"...selamanyaaa.."
Mata Dhamar berkilat, menahan nafasnya sejenak sebelum akhirnya berjalan menghampiri Tama untuk berhenti sejenak dari permainan pianonya. Si calon jaksa itu hanya diam berdiri di sana sambil menatap seseorang di hadapannya. Ia paham semua lelah, terutama Tama dan Junio. Mereka berdua baru saja selesai dari kelas, belum lagi tugas serta ujian blok seakan tak ada habisnya. Acara itu tinggal menghitung hari sehingga membuat mereka –ia, Tama, Junio dan Jeffery latihan lebih keras dari biasanya.
Iya, lebih keras, lebih menguras tenaga –dan emosi tentunya.
"Jeff, nadamu sumbang. Sudah berapa kali kau keluar nada?" Tidak ada balasan dari Jeffery. Anak itu hanya diam sambil memainkan tali sepatunya yang tak terikat sempurna –seperti perasaannya, berantakan.
Dhamar menghela nafas untuk ketiga kalinya hari ini. Ia masih tugas presentasi dua hari lagi, ia butuh istirahat untuk bisa mengerjakan materi presentasinya. Jelas ia sama sekali tidak punya waktu untuk mengasuh anak mama yang putus cinta.
"Jeffery, Dhamar bertanya padamu." Junio mungkin terlihat paling tenang tapi ia juga punya rasa kesal dan lelah. Sedikit senggolan mengenai tangan Jeffery yang membuatnya menatap Junio penuh tanya –serta lelah.
"Jeff! Jika-"
"Cuci muka mu dan kembali saat sudah bernyawa. Ok?" Potong Tama sebelum Dhamar mengeluarkan lagi semburan naganya pada Jeffery. Terpujilah jiwa penolongnya selalu muncul disaat-saat seperti ini. Memang harus ada yang mengalah atau setidaknya tetap waras saat mereka harus adu urat seperti sekarang. Tama mengerti posisi ketiga anggotanya, mereka punya masalahnya masing-masing dan tentu saja butuh istirahat namun ini adalah acara universitas. Tak hanya nama mereka namun ada banyak hal yang dipertaruhkan dalam penampilan nanti sehingga mereka tidak bisa sesantai itu.
Sebelum Jeffery mengelak, ia merasakan Junio mendorong punggungnya menuju pintu keluar.
"Sana cuci muka, beli es krim atau temui Tristan untuk meminta semangat darinya. Bye!" Kira-kira begitulah yang ia dengar sebelum akhirnya memutuskan untuk melangkah gontai menuju kamar mandi.
Ia melangkah seperti biasanya, santai tanpa beban namun terasa kosong. Memang harus ia akui pengaruh kandasnya hubungan kasihnya membuat Jeffery banyak hilang arah. Gadis itu memberikan banyak energi bagi hati dan pikirannya, lalu saat mereka harus berpisah seperti sekarang tentu saja Jeff sudah merelakan sumber tenaganya berkurang sedemikian rupa.
Ia hanya raga tanpa nyawa, begitulah kira kata pujangga.
Mencuci muka sudah ia lakukan, berkaca sambil membatin akan wajahnya yang rupawan pun sudah. Menyisir asal rambut hitamnya, membenahi kemeja, mengecek gawai, kembali untuk pipis juga sudah ia lakukan. Namun apa daya, ia tetap tidak mendapatkan fokusnya.
"Sana cuci muka, beli es krim atau temui Tristan untuk meminta semangat darinya." Terlintas perkataan Junio saat ia hendak keluar tadi. Ia sudah cuci muka, apa ia sekarang harus beli es krim? Tapi melihat pertimbangan lebih menyenangkan makan es krim daripada mendengar ocehan Tristan -dan bisa jadi tak sengaja bertemu mantan, lebih baik mendinginkan diri dengan semangkuk es krim.
Tapi, memang Jeffery sedang dirundung sial.
Setelah berlari dengan riangnya menuju kantin fakultas ISIPOL yang letaknya paling dekat dengan ruang musik, sekarang ia harus menerima kenyataan jika kantin sedang tutup. Bukan penuh lagi, tapi sepi karena sudah jam pulang.
Memutuskan untuk duduk di salah satu bangku kantin sambil menopang sebelah tangan, Jeffery merenungi nasibnya beberapa waktu belakangan ini.
Jeffery, putra kesayangan papa Wijaya dan kakak tercintanya Mark itu memang sedang sial.
Sudah putus cinta, sempat terkena ocehan dosen, laporan divisinya agak berantakan sehingga harus kena ceramah ketua BEM, suaranya yang mendadak sumbang, belum lagi ia harus mendapati kantin ISIPOL yang surga dunia itu harus tutup -ya kan memang sudah waktunya tutup, dan sekarang seperti tidak ada waktu lain saja matanya harus melihat Mina berjalan dengan teman-temannya keluar dari gedung fakultas yang sialnya berada di seberang kantin.
'Ide siapa sih menaruh kantin fisipol harus berhadapan dengan feb?! Lak-'
Tadinya Jeffery sudah mau menyumpah, sebelum pandangannya tertutup dengan segelas minuman berwarna cokelat dingin.
"Pemandangannya 'Panas' kan? Lebih enak sambil minum es teh."
Meski terkejut, Jeffery dapat segera kembali ke dunia nyata berkat suara kekehan Lucas.
Anak itu masih tersenyum lebar dengan sedotan minumannya yang ia gigit.
"Cas, belum balik?" sedikit banyak Jeffery bersyukur mendapati Lucas duduk di hadapannya -oh jelas menghalanginya dari sang mantan terindah. Ya biar cepat bangkit gitu, tidak terlalu durjana.
"Belum, mau rapat nanti abis magrib. Abang udah selesai latihan? Kok gua gak liat Junio sih?" tanya Lucas sambil menoleh ke arah belakang, kiri dan kanan Jeffery.
Jeffery hanya menggeleng sambil memainkan titik air di gelas es teh yang ada di hadapannya. Entah bagaimana ia harus menjawab pertanyaan Lucas kalau dia habis kena tegur Dhamar karena tidak fokus dan merusak sesi latihan mereka.
"Gak tau apa belum selesai latihan apa gimana bang? Jawab Lucas dong." Jeffery tidak bisa untuk tidak tertawa mendapati si bongsor sedang berbicara dengan nada manja padanya. Memilih untuk mengabaikan Lucas, ia menggeser gelas es teh tadi untuk berada semakin dekat dengannya dan mulai meminumnya sedikit demi sedikit.
Ah, lega.
Ternyata Lucas benar. Pemandangan yang panas memang perlu pendinginan. Kepalanya yang terasa penuh kini berangsur-angsur terasa ringan. Beban di hatinya, beban pikiran, beban kuliah, beban lomba, bahkan mungkin beban hidupnya seakan terangkat satu demi satu saat teguk demi teguk es teh itu mengalir dalam tubuhnya.
Puji Tuhan untuk siapapun yang menemukan Es Teh.
"LUCAS! Lama banget sih?! Minum Sinta mana? Kok Cuma satu?!" Perlahan kedua mata Jeffery yang ternyata tertutup saking nikmatnya minum itu terbuka. Ia mendapati Lucas yang sedang dicubiti oleh seorang gadis kecil. Eh bukan anak kecil tapi tubuh gadis ini memang mungil. Bahkan lebih mungil dari Min- ah masa bodo. Ia kembali menyedot es tehnya sambil mendengar pertengkaran Lucas dan gadis yang namanya Sinta itu.
"Aduh, Sinta maaf. Itu minumnya ada sama Bang Jeffery tuh." Merasa namanya disebut, Jeffery mengangkat pandangnya dan mendapati Sinta -si gadis kecil itu sedang menatapnya. Gadis itu punya rambut pendek berponi mirip dora, wajahnya manis tanpa unsur campuran. Postur tubuhnya kecil bahkan jika disandingkan dengan Mark pasti orang-orang akan mengira kalau Sinta ini adiknya Mark saking kecilnya.
Eh,lucu.
"Kakak ini Kak Jeffery?" Jeffery hanya mengangguk tanpa melepas sedotan es tehnya. Matanya menangkap gurat kesal di wajah si mungil. Tak biasanya ia mendapati pandangan seperti ini apalagi dari kaum hawa.
"Marahin Sin, itu minumnya disedot sampe abis lagi." Lucas ini memang tiada dua.
SROT!
"Ah, legaa. Thanks ya Cas." Jeffery berdiri tanpa dosa. Ia kini berjalan mendekati Sinta yang masih menatapnya penuh emosi.
"Sinta ya? Maaf ya es tehnya kakak habisin, tadi panas banget soalnya. Besok kakak ganti ya? Lucasnya jangan dicubitin lagi, ok?" Itu ucapnya sambil mengacak pucuk kepala Sinta -sambil tersenyum dan berlalu menuju ruang musik lagi.
Samar-samar ia mendengar Lucas berteriak, " Sinta! Jangan mimisan!"
Ah memang es teh itu memberikan kesejukan nyata.
...
ES TEH - THE END
Halo! Selamat hari kartini! Ya walau cerita kali ini tidak ada unsur kartininya. Ngomong-ngomong siapa dari kalian yang selalu merasa lega banget setelah minum es teh? Berasa gitu kan bebas hidup terangkat semua kayak lega banget, dan di sini Jeffery merasakan hal itu.
oh, apa Jeff dan Sinta perlu ada kisah baru atau biarkan selesai di kantin isipol?
salam, blue:)
KAMU SEDANG MEMBACA
ADYATMA
FanfictionAdyatma /;/ Anugerah Hidup - Sansekerta Terkadang kita kurang menyadari betapa sederhananya sebuah anugerah dalam hidup, memiliki anak-anak yang terlahir sehat meskipun terkadang mengesalkan misalnya. Cerita ini menceritakan bagaimana kehidupan Marv...