Saat itu Draco baru saja keluar dari tempat tinggal Granger. Ia tak punya tujuan. Keluar sekarang dari bangunan tiga lantai ini sama halnya dengan bunuh diri. Dengan banyak tenaga yang terkuras, ia memutuskan berjalan ke atas. Barangkali ada loteng yang bisa ia tempati sementara ini.
Rasa was-was melingkupi setiap langkah--bagaimana tidak? Seluruh orang di flat ini tentunya sudah tahu perihal para Auror yang dengan senang hati menghargai nyawa Draco ke muka umum. For everything's sake! Ia muak dengan jalan pikiran keluarga pureblood-nya yang dengan mudah berbalik melimpahkan segala kesalahan. Bolehkah Draco menangis? Bahkan harga dirinya sudah tak lagi tersisa.
"Hey, kau, pria tua yang di sana!" Draco tercengang, mendengar suara wanita paruh baya di belakangnya. Apa ia tertangkap basah? Shit! Draco mempercepat langkahnya menjauh ketika wanita paruh baya itu kembali bicara. "Hey! Tak bisakah kau membantu orang tua sepertiku daripada melarikan diri?!"
Apa?! Dia meminta tolong? Draco dengan ragu menoleh ke belakang.
"Kenapa diam saja? Kau tidak lihat barang bawaanku banyak?!"
Tidak buruk, sungguh, ini tidak buruk. Sepertinya wanita tua itu tak dapat melihat objek dengan jelas. Well, ia memang terlihat pemarah, tapi mungkin ia tak akan keberatan memberinya air untuk membuat sebotol susu. Draco bergegas menghampiri nenek itu.
"Nomor berapa?"
"Naik satu lantai lagi. Tepat di ruang paling ujung sebelah tangga menuju loteng."
"Kau tidak menggunakan tongkatmu untuk menerbangkannya?" tanya Draco lagi.
"Tentu saja aku meninggalkannya di flat, pria tua ubanan!" Nenek itu kembali kasar. Draco tak ingin memperpanjang masalah. Ia mengangkat beberapa kantong yang tidak terlalu berat sebenarnya, tapi cukup untuk menekan rasa sakit di kaki dan tangan kirinya.
"Ow, kau membawa anakmu? Apa kau pendatang baru? Sepertinya kau juga tidak setua yang kupikirkan," lanjut wanita berambut kribo di sebelah Draco dengan lebih manusiawi.
"Aku tersesat. Uangku juga habis, jadi aku berpikir mungkin bisa menemukan salah satu temanku."
Wanita gemuk itu membuka pintu ruangannya. "Letakkan di dapur," lanjutnya menunjuk dapur yang tidak bersekat dengan ruang tengah. Tata ruangnya sama dengan milik Granger, hanya terlihat lebih padat.
Draco menurut. Ia meletakkan barang bawaan dan menunggu empunya ruang keluar dari kamar. Tak berselang lama, ia muncul dengan sebuah tongkat dan tas kecil berwarna merah khas Gryffindor. Oh! Sekarang hanya dengan melihat tongkat dan mengingat nama asrama itu membuat pikiran Draco berkelebat.
"Berapa yang kau butuhkan?" Wanita itu mengeluarkan beberapa koin. Huh, Gryffindor sekali. Tak mengejutkan jika tak ada galeon di dalamnya. Sepertinya Draco tak berhak berpikiran seperti itu. Saat ini dirinyalah yang perlu dikasihani.
"Um ... aku akan berterima-kasih jika kau membiarkanku makan dan memberi sedikit air hangat."
Wanita itu mengernyit. "Tidak buruk. Kau bisa menyihir barang belanjaanku untuk makan siang bersama sementara aku akan beristirahat sejenak."
"Aku tidak memiliki tong--"
"Ya?"
"M-maksudku, aku lebih senang memasak sendiri tanpa sihir-ya, begitu," jawab Draco panik. Penyihir tanpa tongkat? Yeah, jika wanita ini tahu di mana tongkatnya berakhir, mungkin Draco sudah langsung dicap buronan atau semacamnya. Brilliant, Draco, kau hampir saja memberikan dagingmu pada singa tua yang kelaparan.
###
Draco menaruh jas hitamnya di dekat dapur dan menyingsingkan lengan baju. Ia menghela napas panjang. Bayi itu tengah tertidur di kamar wanita tua yang memperkenalkan diri sebagai Rosie. Masalahnya sekarang, Draco tak tahu harus berbuat apa dan teramat asing dengan peralatan memasak. Ia menelusuri setiap sudut dapur dan--huh! Buku memasak? Bagus sekali. Wanita tua mana yang bisa membaca buku sedangkan ia sudah begitu rabun mengenali postur Draco yang notabene masih muda. Aneh, bukan? Sayangnya otak Draco sedang menolak beroperasi. Ia dengan cepat membuka lembar-perlembar halaman dan memilih yang termudah.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Hell Inside (Dramione)
FanfictionPerang telah berakhir. Golden trio mencapai masa-masa keemasan mereka. Harry Potter, telah menjadi kepala Auror dan akan segera menikah dengan Ginny Weasley. Ron Weasley, yang mereka pikir akan mengikuti jejak Harry, nyatanya lebih memilih mengemban...