Orang Ke Tiga

37 4 0
                                    

Jika harus memilih kepercayaan atau kekayaan, maka istri seorang konglomerat harus menderita kekecewaan.

Ha ha ha

Mariah mengernyitkan dahi saat melihat suaminya tertawa renyah.

"Kenapa perumpamaannya Firaun? Dramatis sekali." Ia pikir suaminya akan marah. Tapi malah berkomentar seperti itu.

"Kakak tidak marah?"

"Kenapa harus marah?"

Dan sekarang Ia gugup dengan tingkahnya. Sedangkan suaminya mengembalikan buku bersampul coklat tua ke atas meja yang berhadapan dengan kursi yang ia duduki. Dia bukan lagi anak madrasah yang merebut bukunya karena ketahuan di baca oleh temannya. Merebut buku dari suaminya seperti anak madrasah? Jangan pun merebut. Meminta untuk tidak dibaca saja ia tidak berani.

"Berhubung istri cantikku tidak bisa diajak bermesraan, kakak tidur dulu. Bangunkan jam enam nanti."

Wajahnya merah lagi. Baru jam lima subuh sudah mendengar kata 'istri cantikku' dua kali. Pintar sekali suaminya membuatnya merasa seperti gadis ABG yang sedang kasmaran. Padahal usia suaminya sudah hampir setengah abad.


"Mariah."

"Iya, ka?"

"Kenapa bengong?"

"Tidak kenapa-napa."

"Awas. Nanti ayam di belakang pada mati semua gara-gara kasihan melihat istri tetangga sebelah lebih memilih melamun dari pada memperhatikan suaminya. Aw, aw." Mariah mencubit pinggang suaminya, gemas. Kenapa guyonannya selalu itu-itu saja. Ia jadi malu sendiri mengingat yang sudah-sudah.

"Berapa usiamu pak kiai? Teman-teman bapak sudah ada yang punya cucu. Tapi kenapa masih sibuk menggombal seperti anak madrasah?"

Menghentikan candaannya, suaminya mencium dan menghirup puncak kepalanya yang terlapis kerudung satin.

"Kakak sudah membangunkan anak-anak. Ara bilang dia yang akan membuatkan sarapan untuk adik-adiknya.kalau tidak bisa tidur, istirahatlah saja. Ada bu Hapsa yang mengurus rumah."

Sebenarnya Mariah hanya mengangkat setengah rahimnya. Dokter bilang, meski tidak bisa hamil lagi, ia masih tetap datang bulan seperti perempuan normal. Kecuali memang sudah monofost. Tapi dampak dari darah itu sering membuatnya kesakitan. Akibatnya, ia ketergantungan obat pereda rasa sakit. Itu juga sebabnya ia cek up rutin ke dokter untuk memeriksa resiko ginjal dan hati akibat obat-obatan yang ia konsumsi. Jadilah suaminya mempekerjakan bu Hapsa untuk mengurus rumah dan mencuci. Paling tugasnya hanya memasak dan mencuci pakaian suaminya. Mencuci pakaian suami, pahalanya terlalu besar untuk di lewatkan.

Belum beberapa menit saja, suaminya sudah mendengkur di atas kasur. Ini hari jum'at. Pantas saja suaminya tidak pergi ke majlis untuk ta'lim. Ia bersyukur dengan kehidupannya sekarang. Anak-anak lucu, suami penyayang. Dan yang paling penting, ia merasa amat di cintai.

Muara CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang