menghadapi situasi seperti ini harus tetap tenang. Di sela diamnya Lirisha berpikir keras, jika panggilan darinya Jeandra abaikan, maka dirinya sendirilah yang harus menemui laki-laki itu. Ia harus menyelesaikan permasalahan ini sesegera mungkin. Dan tujuan utama Lirisha untuk bertemu dengan Jeandra adalah kampus. Benar, mungkin laki-laki itu sedang berada di kampus sekarang.
Namun saat Lirisha akan menuju kamarnya untuk bersiap-siap menuju kampus dengan alasan menemui laki-laki itu, langkah perempuan itu harus terhenti kala manik berbinar itu menangkap seorang laki-laki yang menjadi tujuannya datang dengan keadaan yang berantakan. Lirisha berani bertaruh, kalau laki-laki itu menghabiskan malam untuk mabuk.
Lirisha melangkah cepat, perempuan itu menghampiri Jeandra yang datang dengan langkah sempoyongan serta wajah tampan yang kini memucat.
"Kamu mabuk?" Akhirnya Lirisha bersua, perempuan itu kini berada di hadapan Jeandra sembari menangkup kedua pipi laki-laki itu.
"Jeandra jawab aku!" Sambung Lirisha, sedikit mengguncang laki-laki yang kini berada di hadapannya itu.
Jeandra tersenyum getir, "Bagaimana malam mu, apa menyenangkan?"
"Lebih menyenangkan mana saat menghabiskan malam sama aku Li?" Lirih Jeandra, bahkan laki-laki itu mengatakan kalimat tersebut dengan tubuh yang masih sempoyongan.
"Kenapa musti begini Jean."
"Kenapa musti begini?" Jeandra tertawa sumbang. "Harusnya aku yang lakuin itu Li, harusnya aku yang ada di kamar itu sama kamu!"
"Kamu gak tau gimana kangennya aku nunggu kamu seminggu ini karena kamu sibuk, tapi kenapa dia Li! Kenapa kamu menerima dia untuk menyambut kamu lebih dulu daripada aku?! Aku yang kangen kamu Lirisha!! Aku!!"
Untuk seperkian detik Lirisha bungkam. Perempuan itu mencoba menerima bagaimana laki-laki itu tengah memuntahkan kekesalan padanya.
"Kamu nggak pernah tau sakitnya aku Li. Aku sakit setiap kali kamu mencoba mengingatkan aku tentang pria itu sedangkan aku yang selalu nyembuhin luka kamu karena pria itu! Persetan dengan hubungan kamu yang udah lama terjalin sama dia, selama kamu terpuruk, aku yang ada. Selama kamu sedih, sakit, kesulitan, aku yang ada. Sedangkan dia? Dia nggak perduli Li, dia sama sekali nggak perduli sama kamu! Dia hanya butuh kamu sesuka hatinya, sedangkan aku butuh kamu karena kamu penting buat aku, kamu penting di hidup aku Li!"