4. Because of you

1.5K 143 3
                                    

Garril dan Miranda baru saja keluar dari kantor polisi saat jam sudah menunjuk ke angka sebelas malam. Mereka diintrogasi selama tiga jam setengah akibat insiden baku hantam juga saksi atas perkara percobaan pemerkosaan itu.

Wajah Miranda tampak kusut dan mata perempuan itu sudah sangat lelah, ia mengantuk. Sementara itu Garril masih terlihat bugar. Tidak ada tanda-tanda letih pada air mukanya. Bahkan, untuk raut lain pun juga tidak ada.

"Garril, aku ngantuk," beritahu Miranda sambil meraih tangan Garril dan menyenderkan kepalanya di bahu tegap pria itu. Ia menompangkan seluruh bobotnya pada tubuh Garril.

Garril mendesis tidak nyaman. Tangan besarnya meronta-ronta, meminta Miranda untuk segera melepaskannya. "Lepas Miranda, saya tidak nyaman." Pada akhirnya Garril mengangkat suaranya, setelah hanya mendiamkan perempuan itu selama beberapa saat.

Miranda mengerucutkan bibirnya, bertingkah sangat manja yang membuat Garril merasa muak setengah mati. Sungguh, dia sangat tidak menyukai sikap Miranda yang demikian rupa. Tapi jika Kanaya, adik perempuan yang tengah bergelayut padanya itu yang melakukan hal serupa, Garril tidak akan menolak. Dia akan dengan senang hati menyerahkan tangan juga bahunya, atau bahkan seluruh tubuhnya untuk wanita yang sayangnya sudah bersuami itu.

Ya, Kanaya, wanita yang ia cintai itu nyatanya sudah menjadi milik pria lain. Ini sangat menyedihkan sekaligus membuat Garril terlihat miris di waktu yang bersamaan. Pria itu bahkan sempat merasa Tuhan tidak adil padanya. Ia yang selalu ada di samping Kanaya, tapi Kanaya malah menjadi milik orang lain.

"Oh iya Garril, aku baru ingat," Miranda mengangkat kepalanya lalu melepas cekalannya di lengah kekar pria itu. Ia mengambil jarak beberapa centi, mendongak lalu menyelusuri setiap jengkal wajah pria di hadapannya itu. "Ya ampun, bibir kamu kayaknya sobek deh, dagu kamu juga memar. Aku kok baru sadar sih?"

Wajah Miranda yang tadi tampak suntuk dan lelah mulai menunjukkan kepanikan. "Aku harus obatin kamu. Ayo balik ke rumah sakit. Aku takut luka di bibir kamu jadi infeksi, terus memar kamu jadi tambah parah. Atau, kalau kamu bawa kotak first aid, aku bisa obatin kamu sekarang juga," Miranda semakin menambah rasa paniknya. Ia jelas takut jika nanti terjadi sesuatu pada pria yang mendiami hatinya itu.

Miranda kemudian mencoba menyentuh luka yang ada pada wajah Garril namun segera pria itu tepis. "Saya baik-baik saja, Miranda. Kamu jangan berlebihan," sahut Garril dengan nada tanpa intonasinya. Ia bahkan mengambil jarak satu langkah untuk memberi ruang lebar di antara mereka.

Miranda kembali mengerucutkan bibirnya. Ia sudah biasa mendapat respon Garril yang seperti ini padanya, tapi tetap saja ia merasa sakit hati. Pria itu sama sekali tak menunjukkan sikap manusiawinya pada Miranda.

"Aku nggak berlebihan Garril kalau kamu mau tahu. Aku beneran khawatir sama kamu. Kamu seharusnya ngerti itu. Kamu seharusnya tahu kalau aku--"

"Saya sedang tidak ingin berdebat Miranda. Saya lelah," potong Garril, sebelum Miranda sempat menyelesaikan ucapannya.

Miranda menelisik, memastikan ucapan Garril barusan. "Tapi aku nggak nemuin raut lelah sedikit pun di wajah kamu. Kamu terlihat biasa aja," balasnya apatis.

Keras kepala, batin Garril mulai jengah.

"Oke, iya. Fisik saya emang nggak lelah, tapi batin saya lelah sama kamu, sama apa pun yang melekat sama kamu." Garril berucap pedas dan tegas.

Miranda meringis. Hatinya mendadak ngilu. Garril benar-benar jahat, tapi bodohnya ia masih mencintai pria itu. Kenapa? Entahlah, mungkin karena perasaan Miranda sendiri yang sudah terlalu dalam.

"Segitunya kamu benci aku. Aku salah apa sih, Ril? Jelasin sama aku. Kasih aku alasan," ujar Miranda dengan sedih. Ini adalah pertanyaan ke sekian yang bermakna sama yang ia tanyakan pada pria itu.

"Karena kamu Miranda." Dan selalu itu jawaban yang perempuan itu dapat. Miranda jelas tidak puas. Saat ia menuntut kejelasan pun, pria itu hanya bungkam dan memgabaikannya seperti biasa.

"Kamu nggak pernah jelasin apa-apa sama aku kenapa kamu kayak gitu. Kalau kamu nggak cerita kayak gini, gimana aku bisa memperbaiki diri aku ke depannya Garril? Aku, pengen berubah. Aku juga pengen kamu nggak kasih aku tatapan datar kayak gitu, sikap cuek dan masa bodoh kamu."

Garril tak menanggapi ucapan Miranda yang menurutnya sangat tidak penting itu. Pria itu malah membuka pintu mobilnya sambil mengatakan, "Kalau kamu mau pulang, cepat masuk," lalu mulai mendudukkan diri di balik kemudi.

Miranda semakin menunjukkam raut sedihnya. Sikap Garril yang demikian adalah hal terakhir yang ia inginkan. Entah kapan pria itu akan berubah, Miranda berdoa agar secepatnya sikap pria itu melunak padanya.

Hanya itu keinginan Miranda, bukan keinginan yang besar, tapi memiliki arti yang besar pada hidup perempuan itu.

Miranda memutuskan untuk masuk ke dalam mobil Garril. Sementara mobilnya sendiri masih dalam posisi yang sama. Ia belum sempat menghubungi pihak bengkel tadi.

"Nanti sebelum kamu antar aku pulang, aku mau mampir ke rumah kamu dulu." Miranda seolah melupakan pertanyaannya tadi. Ia sadar, Garril pasti tidak akan menjawab, lelaki itu akan selalu menghindarinya. Menuntut pun, akan terasa percuma.

Garril melarikan bola matanya ke ujung, melirik Miranda yang tengah menatap ke depan. "Ini sudah cukup larut malam, ayah dan ibu kamu pasti sedang mengkhawatirkan kamu." Seperti biasa, tidak ada intonasi dalam kalimat panjang itu.

Miranda menghela napas panjang. "Aku perlu obatin luka kamu, Garril. Please, kali ini nurut sama aku. "

Garril terdengar mendengus kecil. "Terserah." Ia tak ingin memperpanjang obrolan dengan Miranda. Perempuan keras kepala itu pasti akan tetap memaksanya.

TBC

Involunter [Tamat] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang