7. Maybe, not today

1.2K 142 9
                                    

Mendengar Garril beralasan seperti tadi sebenarnya cukup membuat Miranda sakit hati. Dia tahu Garril berbohong. Dan dia juga tahu alasan pria itu membohonginya. Sudah pasti karena perempuan itu sendiri, pikir Miranda dengan sedih.

Garril menolak kehadirannya dan sebaiknya ia bergegas pergi dari tempat itu. Miranda kemudian menyelesaikan cuciannya dengan cepat. Selesai dengan hal itu, ia langsung berjalan ke ruang tamu. Miranda tidak akan menyentuh sarapan yang telah ia buat tadi. Makanan itu ia buatkan khusus untuk Garril dan bisa jadi setelah ia pergi nanti, pria itu akan keluar dan mau memakan makanan yang ia masak.

Miranda segera memakai sepatu flatnya dan juga mencangklongkan tas punggung minimalis berwarna legamnya yang terlihat simple namun berkelas. Miranda tidak seperti kebanyakan perempuan di luaran sana yang lebih menyukai hal-hal berbau feminim, tapi dia juga tidak bisa disebut tomboy. Miranda hanya menyukai hal-hal ringkas yang tidak akan menyulitkannya di kemudian hari.

Ketika membuka pintu apartemen pria itu, Miranda cukup terkejut mendapati seorang wanita paruh baya berpenampilan tertutup berdiri di depan pintu apartemen Garril. Tangan wanita itu sudah menggantung di udara, hendak menekan bel yang ada di sisi pintu masuk.

"Anda siapa?" tanya Miranda dengan kening berkerut.

Wanita setengah abad itu menurunkan tangannya agak terkejut, lalu menggerakkan bola matanya dari atas ke bawah dan kembali ke atas lagi untuk menilai penampilan Miranda. Diam sebentar sebelum mengulas senyum miring, juga menyorotkan tatapan yang begitu sinis. "Seharusnya saya yang tanya sama kamu. Kamu siapa? Kenapa ada di apartemen anak saya?"

Suara wanita itu terdengar tajam dan penuh penekanan di rungu Miranda. Mendadak, dokter spesialis muda itu merasa tubuhnya mulai panas dingin. Oh ayolah, dari tatapan wanita itu saja sudah menjelaskan semuanya jika ada kesalahpahaman di antara mereka. Apalagi, beliau itu adalah ibu Garril, ibu dari pria yang ia cintai.

"Eung, anu. Saya, saya Miranda," Miranda merutuki dirinya yang berbicara dengan gugup, seolah dia memang berada dalam posisi yang salah. Padahal tidak.

"Ada hubungan apa kamu sama anak saya? Kenapa kamu bisa ada di sini?"

"Anu, saya, saya--"

Belum sempat Miranda menyelesaikan kalimatnya, ibu Garril sudah memotong lebih dulu. "Wanita baik seharusnya bisa menjaga kehormatannya, bukan malah seperti kamu," kata beliau dengan pedas.

Miranda hanya mampu mengatupkan kedua belah bibirnya dan meneguk ludahnya dengan susah payah. Ini akan menjadi masalah yang besar, sepertinya.

"Sekarang, di mana anak saya?"

Miranda lagi-lagi harus meneguk ludahnya. "Di-di kamar."

Tanpa banyak bicara lagi, wanita paruh baya itu langsung menerobos masuk. Beliau sempat melirik Miranda dan dengan dingin menyuruh perempuan itu untuk mengikutinya dari belakang. Entah apa yang ingin beliau lakukan. Mungkin menghakimi keduanya.

****

"Jadi, ini cuma salah paham?" tanya ibu Garril dengan wajah memicing, memastikan untuk sekali lagi ucapan sang putra.

Garril mengedikkan bahunya tampak tak acuh. Terserah ibunya mau percaya atau tetap menuduhnya yang tidak-tidak, Garril tidak peduli. Yang penting dia sudah menjelaskan kronologisnya dengan sangat rinci, mengapa mereka bisa tidur di bawah atap yang sama. Garril memang sudah menceritakan kejadian yang sebenarnya pada sang ibu, tanpa ada yang ia tambahi, tanpa ada yang ia kurangi juga.

"Kamu jangan kurang ajar sama Mama, Garril! Mama tanya sama kamu, ini cuma salah paham atau enggak. Kamu kalau jawab yang jujur. Mama nggak suka kamu bohong, dosa." Ibunya berkata dengan penuh penekanan pada setiap frasa yang ia ucapkan.

"Iya, Ma." Garril memutar bola matanya, merasa sangat jengah.

Mamanya melotot tajam, "Jangan kurang ajar! Mama colok mata kamu, kalau sekali lagi kayak gitu!" Beliau mengancam dengan sangat sadis, membuat Miranda yang duduk anteng di sisi wanita paruh baya itu lamgsung merinding dibuatnya.

"Tapi Mama tetap nggak membenarkan sikap kamu, Garril. Kamu sama sekali bukan pria gantle, pria gantle akan memilih mengantar wanitanya, bukan malah menyuruhnya pulang sendiri. Dan sekarang, kamu lihat Mama jadi salah paham kan? Mama menuduh Miranda yang tidak-tidak, kan?"

Garril tak melakukan reaksi apa pun, ia hanya menikmati lontaran-lontaran kalimat yang ibunya ucapkan dengan khidmat. Berperan menjadi anak baik yang tunduk pada setiap wejangan ibunya.

Wanita paruh baya itu kemudian menoleh pada Miranda dan meraih kedua tangan perempuan itu dengan hangat. Sikapnya yang seperti ini sangat berbanding terbalik dengan sikapnya yang tadi. "Miranda, Miranda, Tante minta maaf sebesar-besarnya sama kamu untuk tadi ya, Tante nggak bermaksud nuduh kamu kayak gitu. Maaf udah bilang kamu perempuan nggak bener. Tante sama sekali nggak bermaksud," sesalnya dengan raut tak enak yang tidak bisa ditutupi.

Miranda mengulas senyum tipis, memaklumi ibu Garril. "Saya ngerti kok, Tante. Nggak masalah. Kalau saya ada di posisi Tante, saya juga bakal kayak gitu," katanya dengan lemah lembut.

"Makasih, Sayang. Sekali lagi, Tante minta maaf."

Garril yang melihat kedua wanita itu hanya memutar bola matanya dengan malas. Ia jengah berada di sana. Lebuh tepatnya jengah melihat betapa munafiknya Miranda. Cari muka saja!

Mungkin Miranda sekarang bisa bahagia karena sudah berhasil meluluhkan hati ibunya dengan cara licik itu,--benak Garril mulai menyugesti yang tidak-tidak, mengatakan jika wanita itu benar-benar sangat licik--tapi dia tidak akan bisa mengubah mindset Garril terhadap perempuan itu. Itu untuk sekarang, tapi tidak tahu jika nanti.

TBC

Involunter [Tamat] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang