10

85 13 0
                                    

“Eoh?”

Pria itu terkekeh pelan. Aish... dasar tidak pandai berbohong. Gadis itu terlihat tidak baik-baik saja, matanya berkaca-kaca. Ada apa dengan senyum cantiknya? Dan untuk apa dia berbohong? Rentetan pertanyaan muncul di kepala Minhyuk menyadari perilaku tidak biasa gadis berkerudung panjang itu.

“Nih, untuk kamu...” Minhyuk mengeluarkan sebungkus cokelat dari balik saku celana trainingnya.

“Dari mana tiba-tiba ada cokelat?”

“Dikasih sama anak kecil itu. katanya imbalan karena aku bantuin dia jatuh heheee” ia menunjuk seorang anak kecil yang sedang duduk bersama keluarganya.

“Terus, kenapa dikasih ke aku?”

Pria itu berfikir sejenak dan menata kalimat yang hendak dilontarkan,”Ya.. pengen ngasih aja. Kalo gak mau, ya gapapa. Aku masukin saku lagi...”

“Iya, aku mau. Makasih...”

Halwa tersenyum dan mengambil alih cokelat yang masih di tangan Minhyuk. Senyum tulus itu sudah cukup mengisyaratkan bahwa gadis itu telah membaik. Senang rasanya melihat dia tersenyum seperti itu. Jangan bersedih....

(***)

Malam pukul sembilan tepat, Minhyuk menutup mushaf Al-Qur’an dan meletakkannya di atas nakas. Ia kemudian melipat sajadah yang menjadi alasnya mengaji. Setiap malam selepas jama’ah isya’ ia akan menyempatkan diri untuk mengaji, di rumah atau pun di tempat kerja. Ia menyukai ketenangan yang didapat setelahnya.

Usai berbenah, ia menjatuhkan diri diatas ranjang. Memejamkan mata perlahan dan mengingat setiap kejadian hari ini. Senyum tipis tercetak saat siluet cantik milik Halwa melintas. Gadis itu hadir dengan senyum yang selalu ia suka.

Haruskah mengakui jika ini adalah perasaan suka? Tapi, ia terlalu malu mengakui. Dia tidak pantas untuk gadis sebaik Halwa. Dia jauh dari kata taat. Lalu bagaimana ini?

Semakin lama, pikirannya semakin bercampur aduk. Pria itu bangkit dari ranjangnya dan membuka salah satu laci nakas. Diraihnya sebuah buku tebal berisi ilmu kedokteran miliknya tak lupa dengan kacamata baca yang tergeletak diatas nakas. Mungkin membaca akan lebih baik.

Ia membenarkan posisi duduknya dan membaca setiap kalimat yang ditulis dengan bahasa Korea. Satu per satu halaman buku di balik, ia menghentikan kegiatan saat mendapati selembar kertas foto yang tersemat di antara lembar bukunya.

Tangan kekarnya membalik kertas itu dan mendapati sebuah foto keluarga miliknya. Lagi, hatinya menangis mengingat kedua orang tua dan kakak lelakinya. Keluarga Lee sangat bahagia sebelum hari itu.

“Haaahhhh....”

Ia menutup paksa bukunya dan berjalan menuju jendela kamar. Dibukanya tirai penutup, ternyata hujan. Rintiknya jatuh mengenai jendela kaca lalu mengalir ke bawah. Minhyuk menyandarkan kepalanya pada kerangka jendela yang terbuat dari kayu.

Entah apa yang dirasakannya, jemari sibuk menekan titik-titik hujan tanpa tujuan pasti. Sesekali bibirnya menunggingkan senyum tipis. Takdir malam ini adalah hujan turun dengan suara gemerisik yang lembut dan teratur. Bersama udara sejuk yang membalut pikiran, mungkin beberapa orang tengah menikmatinya dalam kesedihan atau mengabaikan dan sibuk berteduh. Pria itu seolah melarutkan dirinya dalam suasana hujan malam itu.

Takdir malam ini adalah hujan. Bagaimana caraku menikmatinya? Haruskah aku membayangkan hal indah tentang Halwa? Atau larut dalam kesedihan yang panjang. Ya Allah... kuharap, seluruh pengorbananku sebelumnya akan berbuah indah...’

(***)

Meja makan keluarga Jung sudah penuh dengan hidangan sarapan. Seluruh anggota keluarga tampak menikmati sarapan pagi buatan wanita hebat milik Tuan Jung. Tak ada suara lain, kecuali dentingan sendok yang beradu dengan piring. Sesekali sang kepala keluarga memerhatikan puterinya yang terlihat gelisah.

“Halwa, ada yang mau dikatakan ke ayah?”

Gadis itu tersentak dan melihat kedua orang tuanya mengarah padanya. Diliriknya sang adik yang sibuk menyantap makanan tanpa merasa terganggu. Gadis itu menggelengkan kepala dan memilih kembali menyantap sarapan.

“Udah.... cerita aja, Mbak. Atau Ilham aja yang cerita ke Abi sama Ummi” ujar sang adik sembari menyuapkan makanan ke dalam mulut.

“ARGH!!!!!! SAKIT TAUUUUUUU!!!!!!”

Ilham mengerang saat merasakan kakinya yang sengaja di injak oleh sang kakak yang menatapnya kesal. Tak mau kalah, ia membalas tatapan tajam Halwa seolah bersiap untuk balas dendam.

“Halwa... Ilham... ini bukan tempat bertengkar! Dan kalau ada yang mau disampaikan ke Abi silahkan. Abi tidak suka jika kalian menyembunyikan sesuatu” tegur Tuan Jung membuat keduanya tertunduk diam dan kembali pada posisi masing-masing.

“Halwa, kamu sudah dewasa. Kalau memang ada yang mau disampaikan, silahkan. Kalau tidak ada, jangan membuat Abi khawatir”

“Ma’af... sebenernya Halwa tuh mau bilang kalo....” gadis itu menggantung kalimatnya. Ia seolah berada pada rasa takut yang bercampur dengan keinginan.

“Dia ta’arufan sama Dokter Lee Minhyuk” sahut Ilham tanpa permisi.

Sontak saja kedua orang tua mereka menatap Halwa yang menunduk dan Ilham yang masih menikmati acara sarapannya.

“Halwa, apa itu benar?”

Dengan berat hati gadis berkerudung panjang itu mengangguk. Hati sepasang ayah dan ibu itu terasa lebih baik melihat putrinya yang baik-baik saja. Bahkan keduanya menyimpan senyum ketika menyadari Halwa yang memerah tanpa sebab. Mungkin dia terlalu takut pada sang ayah, meski Tuan Jung tak pernah memarahi kedua malaikatnya tanpa sebab yang jelas.

(***)

“Nih, dari Mbak Halwa...”

Ilham meletakkan sebuah kotak bekal diatas meja kerja Minhyuk dengan malas. Berbeda jauh dengan wajah Minhyuk yang tiba-tiba senang membuat Ilham mendecih kesal.

“Ada balasannya, gak? Buruan tulis, gua mau ngampus!” ketusnya.

“Ntar aja ya, kamu ngampus aja dulu. Nanti mampir ke rumah”

Please deh. Ini bukan jaman kerajaan pake surat-suratan. Capek ah! Tiap hari adaaaaa aja yang mau di titipin. Percuma HP lu bagus kalo gak berguna...”

Pria muda itu tak hentinya mengoceh di ruang kerja Minhyuk, meski si empu ruangan sedang sibuk merapikan diri dan bersiap untuk bertugas. Ia memang terganggu dengan siraman pagi Ilham, namun alangkah baiknya jika tidak menggubris pria keras kepala dan cerewet itu, ‘untung calon adek ipar’ pikir Minhyuk.

Usai memakai jas dan mengalungkan stetoskop dileher, ia membuka dompet dan mengeluarkan selembar uang seratus ribu. Dihampirinya lagi Ilham yang masih mengoceh panjang  dan meletakkan uangnya diatas meja.

“Tuh, cukup buat bensin! Kalo mau pergi jangan lupa tutup pintu. Makasih makanannya dan As salamu’alaikum” Minhyuk mengakhiri ocehan Ilham lalu pergi meninggalkan ruangan.

Wa’alaikumus salam! Nyelonong aja kek kereta api...” suaranya terabaikan oleh Minhyuk. Dilihatnya uang seratus ribu yang tergeletak menggoda di atas meja. Ia pun menyematkan senyum lebar dan memasukkan uang tersebut ke dalam saku,”gini dong yang peka... kan gua ga rugi telat ngampus heheehe”


To Be Continue...

Ceritanya mulai amburadul ga jelas

Bebas buat kalian vote/komen apa aja, cuma buat para Viewers semoga buruan sadar ya

REMEMBER THAT ☑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang