M
alam ini, Prawira bersama semua keluarganya berada di kediaman orangtua Dania, wanita yang dijodohkan dengannya. Semua terlihat bahagia, namun tidak dengan Ica, kakak Prawira. Ia terlihat tak menyukai Dania.
"Dek, apa kamu sudah yakin dengan keputusanmu untuk bertunangan dengan Dania? Dia tidak memiliki pembawaan yang baik. Meskipun dia adalah cinta pertamamu, tapi apakah kamu masih mencintainya? Apakah sudah tidak ada cinta untuk Sinar di hatimu?" Ica bertanya kepada Prawira, adik laki-laki satu-satunya.
Prawira diam, tak ada sepatah kata pun yang terucap.
Dania yang ditunggu sejak tadi akhirnya muncul juga, ia terlihat cantik dengan balutan kebaya putih. Rambutnya ditata rapi, menambah anggun penampilannya malam itu.
"Cantik sekali calon mantuku!" Puji Bu Ningsih, ibunda dari Prawira.
Setelah pembicaraan prosesi lamaran, saatnya Prawira akan memakaikan cincin ke jari manis kiri Dania. Dania dengan semangat menjulurkan tangan kirinya agar secepatnya jarinya dihisai oleh cincin pertunangannya. Semenit berlalu, namun Prawira masih belum memasangkan cincin, ia hanya terpaku menatap cincin yang masih berada di tangannya.
"Ayo, Nak Wira, pakaikan cincinnya, biar Dania resmi menjadi tunanganmu!" Pinta Bu Tiwi, ibunda Dania, yang mulai gelisah.
Prawira masih saja terpaku. Dialihkan pandangannya kepada Ica, kakaknya. Ia mencari kekuatan dalam telaga mata kakak perempuannya itu. Hatinya mulai dialiri rasa bersalah yang teramat sangat. Bayangan kejadian beberapa hari lalu, saat ia melangsungkan pertunangannya secara sederhana dengan wanita yang memesona hati dan jiwanya.
"Ayo, Nak! Apa yang kamu pikirkan?" Bu Ningsih berbisik kepada Prawira, anaknya.
"Cepat pakaikan cincinnya, Nak! Tidak enak dilihat banyak orang. Dania juga sudah pegal tangannya." Pak Jamal, ayahnya, ikut berbisik.
"Dek, maafkan Abang atas perbuatan Abang kepadamu. Aku telah mengusirmu dari kehidupanku, namun ternyata engkau masih tertinggal di hatiku, berpeluk rasa yang masih melekat. Aku masih mencintaimu dan kini sangat merindukanmu!"
"Ayolah, Wira, pasangkan cincin itu ke jariku! Bukannya kau sangat mengaharapkanku untuk menjadi istrimu?" Dania akhirnya meminta sendiri.
Prawira menatap lekat mata Dania, "Maaf, Dania, aku tak bisa bertunangan denganmu!" Prawira yang sedari tadi diam, kini membuat semua yang hadir tersentak dengan ucapannya.
"Kenapa kamu berkata begitu? Bukankah ini adalah kemauanmu? Dan katanya kamu juga mencintaiku?! Kamu juga bilang kalau aku cinta pertamamu! Lalu kenapa setelah kita akan dipersatukan, justru kamu menolak pernikahan ini?!" Dania geram.
"Apa-apaan kamu?! Mau mempermalukan Ayah?!" Pak Jamal menarik tangan Prawira.
"Maaf, Ayah, Ibu, dan semua yang hadir di sini. Aku mungkin sudah sangat mengecewakan dan mempermalukan kalian semua. Tapi aku tak bisa melanjutkan perjodohan ini!"
"Berikan alasanmu, Nak." Bu Ningsih yang terkulai lemas berusaha berkata kepada anak laki-lakinya itu.
"Aku masih sangat mencintai Sinar. Hanya dengan dia, aku akan menjalani hidupku. Hanya dia yang kujadikan istri, satu untuk selamanya!"
Sebuah tamparan melayang keras di pipi Prawira sehingga membuatnya tersungkur. Ica mencoba merengkuh Prawira.
"Sebaiknya kita pulang saja, Yah! Kita bicarakan semuanya setelah kita di rumah!" Pinta Ica sambil terus memegangi Prawira. Bu Ningsih pun menyetujui saran Ica.
Pak Jamal dengan rasa malu yang amat sangat meminta izin kepada keluarga Dania. Dania yang masih menangis tak menghiraukan. Ia menangis dalam pelukan ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sinar Cinta Prawira by Ajima Ode Faraghling
RomancePRAWIRA Sejak kali pertama melihat, teduh wajahnya mampu buatku terpikat. Sinar cerlang dari matanya yang bulat, bagai hipnotis yang memaksaku ingin mengenal lebih dekat. "Menikahlah denganku." Kuutarakan sebuah ajakan di senja tepi pantai kala itu...