Sebuah Nama

78 16 26
                                    

"Ada degup jantung ibu yang menjelma kalimat harap dalam namamu, ada hembus nafas ibu yang menjelma kata doa dalam namamu, ada getar nadi ibu yang menjelma aliran cinta dalam namamu."
-Ibu-

Di depan toko buku.

“Nah ini Sas, toko buku yang akang ceritakan.” Ucap Kang Sakum, sambil menunjuk ke arah toko buku.

“Aku tahu tempat ini dulu bekas warnet kang, saya dan teman-teman sering mengerjakan tugas disini.” Timpalku.

“iya, katanya sudah habis kontrak Sas, toko buku ini juga bukanya baru beberapa minggu.” Pungkas Kang Sakum.

“Kang Sakum, kesini kang!” kulihat seorang pria memanggil Kang Sakum. Seorang pria yang baru aku lihat, umurnya kira-kira 35 tahun, tubuhnya tinggi agak kurus, berambut gondrong, memakai kacamata hitam, juga memakai topi koboy dikepalanya. Sama sekali tak terlihat sebagai tukang buku, lebih mirip seperti mafia di film-film action. Aku bersama kang sakum langsung menghampiri orang tersebut. Ku saksikan mereka berdua berjabat tangan dan berpelukan.

“Ini anak yang aku ceritakan kemarin.”
Ucap Kang Sakum, sambil menepuk pundaku.

“Oh iya, siapa namamu?” tanya orang tersebut.

“Namaku Sastra Katresna, bisa dipanggil Sastra atau Sas, nama akang sendiri?.”

“Namaku Jafar, jangan panggil akang, panggil saja Bang Jef, biar agak keren, haha.”

Jawabnya, dengan tertawa, sepertinya orang ini memiliki selera humor yang tinggi.

“Baik, Bang Jef,” jawabku juga sambil sedikit tersenyum.

“Jef, kesini dulu!” pinta Kang Sakum sambil meraih pundaknya dan mengajaknya berbicara kepojok toko. Aku bisa menerkanya, mungkin Kang Sakum menitipkanku pada Bang Jef. Dalam hal ini, aku melihat seolah Kang Sakum menjadi seorang bapak yang menitipkan anaknya ke guru sekolah. Aku hanya duduk, dan melihat sekeliling toko buku, kulihat buku-buku yang dijual disini cukup banyak dan lengkap, ku perhatikan satu persatu banyak buku keren yang jarang dijual di toko-toko buku biasa. Setelah beberapa saat sekitar 10 menit, mereka berdua kembali menghampiriku.

“Ya, sudah Sas, akang mau pulang dulu ada urusan ke kantor desa. Sekarang kamu sudah bisa mulai menjaga toko, lagian hari ini tidak ada kuliah kan?”tanya Kang Sakum.

“Tidak kang, kalau begitu terimaksih sudah mengantar saya kesini.”

“Sama-sama Sas, ya sudah, akang berangkat dulu yah.” 

“Jef, akang berangkat  dulu.”

Kang Sakum langsung beranjak dari toko menuju motornya yang terparkir di depan toko.

Bang Jef menghampiriku dan membuka kacamata hitam yang dikenakannya, mengambil sebatang rokok dari saku celananya dan membakarnya seraya berkata,“Abang turut berduka cita atas kepergian ibumu, Kang Sakum sudah menceritakan semuanya padaku. Aku tahu sakitnya kehilangan, aku merasakan dulu ketika bapaku meninggal. Mungkin bedanya aku sekarang masih memiliki satu orang tua lagi, yaitu ibuku. Ketahuilah Sas, bahasa hidup adalah bahasa kesendirian bahasa kesunyian dan bahasa kebisuan. Bukankah ketika kita mendekam di dalam rahim itu sendiri, ketika matipun kita akan sendiri. Jadikanlah, bahasa kesendirianmu adalah kesunyian yang suci meski hatimu memberontak dan menganggapnya sebagai luka tak bernama. Aku yakin kamu bisa memaknai itu.”

Ungkap Bang Jef, seraya menepuk-nepuk pundaku, kulihat sorot mata yang menandakan ketulusan atas apa yang di ungkapkannya.

Aku perlahan mengangkat wajahku dan berkata,”terimakasih Bang, apa yang abang katakan itu benar, saya harus memaknai itu semua. Ini jalan dari Tuhan yang harus saya lalui. Saya harus terbiasa dengan posisi dan peran saya saat ini."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 08, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mengapa WAKTU?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang