“Sesungguhnya yang kita takutkan bukanlah kepergian. Melainkan, ketika kita tak mampu membunuh rasa kehilangan.”
-Kang Sakum-Di meja makan.
“Sas, kamu sekarang makannya harus lahap, lihat tubuhmu kurus begitu,” Pinta nenek.
“Iya nek pasti, ini kan makanan kesukaan saya,Nek.”
Jawabku dengan sedikit melempar senyuman yang menyembunyikan kesedihanku yang belum usai.
“Ayo kita mulai, kamu pimpin doanya, Sas.”
“Baiklah nek.”
Bagi kami ritual makan sangatlah sakral, itu sebabnya kami begitu menjungjung tinggi adab makan. Misalnya, ketika makan tidak boleh mengunyah dengan mengeluarkan suara berisik, kalau dalam bahasa sunda disebut ‘ceplak’, juga tidak boleh mengobrol ketika makan berlangsung, karena menurut ajaran agama kami (islam) ketika makan tidak sesuai tuntunan akan menghilangkan keberkahan.
Bahkan dulu, ketika aku kecil, ibu pernah mengusirku dari tempat makan, karena makanku berisik gak karuan, akupun langsung pergi dengan marah, sampai-sampai aku menangis kala itu. Selang beberapa saat, akupun dihampiri Ibu, Ia langsung merangkulku dan mengusap air mataku sambil berkata “ maafkan ibu Sas, apa yang ibu lakukan semata-mata untuk sastra juga, agar sastra menjadi orang yang disiplin dan pandai menghargai. Karena, mustahil kita bisa menghargai hal besar jika kita tak menghargai hal yang sepele dalam hidup kita. Ayo makan lagi, ibu yang suapin Sastra.” Bagitulah ibu kala membujuk begitu teduh, begitu anggun. Dalam mendidik, Ibu sangat ketat dan disiplin termasuk dalam hal-hal terkecil. Ia tegas sekaligus lembut terangkum dalam pribadinya. Ia adalah ibu yang sekaligus menjadi ayah, terwujud dalam bentuk didikannya padaku.
Makanpun selesai.
“Nek, saya mau minta izin, saya mau ke rumah Kang Sakum dulu, mau silaturhami sekalian mau mengembalikan buku.” Pintaku.
“Oh iya, kamu pergi saja. Secara, kamu dua minggu ini tidak keluar-keluar. Temuilah banyak orang Insya Allah dengan begitu sedikit besarnya bisa melebur kepenatanmu.” Pungkas nenek.
“Baiklah nek, saya juga tidak akan lama, sebelum maghrib saya pulang, kalau begitu saya pergi dulu, Nek.”
Aku langsung beranjak dari tempat duduk, berpamitan, mencium tangan seraya mengucapkan salam, lalu bergegas keluar rumah.
Di halaman rumah Kang Sakum.
Aku saksikan seperti biasa dia sedang duduk di depan rumah sambil membaca buku, sambil menghisap rokok, di mejanya tersaji secangkir kopi dan sepiring ubi rebus. Perlahan aku menghampirinya, mengucapkan salam dan dengan cepat Kang Sakum menjawab salamku dan langsung mempersilahkanku untuk duduk.
“Bagaimana kabarmu, Sas?” tanya Kang Sakum.
“Ya beginilah kang, Akang sehat?” tanyaku kembali.
“Seperti yang kamu lihat, akang sehat sentosa juga berbahagia. Akang tahu kamu masih belum bisa menerima atas apa yang telah menimpamu. Akang memaklumi, memang dalam hidup tak ada kehilangan yang tak menyisakan luka. Sebetulnya yang kita takutkan justru bukanlah kepergian, melainkan ketika kita tak mampu membunuh rasa kehilangan. Temukan lah hikmah dari itu semua. Perihal kedukaan, aku teringat kalimat dalam The Prophet nya Kahlil Gibran bahwa ‘kedukaan adalah robeknya kulit yang menutupi kesadaran. Sebagaimana biji buah mesti pecah, agar intinya bisa tegak dibawah matahari’. Bahwa, untuk menjadi manusia seutuhnya maka manusia harus dikenalkan dengan yang namanya kedukaan, agar kelak kau menyadari indahnya kegembiraan. Suka dan duka adalah pergantian musim yang harus kita lewati, dan kau harus yakin, semua ada masanya. Dan satu hal lagi yang namanya kematian adalah satu keniscayaan yang harus diterima, hak preogratif Tuhan yang tak bisa ditolak. Tinggal sekarang, pandai-pandailah kita menyikapinya.” Ungkap Kang Sakum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengapa WAKTU?
General FictionMengapa WAKTU? Bercerita tentang seorang pemuda bernama Sastra Katresna yang baru saja menghadapi kepergian ibu yang sangat dicintanya. Ayah Sastra meninggal saat dia dilahirkan. Hanya neneknya yang tersisa. Bagaimana hari-hari Sastra setelah keper...