Epilog

47 5 0
                                    

"Cik. Kenapa encik ajak cik Dawi?" Adik bungsu protes pada encik sulungnya.

"Suka-suka encik dong mau ajak siapa."

"Uma, Am gak mau duduk dekat cik Dawi. Dia suka peluk-peluk sembarangan." Mendengar pengaduan putra bungsunya, Mariah malah terkikik geli. Berbeda dengan kakak dan enciknya yang lain, yang suka di omeli babanya kalau menggoda putra bungsunya yang manja. Kak Irsyad sungkan menegur keponakannya. Sejak malam pernikahan, kang Irsyad, maksudnya kak Irsyad menyuruhnya memanggil kakak. Karena tidak mau di anggap abang seperti dulu, atau juga di anggap putra guru.

"Am, encik di sini sayang." Adawiyah. Keponakan kak Irsyad dari cik Hilma. Usia Dawi berbeda 3 tahun dari Ara. Tapi Ara dan Dawi cukup akrab.

"Cik Ara. Awas ya. Am berantakin lagi nanti semua rumah-rumahannya." Lihat, si bungsu mulai mengancam.

"Oh, jadi kamu yang ngacak-ngacak miniatur encik? Sini kamu. Encik peluk kamu sampai mati. Biar encik punya adik bungsu manis kaya Ia. Bukan setan kecil macam kamu."

Ara mengajar adik bungsunya. Terus kejar-kejaran sampai Hikam bersembunyi di balik kaki babanya. Irsyad melihat jam tangan.

"Ara, dua jam lagi pesawatnya take off. Kalau barang-barangnya sudah selesai, cepat masuk kemobil."

"Iya baba."

Setelah Ara dan yang lain masuk, sebelum Mariah juga hendak masuk, kak Irsyad memegang tangannya.

"Apa sudah tidak sakit lagi?" Kak Irsyad selalu perhatian, seperti biasa. Mariah hanya menggeleng. Kalau sudah seperti itu, kak Irsyad pasti mengerti kalau ia tidak ingin melanjutkan pembicaraan lagi.

Ara dan Dawi di belakang, Mariah dan  kak Irsyad di tengah, Am dan sopir di depan. Awalnya umi mau ikut mengantarkan cucu tercintanya berangkat ke negri orang. Tapi kaki umi mendadak kram. Sedangkan anak-anak yang lain tidak boleh ikut.

Dari pernikahannya dengan kak Irsyad, Mariah memiliki dua orang putri, dan tiga orang putra. Putri sulungnya Ara, Zahratul Kamilah. Yang ke dua Muhammad Ilyas, Iyas. Muhammad Faisal, Ais. Mufihatul Aliah, Ia. Dan si bungsu Am, Bahrul Hikam.

"Wawak. Kemarin aku ketemu sama om Roja." Mariah jadi was-was sendiri mendengar ucapan Dawi.

"Oh ya?" Mungkin Dawi kecewa dengan tanggapannya. Tapi Dawi tetap mengangguk. Justru Ara yang terlihat antusias. Sopir fokus dengan jalan. Di kursi samping sopir entah apa yang putra bungsunya lakukan. Kepalanya bahkan tidak menyembul sedikit pun. Dan kak Irsyad, cemberut. Selalu saja seperti itu kalau membahas Roja. Apa lagi Ilham. Kali itu, Mariah jujur dengan hubungannya dengan Ilham dulu. Takut yang sudah-sudah terulang lagi. Alhasil, setelah mendengar dua nama itu, mood kak Irsyad selalu turun ke nol derajat. Satu lagi, Rizal keponakan ustadzah. Hanya karena Rizal yang mengantarnya ke kediaman umi mertuanya -umi Roja- dulu. Tapi itu sebelum Rizal menikah. Sekarang anak sulung Rizal sudah berusia lima tahun. Mengingat ustadzah, baru saja beberapa bulan mengajar, Mariah meminta maaf pada ustadzah karena harus mencari lagi penggantinya. Tapi ada jadwal yang masih ia pegang sampai sekarang.

Islamic center. Selain tempatnya tidak jauh dari rumah Mariah sekarang, tempat itu cukup memberi kesan untuknya. Membuatnya mengenal trandy kaum-kaum muda diri masa ke masa. Lalu ia pilah satu persatu antara yang hasanah atau dzolalah. Ia juga masih sering diskusi via telpon dengan umi, atau pun umi mertuanya -umi Roja- prihal urusan wanita yang kadang sulit di pecahkan. Islamc center juga yang mempertemukannya dengan Rena. Kata orang-orang, 'Cinta tidak bisa menunggu'. Berbeda dengan kak Irsyad yang menunggunya, Rena tidak bisa menunggu Roja. Wanita itu sudah menikah dengan seorang muslim yang taat.

Sebenarnya kak Irsyad jauh lebih pencemburu dari Roja. Sungguh, ia tidak berniat membandingkan. Tapi kak Irsyad memiliki caranya sendiri saat mengekspresikan kecemburuannya. Kemarin saja, saat umi mertuanya -umi Roja- menelpon agar ia mendesak Roja untuk berhenti menjadi duda tua, kak Irsyad setuju. Tapi lihatlah. Ia didiamkan seharian oleh kak Irsyad. Padahal didiamkan beberapa menit saja sudah seperti seabad untuknya.

Muara CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang