Hilang

62 9 1
                                    

Seperti cangkir madu yang tertuang penuh, dan tumpah menjadi racun pembasmi. Antara di minum untuk kenikmatan, atau terbuang dengan kesakitan.

Langkah kaki mendekati kursi yang di duduki wanita awal empat puluhan yang masih terlihat muda di usianya. Mengingat kejadian minggu kemarin di pinggir jalanan kota, selalu sukses membuat pria itu kesal. Suami mana yang tidak kesal saat pemuda berusia seperempat abad menggoda istrinya terang-terangan di depan matanya sendiri.

Waktu itu mobilnya mogok. Membuka kap mobil, dan menekuni memeriksa mesin. Dari pada mendengarnya, istrinya malah memaksa menemaninya. Dan berakhir dengan kalimat-kalimat yang tidak seharusnya pemuda-pemuda itu ucapkan pada istrinya. Setelah pemuda bengal itu melihatnya, baru mereka menyadari dan meminta maaf. Permintaan maaf yang membuatnya semakin kesal. Mereka menganggapnya kakak dari wanita yang mereka goda. Baiklah, itu lebih baik dari pada mereka menganggapnya paman atau lebih parah lagi ayah istrinya.

Mendengar ada yang mendekat, Mariah buru-buru menutup dan menyembunyikan buku itu. Hampir saja.

Pelukan hangat menggeser punggungnya dari sandaran kursi. Mendekapnya erat, di susul kecupan ringan mendarat di pipi kanannya.

"Kakak, ba'da isya tadi aku datang bulan." Berusaha melepas pelukan yang selalu menghangatkan hatinya, namun juga sering membuatnya lupa diri.

"Sejak kapan istri cantikku ini mesum?"

Malu ketahuan berfikir yang iya-iya, wajahnya pasti merah. Terlebih pujian yang diucapkan suaminya. Sesering apapun suaminya memuji, tapi tidak membuatnya terbiasa dengan pujian-pujian itu. Benar kata orang-orang tentang cinta yang buta. Ia bukan lagi gadis dua puluh tahun yang ada di puncak remaja.

"Kenapa tidak membangunkan?" Alih-alih melepas pelukannya, suaminya malah lebih erat memeluknya. Beruntung Mariah langsung memberikan alasan dan mengatakan beberapa hal. Kalau tidak, mungkin pelukan maut itu akan mempertipis nafas dan kewarasannya.

Melihat suaminya selesai mengenakan pakaian yang ia siapkan, tidak lupa senyuman yang seperti biasa, suaminya keluar dari kamar mereka menuju ruangan lain yang sengaja di buat khusus untuk mushola. Mariah tergelitik untuk membuka kembali buku bersampul coklat tua miliknya.

Lembar Tiga

Bahagia itu sederhana. Namun sedih, jauh lebih mudah.
Ya Rab yang maha tahu segala isi hatiku, meski sedalam apapun perasaanku padanya, jika engkau tidak menghendaki, tugasku hanya mengikhlaskannya. Namun hamba bukanlah hambamu yang solehah.
Ilham meminangku. Karena aku tidak punya siapa-siapa lagi selain abi dan umi. Itupun guru besar tempatku menimba ilmu.
Tanpa ku duga sebelumnya, abi tidak mengizinkanku menikah tanpa alasan yang bisa memantapkan hatiku untuk patuh. Berkali-kali meminta izin pada abi, bukan karena aku tidak bisa memaksa. Demi Allah, pernikahan bukan untuk di paksakan.

Muara CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang