Muara Cinta

41 4 0
                                    

Bukan kaktus yang berbunga, ataupun ulat bulu yang berubah menjadi kupu-kupu. Tapi pusara yang menahan air sebelum sampai ke muara.

Tentang kanker yang pernah ia derita karena keguguran, sebenarnya itu bukan keguguran. Tapi bayi yang di gugurkan. Rasa bersalahnya Masih tetap mengambang meski itu terjadi lebih dari tujuh belas tahun.

"Uma, sarapannya sudah matang. Cik bilang, cik juga sudah membereskan semua barang-barangnya ke koper." Suara merdu itu tidak terjawab "Uma, Ia boleh masuk kan?" Putri Mariah yang ke empat. Putrinya itu selalu meminta izin saat masuk ke kamarnya. Kapok karena diomeli babanya. Mungkin babanya tidak mau kepergok bermesraan dengan umanya.

"Uma." Mengintip di celah pintu, Ia melihat umanya duduk di kursi dengan tangan di atas meja dan buku yang terbuka. Tapi pandangan umanya ada di luar jendela. Bukan di buku itu. Ia masuk ke dalam. Terserah babanya mau mengomelinya atau tidak.

"Uma."

"Iya sayang." Setelah Ia menarik baju umanya, baru Mariah melihat putrinya.

"Uma kenapa? Kok mata uma merah."

"Masa sih? Uma tidak apa-apa." Ia mengangguk mengerti. Mungkin umanya ingin menyembunyikan sesuatu. Kata teman-temannya, dia tidak boleh kepo.

"Uma, Ia ikut antar cik ke bandara ya?"

Ia, putrinya yang berusia sembilan tahun. Masih saja ingin membuntutinya. Padahalkan bukan bungsu.

"Ia kan harus pergi kemadrasah. Jadi, tidak boleh ikut."

"Tapi Am ikut." Am? Ia pasti iri pada adik bungsunya.

"Ia. Bukannya semalam sudah deal sama baba? Kenapa masih merengek pada uma?" Mungkin suaminya mendengar suara berisik Ia. Sampai-sampai membuatnya terbangun.

Berbeda dengannya, suaminya itu selalu tegas pada anak-anak. Tanpa pandang bulu, tanpa pandang gender, dan tanpa pandang usia. Tapi suaminya akan berubah salembut kapas kalau putra putrinya mulai manja padanya. Lalu, salah siapa sekarang yang membuat mereka manja?

Karena babanya sudah berkata seperti itu, Ia pun keluar kamar dengan berat hati. Dan di susul suaminya. Suaminya? Mau kemana suaminya keluar?

"Tidak jadi tidur ka?"

"Ini sudah jam enam. Malah Ia yang membangunkan."

"Kak..."

Mariah menghela nafas. Apa suaminya marah? Karena tidak di bangunkan, atau karena membaca lembar ke tujuh di bukunya?

Tidak peduli dengan semua itu, suaminya tidak pernah marah padanya. Jangan pun hal kecil, hal besar saja dia tidak marah. 'Alinsanu mahalul khoto wannisyan' Mariah bukan orang suci yang tidak luput dari kesalahan. Terlihat kesal sesekali sih pernah. Seperti minggu kemarin, saat ia memaksa menemani suaminya memeriksa mobil. Lalu pemuda-pemuda yang kebetulan lewat, menyapanya dengan genit di depan suaminya. Mariah sangat beruntung memiliki suaminya. Suaminya, yang mengingatkannya pada lembar terakhir di buku bersampul coklat tua miliknya.

Muara CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang