Terbelenggu Rasa Bersalah

140 3 0
                                    

D

i sebuah teras rumah asrama brimob, pria dengan balutan kaos putih berpadu celana tiga perempat memandangi terus layar ponselnya. Sesekali menarik napas lalu berdiri menatap jalan, lalu kembali duduk memutar-mutarkan ponselnya, sedang menanti dihubungi oleh seseorang. Secangkir kopi sudah habis diteguknya, udara di luar pun sudah mulai menusuk pori-porinya, tetapi ia masih saja belum berminat untuk masuk ke dalam rumah.

Sebuah mobil merah melintas pelan dan berhenti tepat di depan rumahnya. Si empunya mobil sengaja menurunkan kaca sehingga terlihat dua orang gadis berparas cantik di dalam mobil itu.

"Selamat malam, Bang Wira!" Sapa Ratna, gadis yang lebih cantik di antara keduanya

"Oh, iya. Malam juga, Dek Ratna! Malam, Dek Dewi!" Balas Prawira untuk kedua gadis yang sudah sering melewati jalanan di depan rumahnya itu. "Baru pulang, ya, Dek?" Tanya Prawira.

"Iya, Bang Wira." Jawab mereka kompak.

"Ini mau nganter Dewi dulu, baru aku pulang!" Lanjut Ratna.

"Oh, ya sudah, silakan! Ini sudah agak malam juga!"

"Iya, kami permisi dulu, ya!" Jawab keduanya kompak.

Mereka adalah dua orang sahabat yang sama-sama kuliah di fakultas kedokteran di kampus ternama di kota itu. Ratna adalah anak dari seorang dokter. Rumahnya tak jauh dari asrama brimob, ibunya mempunyai toko tekstil yang terbilang besar. Kehidupan Ratna sangat berkecukupan. Rumahnya mewah dan besar, letaknya tak jauh dari asrama brimob. Sesekali dia menjemput dan mengantar pulang Dewi yang tinggal di salah satu rumah di asrama brimob.

Dewi anak tunggal. Ibunya seorang pegawai negeri sipil dan ayahnya berpangkat aiptu. Orangtuanya juga memililki sebuah rumah mewah, namun lebih memilih tinggal di asrama sampai ia menyelesaikan kuliahnya. Tempat kuliah Dewi lebih dekat ditempuh dari asrama dibanding dari rumah pribadi mereka. Hanya sesekali orangtuanya pulang ke rumah pribadinya yang jaraknya agak jauh dari kota.

"Bang Wira itu tampan, ya? Senyumannya itu, loh, bisa bikin susah tidur. Sudah punya anak brapa, sih, dia, Wi?" Tanya Ratna kepada Dewi saat mobil sudah berlalu dari depan rumah yang ditempati Prawira.

"Iya, tampan. Aku aja kalau diajak jadi istri kedua, mau!"

"Gila kamu, Wi! Bisa dipecat jadi anak sama ayahmu!"

"Hahaha... tidak bakalan dipecat, kok! Kan, dia belum nikah. Jadi, aku tetap bisa jadi istri satu-satunya!"

"What? Belum nikah? Serius, Wi?!" Tanya Ratna yang langsung ngerem mendadak mobilnya, mengakibatkan ponsel milik Dewi terjatuh.

"Kagetmu biasa saja! Tidak usah sampai rem mendadak gitu, Rat! Kabarnya, sih, dia belum nikah. Tapi aku belum tau pasti juga, soalnya, kan, belum ada dua bulanan di sini. Pangkatnya kalau tidak salah bripka. Umurnya kurang-lebih 38 atau 39, gitu!"

"Wih, udah mulai tua jugah ya! Tapi ketampanannya masih seperti usia 25 tahun, ya, Wi?

"Iya, Rat, Bang Wira itu sepertinya sangat merawat diri. Tiap berpapasan selalu wangi, kulitnya putih bersih. Mungkin kunci awet mudanya karena sering senyum!"

"Beruntung, ya, perempuan yang bisa jadi istrinya kelak!"

"Dan itu aku pastinya, Rat!" Jawab Dewi sambil tertawa kecil.

"Terus Rangga mau kamu biarkan sama si gadis berkerudung itu? Ikhlas kamu?" Pertanyaan Ratna membuat wajah Dewi mengerut.

"Ya, enggak, lah! Sampai kapan pun, Rangga akan aku kejar dan tidak kubiarkan bersama si perempuan kampungan itu. Masa Rangga anak setajir itu harus sama perempuan yang tak semodis dia, ke kampus aja naik ojek bahkan hanya jalan kaki. Cara dandannya juga tidak cocok untuk jadi seorang dokter. Tidak selevel sama Rangga yang tampan dan anak dari seorang anggota dewan perwakilan rakyat. Dia kuliah di kampus yang sama dengan kita pasti karena dapat beasiswa!" Dewi berbicara setengah emosi.

Sinar Cinta Prawira by Ajima Ode FaraghlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang