S
inar menuju kamar pribadinya yang mewah, elegan, dan berkonsep monokrom. Dinding dan langit-langit kamar dicat putih dengan perabotan hitam dan putih, seluruh lantai kamar ditutupi karpet mahal, sebuah lampu hias mewah menggantung. Tak banyak perabotan di kamar itu, di dindingnya terpajang kaligrafi yang indah dan sebuah televisi LED berukuran besar. Kaca jendela tebuat dari kaca anti peluru dengan gorden berwarna hitam putih. Sebuah ranjang ukuran tiga badan dari kayu berkualitas super dengan kasur yang empuk, menjadi tempat paling nyaman untuk Sinar membaringkan tubuhnya, melepas penat akan kehidupannya yang menurutnya berjalan tanpa senandung cinta.
"Prawira, kenapa kamu begitu tega mempermainkanku?" Kalimat yang tiap saat diucapkan kala dia sendiri di kamar mewahnya itu. Tak seorang pun tau, tiap malam ia selalu memutar kembali memori kenangannya bersama Prawira.
13 tahun lalu.
Sinar, gadis dari kampung dengan kecerdasan di atas rata-rata, bebas tes di fakultas ekonomi di universitas negeri di kota. Jarak rumah yang jauh dari kampus tak mematahkan tekadnya untuk menggapai pendidikan yang tinggi demi mengubah nasib keluarganya. Gadis yatim itu menerima tawaran Ica, seorang ibu muda, untuk menumpang tinggal di rumahnya. Ica yang baru ia kenal di kendaraan saat akan menuju kota, merasa iba padanya.
Dari rumah Ica, Sinar hanya berjalan kaki selama lima menit untuk bisa sampai ke kampusnya. Seluruh pekerjaan rumah dan mengurusi tiga orang anak, tak dikeluhkan demi bisa tetap diterima tinggal, agar tak menambah beban ibunya untuk menyewa sebuah kamar kost. Sinar selalu berusaha mempertahankan nilainya agar bisa terus mendapatkan beasiswa saat kuliah. Untuk keperluan sehari-hari, ia mengerjakan tugas temannya dengan imbalan yang tidak dipatok.
Dua tahun berlalu, Sinar sudah dianggap keluarga oleh keluarga besar Ica. Ica sudah menganggap Sinar seperti adik sendiri. Ica menyenangi pembawaan Sinar yang baik dan rajin. Sesekali orangtua Ica yang hanya tinggal berdua saja, meminta Sinar untuk menemani dan mengurusi rumah mereka. Semua saudara Ica telah menikah dan tinggal di rumah masing-masing.
Ujian semester genap baru saja usai, kini Sinar libur panjang. Ia menemani Bu Ningsih, ibunda dari Ica.
"Nak, kamu masih libur, kan?" Tanya Bu Ningsih.
"Iya, Bu. Ada apa?" Sinar balik bertanya.
"Tolong bantu Ibu dulu, ya, selama tiga minggu ini! Ibu sudah beritahu Ica. Bantu Ibu beres-beres, karena esok sore adik Ica yang kerja di Palu akan pulang ke sini. Tapi hanya tiga minggu saja!"
"Oh, iya, bisa, Bu, bisa. Apalagi Kak Ica sudah mengizinkan."
"Nanti tolong siapkan kamar tamu untuknya dan beres-beres di ruang keluarga, ya, Nak! Keluarga yang lain akan datang ke sini!"
"Oh, iya, Bu. Tapi aku izin balik ke rumah Kak Ica nanti sore untuk mengambil pakaianku, ya, Bu!"
"Boleh, Nak."
Selama dua tahun tinggal bersama keluarga itu, Sinar memang tak pernah mau banyak tanya soal keluarga tempat tinggalnya. Yang dikenalnya hanya keluarga yang sering ia lihat. Yang Sinar tau, Ica adalah anak kedua, memiliki seorang kakak perempuan—Muli namanya, dan Ita—adik perempuan, yang semuanya sudah menikah. Ketiga kakak-beradik itu masih sangat cantik meskipun sudah memiliki anak. Kulit yang putih dan hidung yang macung menjadikan mereka terlihat seperti blasteran Spanyol. Kecantikan mereka menurun dari orangtua yang juga tampan dan cantik.
Sinar baru tahu kalau Ica masih punya adik. Muncul rasa penasaran di hatinya, "Apa saudara Kak Ica yang akan datang nanti secantik yang lainnya? Dia pasti telah menikah juga. Karena tadi kata Ibu, dia kakak dari si bungsu. Lihat esok aja, lah, daripada penasaran!"
Kelanjutannya ada di buku SINAR CINTA PRAWIRA. Silakan chat kami untuk order bukunya! :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sinar Cinta Prawira by Ajima Ode Faraghling
Roman d'amourPRAWIRA Sejak kali pertama melihat, teduh wajahnya mampu buatku terpikat. Sinar cerlang dari matanya yang bulat, bagai hipnotis yang memaksaku ingin mengenal lebih dekat. "Menikahlah denganku." Kuutarakan sebuah ajakan di senja tepi pantai kala itu...