"A
aah....!" Suara teriakan dari seorang perempuan mengagetkan beberapa pejalan kaki dan pengendara di jalanan dekat taman kota sore itu.
Tubuh gadis itu terhempas. Orang-orang berlarian mendekati korban yang baru diserempet mobil sedan putih untuk memastikan kondisinya. Gadis berkerudung merah jambu yang menjadi korban, meringis memegang sikunya yang lecet dan pergelangan kakinya yang keseleo saat terhempas disambar tadi.
Prawira yang tak jauh dari lokasi kecelakaan ikut kaget lalu berlari menuju kerumunan itu, ingin memastikan korban kecelakaan tadi. Jelas wajah tampannya berubah kemerahan bercampur peluh, diterpa sinar surya yang menyengat.
"Permisi... permisi.... Bisa saya lihat korbannya?" Ia mencoba meminta jalan. "Anda tidak kenapa-kenapa, Mbak?"
Dengan sedikit meringis, gadis itu menoleh ke arah suara, matanya sedikit disipitkan sampai kedua alisnya ikut mengerut, seakan memberi isyarat kalau dia lagi berpikir keras, mengingat sesuatu. Jantungnya berdetak saat memorinya mulai menemukan jawaban. "Wira? Bang Prawira? Anda Bang Prawira, kan?
Tanpa menjawab pertanyaannya, pria itu menggendong gadis yang menanyakan namanya itu. Mereka meninggalkan kerumunan tanpa lupa mengucapkan terima kasih.
Mobil yang dikendarai brimob berpangkat bripka itu bergerak tak begitu laju menelusuri jalanan. Keduanya merasa saling mengenal satu sama lain, ada banyak pertanyaan di benak keduanya, namun tak satu pun dari mereka mampu memulai percakapan, mencari jawaban dari apa yang sudah diyakini mereka.
"Mohon maaf sebelumnya, apa benar Anda Bang Prawira Dilana?" Tanya gadis itu, memberanikan diri.
Brimob berparas tampan itu menarik napas dalam, "Hm, iya, Dek, aku Wira! Apa kamu adalah Intan, adiknya Sinar? Maaf kalau aku salah!" Prawira balik bertanya.
Gadis itu menunduk, "Iya, Bang, aku Intan!"
"Huf...." Prawira berdengus kencang, seakan ingin melepaskan sebuah beban yang ditanggungnya. "Anak ini masih mengenalku, padahal waktu itu umurnya baru 11 tahun. Wajahnya lebih terlihat makin cantik meskipun tidak jauh berubah." Bisik hati Prawira.
Setelah itu, tak ada lagi suara percakapan. Masing-masing kembali bungkam, tak berani mengeluarkan segudang pertanyaan yang memenuhi benak mereka.
"Kamu mau Abang antar ke mana, Dek? Tapi, tolong nanti tunjukkan Abang jalannya, ya! Abang baru pindah tugas dan menetap di kota, belum ada dua bulan!" Prawira memecah lamunan Intan.
"Alhamdulillah, ya Allah, satu pertanyaanku terjawab. Tapi, kalau benar dia menetap di kota ini, apakah semua tak akan memengaruhi ketenangan hati? Apakah takdir akan menjahit yang terputus? Ataukah akan menambah potongan-potongan menjadi semakin banyak di hati? Apakah semua akan baik-baik saja dan berjalan normal seperti sebelum dia ada di kota ini? Semoga tak ada pertemuan yang terjadi. Bang Wira pasti sudah hidup bahagia dengan anak dan istrinya." Intan hanyut dalam arus pikirannya, sampai-sampai tak menjawab apa yang dipertanyakan oleh Prawira kepadanya.
"Dek, ayo, mau turun di mana? Ditanya, kok, malah ngelamun?" Pertanyan Prawira mengagetkan Intan.
"Eh, hm, iya, e... turun di mana, ya? Aduh, di mana, ya?" Intan menjadi gagap menjawab pertanyaan yang menjebaknya. Intan kebingungan menjawab karena tak ingin Prawira mengetahui tempat tinggalnya.
"Kok, kamu menjadi bingung gitu? Apa kejadian tadi bikin kamu jadi amnesia, terus lupa jalan pulang?" Prawira tertawa kecil menyikapi tingkah Intan yang dianggapnya lucu. "Kalau gitu, kita ke klinik aja dulu, ya, biar luka lecet kamu bisa diobati, takutnya infeksi!" Lanjut Prawira.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sinar Cinta Prawira by Ajima Ode Faraghling
RomancePRAWIRA Sejak kali pertama melihat, teduh wajahnya mampu buatku terpikat. Sinar cerlang dari matanya yang bulat, bagai hipnotis yang memaksaku ingin mengenal lebih dekat. "Menikahlah denganku." Kuutarakan sebuah ajakan di senja tepi pantai kala itu...