W
aktu menunjukan pukul 22.15. Intan belum juga tidur, masih terbayang pertemuannya dengan Prawira siang tadi. Tak tau apa yang akan terjadi bila Prawira berhasil mengantarnya sampai ke rumah. Apalagi saat itu Sinar sedang berada di rumah.
Matanya terpaku di langit-langit kamarnya.
"Tak disangka, setelah sekian lama, Bang Wira muncul kembali. Seandainya saja tadi dia berhasil mengantarku sampai ke rumah, maka tamat sudah hidupku sebagai adiknya Kak Sinar, bisa tidak disubsidi lagi sama Kak Sinar. Tapi Bang Wira masih saja tampan seperti dulu, meskipun kelihatan sedikit tua, hehehe. Kira-kira, dia sudah punya anak berapa? Istrinya cantik tidak, ya? Tinggal di mana dia di kota ini? Apa jauh dari sini? Akh, kenapa tadi aku terlalu takut untuk menanyakan semuanya!"
Intan yang sibuk dengan rasa penasarannya membuat ia tak menyadari Sinar sedang berdiri di depan pintu, menatapnya sambil melipat tangan di dadanya.
"Dek, belum tidur juga? Apa yang kamu pikirkan? Kakak lihat, kamu seperti sedang memikirkan sesuatu?"
Intan terkejut. "Ah, Kakak! mengagetkan aku saja. Tidak ada, kok. Hanya belum bisa tidur saja. Kakak ada perlu sama aku?" Intan kemudian mengambil posisi duduk di hadapan Sinar yang sudah duduk di tepi ranjang.
"Tidak ada, sih, Dek. Cuma tadi waktu Kakak lewat depan kamarmu, Kakak lihat pintumu sedikit terbuka. Kakak coba lihat ke dalam kamar, ternyata adikku yang cantik ini lagi melamun. Apa, sih, yang dipikirkan? Coba cerita, mana tau Kakak bisa kasih solusi!" Sinar berkata sambil membelai rambut adik kesayangannya.
"Hehehe, tidak ada, Kak. Hm, kira-kira, Bang Wira sekarang apa kabarnya, ya?"
Sinar terkejut mendengar pertanyaan Intan, ada perasaan yang tak mampu ia utarakan mendengar nama yang baru disebut oleh Intan. Sinar menari napas dalam, lalu mengembuskan kencang. "Huf.... Eentahlah, Dek. Lebih baik kamu istrahat saja!"
"Kenapa Kakak menghindari pertanyaanku? Apakah Kakak sudah tidak mencintai dia lagi? Bukankah, Kakak masih sering mengingat dan merindukannya?"
Sinar menelan ludah, terasa pekat. Ada dentuman keras menghantam hatinya, sehingga air matanya seakan ingin meluap dari kedua mata indahnya. Namun ia berusah menutupinya dengan sebuah tawa.
"Hahaha! Cinta? Hahaha! Semua yang terjadi dan perasaanku buat Wira sudah pernah Kakak ceritakan sama kamu. Apa yang sudah dia lakukan ke Kakak terasa sakit. Kakak akui masih merindukan dia, tapi merindukan bukan berarti kembali mencintai. Dia juga pasti sekarang sudah menikah dan hidup bahagia bersama anak-istrinya. Kakak sudah memaafkannya, tapi semoga setelah kita pindah ke kota ini, aku tidak akan pernah bertemu dia. Bagiku, tak pernah mengenal pria yang bernama Prawira Dilana!"
"Kalau Kakak tidak lagi mencintai dia, lalu kenapa sampai detik ini Kakak belum juga menikah? Padahal, sudah cukup banyak pria yang ingin mempersunting Kakak!"
"Dek, menikah itu bukan saja perkara cinta, tapi sebuah kecocokan dan rasa nyaman. Kakak mencari seorang imam yang bisa membimbing Kakak menjadi istri dunia-akhirat. Aku ingin hidup berumah tangga dengan penuh rasa nyaman, berumah tangga hanya sekali seumur hidup. Karena cinta akan terus ada dengan rasa nyaman yang diberikan!"
"Ya, semoga saja itu alasan jujur dari hati. Semoga bukan karena masih mencintai Bang Wira." Intan berkata santai namun menusuk hati Sinar.
Sinar tersenyum menutupi getaran hatinya, menahan sekuatnya agar air matanya tak mengalir. Hatinya membenarkan ucapan adiknya. Sampai detik ini, Prawira masih satu-satunya pria yang merajai istana hatinya.
"Bagaimana kalau sekali waktu, tanpa sengaja, takdir mempertemukan kalian berdua?" Intan mencoba mencari tau isi hati kakaknya
Sinar terdiam untuk beberapa detik. "Tak akan mungkin ketemu lagi, Dek. Kita sudah tinggal berbeda provinsi, beda pulau, terpisah lautan yang luas. Jarak kita sudah bermil-mil. Jadi tak akan mungkin bisa bertemu. Kita pun tidak akan pulang ke sana lagi, meskipun kuburan Ibu ada di sana. Hidup kita sekarang di sini. Kakak sudah mengubur semua kenangan dan masa lalu dengannya bersama dengan kematian Ibu." Sinar menelan ludah, berusaha tegar di hadapan adiknya. "Sudah, kamu sekarang tidur!" Sinar mencoba mengakihiri percakapan yang mengundang perih.
"Tak ada yang bisa menebak takdir. Tapi kalau seandainya kalian benar-benar dipertemukan gimana, Kak?" Intan masih saja mencari jawaban.
"Apa, sih, kamu ini? Itu tidak akan mungkin, Dek!" Sinar menunduk. "Tapi... kalau seandainya bertemu, dia tidak akan pernah mau melihatku. Dulu dia menghindariku dan menjadikanku perempuan tak punya harga diri di hadapan keluarganya. Aku adalah perempuan yang paling dia benci. Sudah kumaafkan semua kesalahannya. Apa yang sudah ia lakukan, memberi pelajaran besar dan cukup untuk menjadikan dia sebagai orang yang layak untuk dihindari. Dia juga telah melupakan aku. Baginya, aku telah mati, Dek!" Ungkap Sinar. "Aku hanya bisa mendoakan kebahagian untuknya." Lanjutnya lagi
"Maafkan aku, Kak, sudah membuka luka lama!" Intan memeluk kakaknya.
"Tidak apa-apa, Dek. Mungkin sekarang dia sudah menikah dengan tunangannya yang pernah Kakak ceritakan, memiliki anak, dan hidup bahagia!"
Sinar mengusap air matanya di balik pelukan Intan.
"Ya sudah, Kakak kembali ke kamar dulu, ya!" Pamit Sinar. Ia memengelus kepala adik kesayangannya itu, lalu berjalan meninggalkan kamar adiknya.
"Seandainya Kakak tau siapa yang menolongku tadi! Dia pria yang telah melukai hatimu. Apa yang Kak Sinar pikir tidak semuanya benar. Bang Wira masih ingin menemuimu. Entah apa yang ingin dijelaskan kepadamu. Saat itu aku masih terlalu kecil untuk memahami semua yang terjadi antara kalian. Sekejam apakah perbuatan Bang Wira kepadamu, Kak, hingga Kakak pergi jauh dari kota kita dibesarkan, meninggalkan kuburan Ibu? Apa yang ada di hatimu? Cinta atau dendam? Tapi aku yakin Kak Sinar masih mencintainya sehingga sampai detik ini kau masih saja sendiri."
Pandangan mata Intan tertuju pada Sinar sampai pintu kamar tertutup rapat. Diambilnya secarik kertas yang berisi tulisan nomor telepon Prawira. Dilihat sejenak lalu disobek.
"Maafkan aku, Bang Wira, aku tak akan menghubungimu. Biarlah nomor ini kusobek dan tak kusimpan. Tetaplah menghilang dari kehidupan Kak Sinar. Aku tak ingin Kak Sinar kembali terluka!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sinar Cinta Prawira by Ajima Ode Faraghling
RomansaPRAWIRA Sejak kali pertama melihat, teduh wajahnya mampu buatku terpikat. Sinar cerlang dari matanya yang bulat, bagai hipnotis yang memaksaku ingin mengenal lebih dekat. "Menikahlah denganku." Kuutarakan sebuah ajakan di senja tepi pantai kala itu...