‘Kriiiing... kriingggg...’
Dering telepon dihadapannya membuyarkan seluruhnya. Segera ia mengalihkan pikirannya dan mengangkat telepon. Pria itu mengerutkan dahi, terlihat lebih terkejut ketika mendengar ucapan yang terlontar dari balik telepon.
Percakapannya belum berakhir, tapi ia menutup teleponnya. Dia bangkit dari kursi dan meraih jas putihnya. Dengan langkah tergesa-gesa ia keluar dari ruangan sembari memakai jas.Tepat ketika membuka pintu IGD didapatinya banyak pasien dengan luka ringan hingga kelas berat. Pandangannya jatuh pada rekan dokter yang telah berkeringat dan sibuk mengurus pasien. IGD kekurangan tenaga dokter. Ia bergegas memakai masker dan sarung tangan, lalu mengahampiri setiap pasien yang perlu penanganan. Ruangan ber-AC itu menjadi panas, bahkan Minhyuk menjadi sangat sibuk berpindah dari satu pasien ke pasien lain.
“Suntikkan antibiotik dan berikan padaku obat biusnya” titahnya pada perawat yang mendampinginya saat ini. Ia kemudian menyiapkan alat jahit dan bersiap untuk menjahit pasien dengan luka terbuka itu.
Sungguh sangat sibuk. Tak ada waktu bersantai atau sekedar menenggak setetes air mineral. Bahkan keringat yang mengucur deras terbaikan, para dokter itu berusaha tepat waktu dan memastikan pasien baik-baik saja. Mengusahakan yang terbaik, karena diluar ruang IGD banyak keluarga yang telah menunggu dengan harapan yang baik. Rasa lelah sama sekali tak terasa, meski badan telah bermandi peluh.
Jam dinding milik IGD telah mencapai pukul 01:13 dini hari. Pria berjas putih yang penuh bercak darah itu menghela nafas panjang. Ia mengusap keringat dahinya dengan punggung tangan yang terbalut jas. Telinganya terasa lebih longgar dari sebelumnya. Suara rintih kesakitan itu telah sepenuhnya menghilang, IGD menjadi lebih sepi. Pasien telah berpindah tempat ke bangsal rawat inap atau sedang menunggu giliran operasi,namun tak sedikit dari mereka yang kehilangan nyawa. Hanya tersisa beberapa dengan luka kecil yang telah bersiap untuk pulang.
Pekerjaannya telah selesai, dilepasnya masker dan sarung tangan kotornya lalu dilempar ke tempat sampah medis. Usai mencuci tangan ia memilih kembali ke ruang kerja dan bersiap untul pulang. Minhyuk menenteng jas putih miliknya yang telah menjadi merah dan berbau amis. Sepanjang koridor, ia melihat para keluarga korban kecelakaan kerja itu tengah terisak. Beberapa dari mereka terlihat sangat shock mendapat kenyataan yang sama sekali tak diharapkan.
‘Kematian adalah takdir yang tak terhindarkan. Dimana pun dan apa pun, bahkan siapa pun tak dapat menghindarinya atau sekedar menawar. Dan disaat kehilangan itulah hati seseorang di uji oleh Allah atau sedang diperingatkan...’
“...Hidup dan mati adalah rahasia Tuhan...” lirihnya mengakhiri ucapan Tuan Jung yang sempat melintas dipikiran lelahnya.
(***)
‘Islam... iman... hati... kepercayaan dan juga ketenangan. Semakin jauh aku mempelajari tentang Islam, terasa hatiku lebih baik dan tentram. Aku tidak ingin berhenti, aku ingin menjadi seorang muslim. Tapi... bisakah?’
Minhyuk tampak diselimuti oleh kegelisahan, pria itu terus menatap kaligrafi Allah yang tercetak pada sampul buku miliknya. Hatinya merasa mulai dekat pada Tuhan umat Muslim. Hati kecilnya terus mengatakan keinginian untuk menjadi Muslim. Namun, ia terus memikirkan banyak pertimbangan jika ia benar-benar memutuskan menjadi Muslim. Bagaimana dengan keluarga? Bagaimana tentang masa depan yang masih tak terlihat? Bagaimana?
“ARGGHH!!!!!”
Kesal dengan kebimbangan itu, ia memutuskan bangkit dari kursi dan meraih kunci motor. Ia seolah tak memiliki tujuan lain selain datang ke Cafe milik Halwa dan menikmati secangkir kopi.
Di Cafe, ia duduk di atas kursi bar dekat jendela kaca. Dihadapannya tersuguh secangkir americano panas. Ia tahu jika americano pahit, mungkin rasa pahit dapat menenangkannya sejenak. Pandangan matanya tertuju ke arah luar yang tampak sepi. Diliriknya jam tangan yang sudah menunjuk pukul sembilan.
“Apa dia akan datang?” pertanyaan monolog tanpa jawaban, sepertinya dia tengah menunggu seseorang.
“Udah lama? Ma’af aku baru selesai cek persediaan Cafe”
Minhyuk tersenyum pada seorang gadis berkerudung yang baru datang dan duduk di kursi bar sebelahnya. Dia terlihat cantik, sangat cantik. Apa itu berlebihan? Sepertinya tidak. Karena memang dia cantik bagi seorang Lee Minhyuk.
“Dokter kenapa lagi?” tanya Halwa ketika melihat wajah lesu pria itu.
“Aku bingung.... aku sangat ingin menjadi seorang muslim, taat kepada Allah dan beribadah pada-Nya. Aku sangat menginginkan hadiah ketenangan dari Allah. Tapi... aku ragu...”
Gadis itu tersenyum ringan,”Aku tahu... karena keluargamu, kan?”
“Eum...”
To Be Continue...
KAMU SEDANG MEMBACA
REMEMBER THAT ☑
FanfictionSatu per satu, ia membuka setiap lembar kertas rapuh itu. Senyumnya kembali tercetak melihat setiap foto yang tersemat di antara lembarnya. Ia kesulitan membaca tulisan tangan yang tercetak disamping foto tersebut. Namun, tak dapat dipungkiri jika k...