Chapter pertama dari story ini datang dari keluarga Aryasetya! Selamat menikmati - blue.
.
.
Klontang!
Bruk!
"Aduh! Bang! Bang! Bang! Abang" Chandra langsung berlari melihat Jibran yang tadi ia beri tugas untuk memotong bawang. Ia dapat melihat jari telunjuk adiknya yang mulai mengeluarkan darah. Chandra kemudian membawa Jibran menuju wastafel dan mencuci jari telunjuk si bungsu untuk setelahnya ia pergi sebentar untuk mengambil plester luka dan obat merah.
Jibran hanya diam berdiri di dekat wastafel sambil memegangi jarinya yang terasa ngilu. Ia kemudian melihat Chandra yang datang dari ruang tengah dan membawa benda yang telah menjadi musuhnya sejak dulu.
Obat Merah.
"Bang Chan," Chandra hanya bergumam menjawab panggilan Jibran sambil menahan jari si bungsu untuk tetap diam dalam genggamannya. Ia bukannya tidak tahu kalau Jibran takut dengan obat merah, tapi apa mau dikata, ini kan demi kesembuhannya. Jibran sudah mulai meringis, sebentar lagi anak itu pasti akan menangis.
"Bang, jangan pakai obat merah ya." Jibran masih berusaha menarik jarinya dari genggaman Chandra.
"Nanti infeksi dek. Gak sakit kok." Jibran hanya menggeleng ribut membuat Chandra tersenyum. Adiknya ini, badannya saja yang besar tapi rasa takutnya dengan obat merah tidak pernah berkurang sedikitpun. Lihat saja sekarang Jibran sudah menyembunyikan jarinya di balik punggunya.
"Sebentar aja dek," Jibran masih menggeleng menolak permintaan Chandra. Setahunya ada banyak obat di muka bumi ini, kenapa juga harus obat merah yang dipilih abangnya? Sensasi perihnya itu sangat tidak ia sukai. Tapi sekarang jarinya mulat berdenyut nyeri, apa mungkin lukanya melebar? Atau malah berdarah lagi? Jibran sedikit meringis merasakan nyerinya. Perubahan raut wajah Jibran tentu saja dapat Chandra tangkap dengan sempurna. Adiknya sedang menahan sakit akibat irisan pisau namun masih keras kepala tidak mau diobati pakai obat merah.
"Dek, Cuma sedikit abang janji. Setelah itu kamu boleh main deh sama Yuda dan Chakra." Bukannya menjawab iya, Jibran malah menggeleng lebih heboh dari sebelumnya. Hal baru bagi Chandra karena biasanya Jibran sangat senang bisa bermain dengan Chakra dan Yuda tapi sekarang adiknya ini malah menolak tawaran menyenangkan tersebut.
Sebelah alis Chandra terangkat melihat penolakan Jibran, "Kenapa? Biasanya paling semangat kalau disuruh main."
"Jibran mau bantu abang." Jawab Jibran malu-malu. Jemari panjangnya memainkan ujung baju tidurnya sambil tetap menyembunyikan telunjuknya yang terluka.
Chandra bisa apa selain berteriak heboh dengan tingkah Jibran. Ia bahkan mencubit sebelah pipi Jibran gemas karenanya. Adiknya benar-benar manis dan imut, sayang badannya terlalu tinggi untu anak seusianya. Chandra hampir saja lupa untuk membujuk Jibran berdamai dengan obat merah kalau saja ia tidak melihat wajah menahan perih adiknya.
"Kalau gitu obati dulu jarinya biar nanti bisa abang pasangin plester. Jadi-"
"Gak mau pakai obat merahnya baaaang, pake plester langsung aja sih." Jibran kembali menyembunyikan jarinya demi menghindari Chandra.
"Dek, nanti infeksi. Sebentar aja nanti abis itu kamu boleh bantuin abang sepuasmu." Chandra mengulurkan tangannya meminta jari Jibran untuk diobati. Jibran sebenarnya ragu untuk memberikan jarinya, "Perih nanti."
"Enggak percaya sama abang, sebentar, terus udah. Ayo dek nanti ayamnya keburu kedinginan belum kita goreng." Pandangan Jibran teralih ke arah meja di mana ayam yang akan ia dan abangnya masak masih belum terolah berada di dalam mangkuk besar. Tadi abangnya sudah mencuci mereka dan ia dapat tugas untuk memotong bawang lalu berakhir dengan jarinya yang teriris. Tahu gitu tadi dia minta saja tugas untuk mencuci ayam, lebih menyenangkan.
"Pelan-pelan tapi bang." Chandra mengangguk menjawabnya. Perlahan Jibran memberikan jarinya pada Chandra untuk diobati. Iapun menutup matanya sambil sesekali mengintip melihat seberapa pelan abangnya tersebut. Setelah beberapa saat Jibran merasakan jika luka di jarinya telah tertutup oleh plester membuatnya menghela nafas lega.
Puji tuhan abang emang jagoan.
"Abis ini kamu minum susu, terus masak nasi. Bisa kan masak nasinya?" Chandra menoleh ke arah Jibran sembari menyiapkan susu untuk adiknya. Ia tersenyum melihat Jibran yang mengangguk heboh sambil mulai menyiapkan perlengkapan untuk memasak nasi.
"Bang berasnya dua cup aja kan?" Tanya Jibran sembari mengangkat cup berasnya.
"Yakin dua? Ayam serundeng loh dek." Jawab Chandra sambil mengaduk susunya. Jibran hanya menggeleng sambil memikirkan betapa nikmatnya ayam serundeng bersama nasi putih hangat, untuk itu ia menambahkan satu setengah cup lagi. Ia kemudian mulai mencuci berasnya lalu menambahkan air matang untuk memasaknya. Ini adalah bagian yang tersulit bagi Jibran. Berkali-kali ia masak nasi, berkali-kali juga takaran airnya selalu tidak pas, kadang terlalu banyak malah pernah terlalu kering. Tapi demi ayam serundeng buatan abang Chandra, ia harus bisa menakar airnya dengan sempurna. Sambil berdoa agar takarannya pas, Jibran menuang air matang sedikit demi sedikit sampai dirasa pas kemudian memasukkan ke dalam magicom.
"Jangan lupa dicek udah kamu nyalain masak nasi ataubelum dek. Ntar kayak kemarin." Ingat Chandra sambil menyerahkan susu kepadaJibran yang langsung dihabiskannya. Setelahnya, ia membiarkan abangnyamelanjutkan acara masaknya.
.
.
Chandra tersenyum melihat tingkah Jibran yang tengah asik memamerkan hasil masakannya kepada sang bunda melalui panggilan video.
"Bunda! Jibran sama abang makan ayam serundeng bikinan abang!"
"Wah abang chandra masak ayam serundeng? Tinggalin buat bunda sama ayah dong sayang."
Jibran hanya menggeleng sambil tertawa, "Makanya bunda pulang cepetan. Ayamnya Cuma lima, jibran makan semua sama abang."
"Iya adek, dua hari lagi kok bunda sama ayah baliknya." Chandra langsung mendekat ke arah Jibran begitu ia merasa adiknya mau menangis.
"Dua hari lagi ya bun, janji gak pakai perpanjangan waktu." Katanya membuat gelak tawa sang bunda mengalir begitu saja. Tawa yang sangat ia rindukan sejak tiga hari lalu. Walau ia dan Jibran telah terbiasa dengan kesibukan ayah dan bundanya namun tetap saja mereka mudah dilanda rindu. Maklum, keduanya memang anak mama bahkan sejak kecil.
Di luar boleh tangguh di dalam rumah tetap berlindung di bawah ketek ibu – Chandra.
"Iya abang. Yaudah abang sama adek diterusin makannya. Jangan lupa baca doa ya kesayangan bunda."
"Siap bun."
"Ok bun. oia bun,"
"Selamat ulang tahun kesayangan Aryasetya!" Teriak Chandra dan Jibran bersamaan yang kemudian dilanjutkan dengan doa dari masing-masing mereka berdua, "Jibran sama abang sayang bunda! Sehat terus ya biar bisa nemenin jibran sama abang." Gelak tawa terdengar lagi dari sang bunda membuat sudut bibir Chandra ikut tertarik membentuk garis lengkung kebahagiaan.
"Selamat ulang tahun bun. Chandra selalu butuh bunda jadi sehat terus ya bun."
"Makasih ya kesayangan bunda."
Tenang, setelahnya mereka berdua lahap menghabiskan ayam serundeng ditemani sang bunda dan ayah melalui panggilan video.
.
.
Ayam serundeng Abang - The END!
Btw selamat ulang tahun buat light tanggal 1 April kemarin yaaaa.
Salam blue.
KAMU SEDANG MEMBACA
ADYATMA
FanfictionAdyatma /;/ Anugerah Hidup - Sansekerta Terkadang kita kurang menyadari betapa sederhananya sebuah anugerah dalam hidup, memiliki anak-anak yang terlahir sehat meskipun terkadang mengesalkan misalnya. Cerita ini menceritakan bagaimana kehidupan Marv...