14

30.6K 1.6K 16
                                    

Mayang berjalan cepat menuju rumah, risih dengan pakaian yang berlumpur itu.

Sesampainya di rumah, gadis itu melongo, tak percaya. Di hadapannya ada mobil sport hitam, milik mantan bosnya.

Tiba-tiba saja dadanya berdegup kencang. Perlahan ia melangkah, memasuki rumah.

Benar!

Di dalam sudah ada pria tampan, dengan seorang anak kecil. Ia pun menjadi gugup sekarang, apalagi pakaian yang ia kenakan kotor.

"Gimana ini," gumamnya lirih, sambil menggigit jari, bingung. Tapi mau sampai kapan ia di depan rumah.

"Biasanya jam segini udah pulang, Tuan. Tapi, kayanya Mayang jalan-jalan dulu sama Aldi."

Aduh! Kenapa emak bilang pergi sama Aldi! Batin Mayang menggerutu. Ia pun langsung masuk, tak mau mendengar emak semakin jauh lagi, bicara yang tidak-tidak.

"Assalamu'alaikum!"

Serentak emak dan tamu menjawab salam.

Jaka membulatkan matanya sesaat, saat melihat pakaian Mayang yang penuh dengan lumpur.

Mayang yang mendapat tatapan aneh, dengan cepat ia mengalihkan pendangan. Dengan menyalami punggung tangan emak. "Kamu ko baru sampai jam segini? Ini apalagi, kenapa bajunya lumpur semua?"

Belum sempat menjawab, malah keduluan dengan ucapan anak kecil yang terlontar dengan cepat.

"Tante Mayang kenapa bajunya?" tanya Bagas, ia enggan mendekat. Anak kecil itu merasa jijik. Padahal ia ingin sekali memeluknya.

Mayang hanya menggaruk-garuk tenguknya yang tidak gatal. "Abis, kepleset di sawah," jawabnya malu-malu.

"M-Mas, kok ... bisa ada di sini?" tanya Mayang sambil meringis, pada tamu pria itu.

Duda itu mengulum senyum, menahan tawa. Andai tidak ada orang tua Mayang, ia sudah tertawa lepas. Begitu lugunya gadis desa ini.

"Bagas, kangen sama kamu," jawabnya. "Tapi sayangnya gak bisa meluk," sambungnya lagi. Sambil melirik perempuan paruh baya, emak.

"Mayang, mandi dulu sana, cepat. Kasian tamunya." Perintah emak.

"Ah, iya. Kalau gitu saya permisi mandi." Dengan cepat ia beranjak ke belakang.

"Maaf, ya. Jadi nunggu lama, kalau gitu saya ambilkan minum dulu."

"Gak usah repot-repot, Bu," kata Jaka.

"Gak apa-apa, masa ada tamu dianggurin," ujarnya. "Bentar ya cah ganteng," sambungnya lagi pada Bagas.

***
Mayang sudah kembali, menemui duda dan anak kecil itu. Rambut panjangnya yang basah, ia biarkan tergerai.

Jaka berkali-kali melirik Mayang, yang tampak menunduk.

Ah, kenapa malu sih? Jaka mendesah.

"Mayang, ehm ... sebelumnya saya minta maaf. Kamu pasti sedih, diberhentikan sama ibu," kata Jaka.

"Enggak, kok. Memang saya mau pulang."

"Berarti, kamu benar pergi sendiri dari rumah? Terus kenapa gak pamit? Apa kami gak membuatmu nyaman? Apa ...."

"Gak, kok, Mas. Memang semua sudah aku rencanain."

"Jadi, ini benar. Kalau ini surat tulisan kamu?"

"Surat? Saya bikin surat, mana sempat. Orang ibu ...." Seketika Mayang memberhentikan ucapannya.

Bodoh, kenapa keceplosan. Mayang merutuki dirinya sendiri.

Duda itu menangkap wajah Mayang, yang gelisah. Gadis itu tak pandai menyembunyikan sesuatu. "Sudah gak usah bohong, saya sudah tahu."

"Maafin saya, Mas. Kalau kehadiran saya membuat ibu tak nyaman."

"Gak, tidak sama sekali. Ibu gak berhak atas masalah ini. Dan saya minta, kamu besok ikut ke Jakarta, kerja sama saya lagi."

"Tapi, saya masih sekolah."

"Kamu bisa lanjutkan sekolah di sana."

"Tunggu! Apa-apaan ini? Pindah sekolah." Tiba-tiba sang bapak sudah berdiri di pintu, baru saja pulang dari ladang. "Siapa ini? Beraninya mau bawa anak saya!" tukasnya lagi.

"Pak, sudah-sudah. Baru pulang marah-marah." Emak yang lagi duduk di belakang, langsung menghampiri ke ruang tamu.

"Maaf, Pak. Perkenalkan, saya Jaka." Duda itu bangkit, menyalami bapak.

"Jaka, siapanya Mayang?" tanyanya tegas.

"Bukan, siapa-siapa, Pak," potong Mayang cepat. "Dia hanya mantan majikan Mayang kemarin," terangnya.

"Gak bisa, anak saya harus sekolah di sini sampai lulus. Dan gak bakalan lagi kerja jauh-jauh, dia udah ada calonnya," imbuh bapak lagi. Kemudian ia meninggalkan Mayang dan tamu itu.

Jaka mematung, tatapannya penuh pada Mayang, menuntut jawaban.

"Saya, emang gak bisa kerja lagi, Mas," terang Mayang lirih.

Bagai disambar petir, Duda itu semakin melongo. Lidahnya serasa kelu, tak sanggup berkata-kata.

"Papah, Tante." Tiba-tiba Bagas keluar dari kamar Mayang, bangun tidur siang. Anak kecil itu langsung menggelayut manja pada Mayang.

Sedangkan Mayang, masih duduk terdiam. Bagas yang menghampirinya pun, tak dihiraukan. Melihat sikap bapak, ia pun tak mau membuat anak kecil itu semakin manja. Ketergantungan pada dirinya.

"Tante, kok diem aja?"

"Papah, kok juga diem?" tanyanya dua kali bocah kecil itu.

***

Sedangkan di teras ada pemuda sedang mendengarkan dengan seksama. Ada rasa cemburu di hati, kala mendengar obrolan calon istrinya dengan tamu orang kota itu.

Tapi, ia pun merasa kasihan. Mendengar suara anak kecil itu merengek, hatinya terenyuh. Aldi memang pemuda berhati lembut.

"Aldi, sejak kapan di situ?" tanya Mayang ketika keluar, hendak mengantarkan tamunya ke depan.

"Mayang, eh ... udah dari tadi. Lagi ada tamu, ya?" Aldi bertanya balik.

"Iya," jawab Mayang, lalu ia menoleh anak kecil itu yang tampak murung. Tak tega rasanya, melepas kepergiannya. Ingin sekali ia ikut pergi bersama kembali ke rumah duda itu. Agar selalu membuat Bagas tersenyum.

Aldi melihat ada kegundahan di wajah Mayang, lewat raut wajahnya yang tampak murung juga.

"Hai, kamu namanya siapa?" tanya Aldi, menyapa Bagas.

"Bagas, Om," jawabnya. "Papah, Bagas gak mua pulang, kalau Tante Mayang gak ikut," sambungnya merengkek pada sang ayah.

Tak tahan rasanya, melihat anak kecil itu merajuk. Mayang pun berlari masuk ke kamar.

"Mayang." Aldi mencoba mencegah, agar tidak meninggalkan tamunya. Namun gadis itu tak menghiraukannya.

"Permisi," ucap Jaka, sambil meraih tubuh anaknya digendong.

"Gak mau, Papah gak mau. Bagas mau tante Mayang. Tante Mayang." Tubuh meronta, tak mau diajak pulang.

"Iya, Sayang. Kita gak puang. Tapi cari penginapan, besok kita ke sini lagi, oke!"

Seketika tangisnya mereda. "Janji," ucapnya dengan bibir masih tampak mewek.

"Iya, Papah janji. Sekarang kita jalan-jalan dulu, ya?"

Anak kecil itu mengangguk, kemudian mencoba menghapus air mata dengan baju yang dipakainya.

"Pakai tisu, Sayang." Jaka mengulurkan selembar tisu. Dikuatkannya hati, jangan sampai ikut bersedih. Demi Bagas.

Walau sendirinya juga, tak percaya. Belum bisa menerima, kalau Mayang sudah ada calon suami. Tapi ia terus berusaha tegar.

Next...

Mas Bos Duda Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang