Kamalul Ilham

225 9 5
                                    

Ada banyak kalimat. Namun hanya satu kata yang kentara. Tentang hati dan segala isinya.

Deretan kata dari bahasa timur tengah terpampang apik di setiap lembarnya. Sebuah buku, jika kita katakan kitab dari bahasa mereka. Usianya lebih dari setengah usia pemiliknya.

Perangai cerdas namun tidak menampik ketawadhuan dan kesantunan itu menutup bacaannya selama dua jam terakhir. Sudah menjadi kebiasaannya di sepertiga malam sebelum melaksanakan sunnah Rasul.

Alih-alih membagunkan pria yang sudah menjadi teman tidurnya selama enam belas tahun terakhir seperti biasa, ia malah merapihkan buku-bukunya yang sempat di ubrak-abrik oleh putri sulungnya. Dengan santai putrinya beralasan, 'Kapan lagi Ara melihat buku-buku uma. Baba bilang Ara tidak bisa pulang setiap tahunnya'. Apa hubungannya dengan mengacak-ngacak dan tidak pulang-pulang? Putri sulungnya masih terlalu manja. Apa ia sanggup melepasnya ke tempat yang begitu jauh?

Di antara puluhan buku, terselip buku bersampul coklat tua dengan lembaran-lembaran yang memang berwarna kuning kecoklatan, atau mungkin karena terlalu lama ia menyimpannya. Ini juga pertama kalinya di belasan tahun yang lalu ia kembali membukanya. 'Apa ini saat yang tepat untuk tidak lagi menyimpannya?'

Lembar Satu

Kamalul Ilham. Ku tulis nama itu di lembaran ini. Apa mungkin aku bisa berharap namanya ada di lembaran berikutnya atau bahkan seterusnya?
Seorang gadis berjilbab biru menghampiriku. Kemeja kotak-kotak senada dengan kerudungnya, di padukan jins longgar yang masih santun meski terlihat trandy. Si gadis celana jins itu menanyakan padaku tentang laki-laki bernama Ilham. Tapi aku tidak mengenal gadis itu. Apa lagi laki-laki yang dia tanyakan.
Apa ini takdir?
Laki-laki itu ternyata orang yang tidak sengaja aku temui di wisuda cik Hilma.
Setelah seenaknya memotong ocehan resepsionis waktu itu, dengan senyumnya yang ia tunjukan padaku, dia pun mengantarku ke tempat tujuan.

"Mariah kan?"

Waktu itu Mariah mengambil pesanan di manggar batik. Tanpa diduga, wanita berjilbab menyapanya tanpa sungkan. Tentu saja wanita itu mengenalnya. Sedangkan dia sama sekali tidak pernah merasa bertemu dengan wanita itu.

Muara CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang