Karena ku belum tau namanya, ku sebut saja cowok bougenville.
—Jurnal DylaPagi ini hawa terasa lebih dingin, beruntung langit memberikan pemandangan terbaiknya. Burung tidak berhenti bercicit ikut meramaikan, suara klakson kendaraan mulai terdengar ramai mengingat saat ini matahari mulai menyingsing.
Orang-orang ramai memenuhi jalanan, saling susul-menyusul untuk tiba lebih awal. Terutama siswa-siswi yang hendak berangkat ke sekolah, belum lama sejak kegiatan belajar-mengajar di tahun ajaran baru dimulai membuat mereka setidaknya tidak terlambat datang.
Tid tid tid, suara klakson motor terdengar nyaring.
"Heh, bisa nyetir gak sih lo? Lama banget! Ntar gue telat!" Salah seorang siswi dengan memakai seragam sekolahnya sedikit berteriak pada seseorang yang memakai seragam semacam dirinya karena menjalankan motor dengan sangat pelan. Sebenarnya bukan salah seseorang itu sepenuhnya karena mengingat jalanan memang sedang macet parah.
"Maaf, Kak. Tapi jalanan emang lagi macet." Cewek itu membenarkan letak kacamatanya yang sedikit merosot, ia menyadari yang sedang berbicara dengannya adalah kakak kelasnya.
Siswi itu menilik nametag yang terpasang di seragam sekolah lawan bicaranya. "Dyla," lalu beralih menatap wajah yang saat ini sedang balas menatapnya. "Gue gak buta, ban motor lo bocor makanya sengaja lo pelanin kan? Stupid. Bocor ya pinggirin, tambal." Ujar kakak kelas itu tidak mau kalah.
Dyla menghela napas, tidak berniat membalas kemudian menengok ke arah ban motor belakangnya. Sebenarnya ia menyadari hal itu karena sangat terasa saat dikendarai tapi sejauh ini ia belum menemukan tempat tambal ban dan akhirnya memutuskan untuk mengendarainya dengan pelan sampai menemukan tempatnya.
"Udah ah minggir!" Kakak kelasnya menyusul paksa yang berakibat kaca spion Dyla tersenggol hingga bengkok.
Dyla sangat dongkol, pagi ini sepertinya berkonspirasi untuk membuatnya sangat kesal. Beruntung beberapa meter di depan sudah tampak tempat tambal ban dan sedikit membuat Dyla bisa bernapas lega.
Sesampainya di tempat tambal ban, Dyla membiarkan motornya diambil alih dan memposisikan diri di salah satu tempat duduk tempat menunggu sembari tidak berhenti memanjatkan do'a semoga keajaiban datang untuk mengundurkan waktu upacaranya meskipun dirasa tidak mungkin.
Dreeet dreeet dreeet
"Aduh,"
Dyla mengaduh sembari mencari-cari ponselnya di dalam tas. Mood-nya sudah kurang baik karena ban motornya tiba-tiba bocor di tengah jalan, terlebih mendapat semprotan dari kakak kelasnya yang super menyebalkan.
"Halo,"
"Dyl!" Dyla menjauhkan ponsel yang semula menempel di telinga kanannya karena suara di seberang sana terdengar terlalu nyaring. "Lo di mana? Upacara udah mau dimulai. Kebiasaan!"
Dyla merapikan kerudungnya yang sedikit berantakan, "Ban motor gue bocor, Nad. Gue lagi di tempat tambal ban."
"Kok bisa? Terus gimana?" Nada-teman sebangkunya bertanya dengan nada khawatir.
"Menurut lo? Ya mau gimana lagi."
Dyla mengembungkan pipinya dan menghembuskan napas kasar sembari mengalihkan pandangan menatap motornya yang masih menunggu bannya selesai ditambal.
"Mati, Dyl. Masa lo mau telat lagi? Kita masih anak baru di sekolah dan ini minggu ke empat lo telat, gue punya firasat buruk kali ini, Dyl, bisa aja pak Nurdin kasih hukuman lebih dari sekadar dijemur kayak minggu lalu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jurnal: Dear, Iqbal
Teen FictionHATI-HATI MENDADAK BUCIN. HIGHEST RANK: #20 Jurnal Berawal dari dua kepribadian yang berbeda, lalu menjadi satu kesatuan yang sempurna. Dyla yang hampir kehilangan harapan untuk hidupnya dan Iqbal yang kemudian bersedia mengisi semua kekosongannya s...