"Draco! DRACO!" Seseorang memanggilnya. "BUKA MATAMU, DRACO!"
Draco tersentak keluar dari mimpi buruknya. Kedua iris mata kelabu itu membulat sempurna. Menampakkan ruang asing yang tak biasa ia tempati. Hanya ada detik arloji dan bunyi perkakas dapur yang terdengar hingga ruang tamu. Lelaki itu duduk dan mengusap wajahnya kasar. Pukul setengah tujuh pagi. Kenyataan pahit bahwa di mimpi mau pun di dunianya, Draco tak pernah lepas dari sosok itu. Wanita hangat yang biasa menemani di bawah selimut ranjangnya. Wanita yang selalu menghentikan perputaran mimpi buruk itu, kini hilang dan berbalik membawa rentetan anomali gelap yang lain.
Lonceng perapian berdenting. Api hijau menyala dan memunculkan seorang lelaki berkaca-mata yang membawa bayi di pelukkannya.
"Kau sudah bangun?" sapa Harry dengan senyuman. Ia menjatuhkan tubuhnya di atas sofa yang berdekatan.
"Hm. Baru kembali?"
"Aku pulang larut dan kau sudah tertidur. Well, banyak respon yang harus aku tunjukkan agar mereka percaya kita tak berada dalam satu perahu."
Draco hanya mengangguk.
"Kau baik-baik saja?"
"Apa?"
"Semalam kau mengerang terus. Jadi kami sepakat memberimu ramuan tidur tanpa mimpi. Sepertinya tak begitu membantu." Karena kau bangun terlalu awal dari yang seharusnya, Malfoy.
"Oh! Kau sudah bangun?" Kini gadis singa dengan rambut megarnya ikut bergabung. Draco hanya melirik sekilas gadis yang bersandar di ambang pintu dari sudut matanya. "Apa ramuannya tidak bekerja?"
"Biar aku saja, Potter." Draco melirik pada si pirang mungil yang tengah terjaga. Hermione cukup peka, mengetahui bahwa Draco sedang menghindari topik ini atau mungkin dirinya. Entah masih marah karena Hermione lancang membuka kancing kemeja Draco, atau marah karena memberi ramuan tanpa izin.
Harry kembali tersenyum. Entah mengapa si Potter ini selalu diselimuti hawa positif jika bersama seorang bayi. "Dia mirip denganmu. Kupikir bayi Raddifer akan berubah warna atau bentuk jika aku menggendongnya."
"Jangan kecewa, Potter, bayi ini hanya berubah sesuai orang yang ia suka." Draco yang telah mendapatkan si kecil, memain-mainkan hidungnya dengan hidung si bayi. Tiba-tiba tawa Harry pecah.
"Oh! Jangan membual, Malfoy. Aku akan lebih percaya dia mirip orang tuanya."
Hermione menatap horor si kepala Auror itu untuk diam setelah menangkap perubahan air muka Draco. "Malfoy ...."
"Aku bercanda, kau tahu? Maaf," timpal Harry menyesal.
Draco menggeleng. "No, you're right."
"Maaf karena kami memberimu ramuan, semalam." Gadis itu membuka suara.
Draco terdiam. Masih menghindari gadis di seberang sana. Lelaki itu pun akhirnya mengangguk setelah mengalami perdebatan panjang dalam dirinya. "Tak apa. Saat itu aku memang butuh. Tapi lain kali aku sarankan kalian membangunkanku. Aku kurang nyaman kalian membuka mulutku dan memasukkan sesuatu."
Mereka berdua mengangguk. "Makanlah. Setelah itu kita bisa pergi ke St. Mungo." Harry tersenyum sembari berdiri. "Oh! Aku baru ingat, rumahku sering kedatangan keluarga Weasley. Kuharap kau maklum."
Harry baru akan pergi ketika Draco menghentikannya. "Potter ...." Lelaki berkaca-mata itu menaikkan sebelah alis. "Rumahmu tidak buruk."
Ya, tentu saja. Tak bisakah kau ungkapkan rasa terima kasihmu itu dengan sedikit bagus, Malfoy? Harry tak heran. Entah mungkin bawaan orang tua atau leluhur-leluhur Draco, pemuda pirang platina itu seperti tak diajarkan bagaimana caranya mengucap kata 'terima kasih'. Harry hanya membalasnya tersenyum dan mengangguk sebelum melenggang pergi. Ia terlalu lelah untuk mengurus sisa perkara kemarin.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Hell Inside (Dramione)
FanfictionPerang telah berakhir. Golden trio mencapai masa-masa keemasan mereka. Harry Potter, telah menjadi kepala Auror dan akan segera menikah dengan Ginny Weasley. Ron Weasley, yang mereka pikir akan mengikuti jejak Harry, nyatanya lebih memilih mengemban...