1. (not) the ice man

4.1K 236 5
                                    

Visual Garril ☝

***

Kaki-kaki itu berjalan begitu tergesa, mendorong brankar yang berisikan sesosok wanita dengan darah bersimbah. Kecelakaan maut yang menelan banyak korban di persimpangan lampu merah yang berjarak sekitar seratus meter dari rumah sakit itu membuat--mau tidak mau, seluruh dokter baik residen, spesialisasi, umum, atau yang sedang koas ikut turun tangan menangani para korbannya.

"Korban harus ditangani dengan cepat. Pendarahannya cukup banyak," Perawat dengan anakan rambut yang mulai mencuat dari tempatnya itu berbicara dengan napas yang terdengar saling memburu.

"Tapi ruang UGD sudah penuh!" sahut yang lain dengan wajah yang mulai panik.

"Dokter, bagaimana ini Dok?" Perawat lain mulai bertanya pada sosok perempuan dewasa yang wajahnya tampak sangat lelah itu.

Miranda Reria Sadega, ia sama sekali belum beristirahat sejak siang tadi. Selesai dengan operasi yang ia lakukan, ia langsung ikut turun tangan menangani korban-korban itu.

Miranda menghela napas. Ia memijit kepalanya yang terasa berdenyut sebelum memberi arahan tentang apa yang harus mereka lakukan untuk menyelamatkan pasien yang bersimbah darah itu kepada perawat-perawat yang menemaninya. "Bawa ke ruang rawat terdekat saja, kita tangani di situ," titahnya yang langsung diangguki oleh mereka.

Ruang UGD penuh, sementara pasien butuh penanganan sesegera mungkin. Jadi jalan satu-satunya, ia harus mengambil tindakan dengan membawa pasien itu ke ruangan lain.

"Suster Anna, tolong ambilkan peralatan-peralatan yang kita perlukan. Suster Arin, Suster Isha, ayo, cepat dorong brankarnya," intruksinya. Tanpa menunggu lebih lama, pasien itu sudah sampai di ruang rawat terdekat.

"Bersihkan dulu darahnya, agar kita bisa memulai menghentikan pendarahannya. Pastikan alat-alat yang kalian gunakan steril." Ia kembali memberi intruksi setelah korban berstatus pasiennya itu dipindahkan dari brankar dorong ke ranjang pesakitan.

"Naikkan kedua kakinya biar posisinya lebih tinggi dari kepala," Sambil memberi arahan, wanita itu mulai memakai sarung tangan karetnya.

Dengan cekatan ia mulai membersihkan luka-luka itu dengan peralatan-peralatan yang dibawa Suster Anna. Ia melakukan tugasnya dengan cepat dan ringkas namun masih memenuhi prosedur-prosedur keamanan yang ada. Ia tidak ingin dituduh mal praktik jika melakukan kesalahan sedikit saja.

"Done. Selesai." Miranda menyeka peluh yang membanjiri pelipisnya. Sekarang ia merasa lebih lega dari sebelumnya.

"Pasangkan infus di tangan pasien dan pantau terus perkembangannya, Sus," sambungnya kemudian dan melepas sarung tangan karetnya.

Ia mengibas-ngibaskan tangannya yang agak kebas dan melakukan stretching, memutar tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Selama menghentikan pendarahan pasien itu, ia agak membungkuk tadi, jadi pinggang dan punggungnya terasa sangat pegal.

"Saya permisi dulu. Saya mau lihat masih ada korban yang butuh penangan lagi atau tidak. Sementara, kalian urus dulu pasien ini."

Miranda tak butuh waktu banyak untuk menunggu, segera setelah mendapat anggukan patuh dari ketiga suster yang menemaninya, ia keluar dari ruangan itu. Seperti yang ia katakan tadi, ia harus melihat apakah masih ada korban yang memerlukan batuannya atau tidak.

"Dokter Andreas!" Miranda melambai pada lelaki paruh baya yang sudah hendak masuk ke dalam salah satu ruang rawat itu.

Dokter Andreas memutar tubuhnya menghadap Miranda yang berjalan tergesa ke arahnya. "Ya Dok?"

"Apa masih ada korban yang perlu kita tangani, Dok?"

"Korban ya, tadi masih ada satu. Tapi sudah ditangani oleh Dokter Garril," jawab beliau dengan formal, meski usianya lebih tua dari Miranda yang tahun ini berumur dua puluh delapan tahun.

"Oh ya sudah kalau begitu. Terima kasih Dok, saya akan melihat Dokter Garril kalau begitu. Mungkin dia membutuhkan bantuan saya."

Miranda menganggukkan kepalanya sambil mengurai senyum tipis, saat Dokter Andreas mengatakan di mana letak keberadaan Garril. Tapi, sesaat sebelum tiba di ruangan yang Dokter Andreas sebut tadi, Miranda sudah lebih dulu menemukan pria itu. Ia tengah duduk di bangku panjang yang berada di koridor rumah sakit dengan wajah yang menengadah ke atas dan mata yang terpejam rapat, sementara kedua tangan yang menyilang di depan dadanya yang terlihat bidang.

Dari jarak kurang dari dua meter, Miranda bisa melihat lingkar hitam yang mengelilingi mata yang dihiasi bulu lentik itu. Sesaat, Miranda merasa terpaku. Sangat jarang ia bisa menikmati wajah Garril Pramono dari jarak sedekat itu.

Lelaki itu, entah mengapa selalu menganggapnya sebagai musuh. Tidak pernah sama sekali meliriknya. Padahal, Miranda sendiri merasa dirinya lebih cantik dari wanita mana pun. Terdengar narsis, tapi peduli apa dia?

Miranda menghela napas. Maniknya ia pusatkan pada wajah Garril yang tampak terlelap, mungkin lelaki itu sudah sangat lelah sampai-sampai tak sadar sudah tidur di tempat yang tidak seharusnya.

Wanita itu mulai mengabsen seluruh hal yang menghiasi wajah tampan pria di hadapannya itu. Bibirnya tebal dan berisi, berwarna merah agak pucat. Hidungnya, cukup mancung untuk ukuran orang Indonesia. Alisnya hitam tebal, mungkin terlihat agak menyeramkan untuk anak kecil. Kulit wajahnya putih bersih dan ada tahi lalat di bawah mata kirinya.

Miranda menyentuh dadanya yang selalu berdebar kencang ketika berada dalam radius dekat seperti ini dengan Garril. Ia akui, ia menyukai pria itu, ia mengangguminya sudah sejak lama, sejak ia masih menjadi seorang mahasiswa.  Rasa suka dan kagum itu bahkan sudah menjelma menjadi rasa cinta sekarang.

Perempuan berperawakan tinggi dan ramping itu sama sekali tidak tahu bagaimana definisi cinta, tapi ia pikir apa yang selama ini ia rasakan sudah bisa disebut cinta.

"Anda tidak perlu mengamati wajah saya sedemikian rupa, Dokter Miranda."

Suara berat itu masuk ke rungu Miranda, membawa rangsangan yang langsung diterima oleh otaknya yang sepat berkelana, sebelum diproses selama sepersekian detik, hanya untuk menghasilkan respon terkejut.

"Eh?" Miranda mulai salah tingkah. Meski Garril sama sekali tak membuka mata dan menatapnya secara langsung, Miranda tetap saja merasa malu.

Rasa panas bahkan sudah mulai menjalar, dari telinga lalu ke wajah dan menyebar ke seluruh tubuh. Ia mulai tremor sekarang.

"Eh anu,---" Miranda bingung ingin berkata apa. "Aku pikir kamu udah tidur." Ia berkata lirih di akhir kalimatnya.

"Oh," respon Garril tanpa ingin menyahut lebih banyak.

Miranda menghela napas panjang. Lagi-lagi, Garril meresponnya dengan dingin. Padahal, setahunya pria itu begitu hangat layaknya mentari di esok hari.

TBC

Involunter [Tamat] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang