9. Broken

1.6K 169 13
                                    

Entah mengapa, topik tentang perempuan yang akan menjadi istri Garril selalu terngiang-ngiang di otak Miranda, menempel bagai noda membandel yang sulit dihilangkan. Ini terlalu berbahaya untuk perempuan itu, Miranda jadi tidak bisa berkonsentrasi. Bahkan, saat operasinya tadi, ia hampir membuat kesalahan fatal, nyaris memotong salah satu saraf penting di otak pasiennya.

"Mir, jangan diem aja, Ayah ajak ngomong kamu dari tadi. Yang sopan sama orang tua." Ferdinand menegur putri pertamanya itu sambil melemparkan tatapan tajam. Beliau tidak suka diabaikan ketika sedang berbicara.

"Eung," Miranda menatap ayahnya dengan pandangan bersalah. "Maaf Yah, aku lagi ada masalah kecil di rumah sakit, jadi aku kurang fokus begini," lalu menggaruk kepalanya dengan kikuk.

Miranda terpaksa membohongi ayahnya, tidak mungkin juga ia mengatakan yang sejujurnya pada lelaki yang rambutnya sudah mulai memutih itu. Ayahnya akan semakin marah jika tahu alasannya tidak fokus hanya karena memikirkan laki-laki yang bahkan tak pernah meliriknya sekali pun.

"Masalah? Kamu punya masalah apa di rumah sakit? Perasaan di sana kondisinya oke-oke aja?" Ibunya mengangsurkan secangkir kopi ke hadapan sang ayah, lalu mengambil posisi di depan Miranda. Beliau memicingkan matanya dan mulai mencurigai putri sulungnya itu.

"Em, itu Bun, cuma masalah kecil kok, nggak penting juga."

"Nggak penting kok kamu pikirin sih? Sampai bengong gitu."

Mega, Ibunya itu memang berbicara santai, tapi Miranda cukup tahu beliau tidak akan mempercayai ucapannya begitu saja. Ibunya cukup sensitif, sedikit ada yang berbeda, beliau akan tahu dengan mudah.

"Kamu bohong ya Mir?" Ferdinand menyenderkan tubuhnya ke sandaran kursi, mengambil cangkir kopinya lalu menyeruput cairan berwarna pekat itu dengan khidmat.

"Bohong apa sih, Yah? Aku jujur kok. Ada masalah kecil, sama pasien aku lebih tepatnya. Dia complain karena aku agak telat pas buka konsultasi. Nggak sesuai jadwal, padahal pasien aku itu lagi buru-buru." Miranda lancar mengatakan kebohongannya. Perempuan itu sangat bersyukur, dia sama sekali tak merasa gugup ketika mengucapkan hal itu, sehingga kedua orang tuanya akan mempercayai ucapannya.

Ibunya mengangguk-angguk sebelum tiba-tiba berdiri dan berjalan kembali ke arah dapur. Mengambil sebuah rantang lalu kembali membawanya ke meja makan. "Bunda lupa, tadi sore pas pulang praktik, ban mobil Bunda kempes. Terus ditolong sama Garril. Bunda udah nyiapin makanan ini buat dia, kamu antar ya?" pinta Bundanya.

Miranda cemberut, mungkin di lain waktu ia akan dengan senang hati menerima permintaan sang ibu, tapi kali ini Miranda agak malas melihat Garril. Hatinya masih terlampau sakit membayangkan pria itu bersama dengan wanita lain. Miranda masih butuh waktu untuk menenangkan hatinya yang sedang dilanda badai dahsyat.

"Bun, mungkin Garril udah makan malam tadi. Ini kan udah mau jam tujuh juga. Aku belum sholat. Lagian aku juga capek, tadi ngurus beberapa pasien sama operasi juga," tolak Miranda, sama sekali tak menutupi keenggannya.

"Ya masa Bunda sih yang nganter? Sekali-kali lah Nak, dapet pahala bantu orang tua masa kamu nggak mau?"

Bibir Miranda otomatis maju beberapa senti. "Tapi aku capek, Bun."

"Kamu ini, pembangkang banget jadi anak. Selagi kamu bisa dan mampu, kalau disuruh itu langsung jalan, jangan kasih banyak alasan. Sebagai anak kamu itu harus nurut sama orang tua. Hormati orang tua. Kalau orang tua minta tolong A, ya kamu harus ngelakuin A, dengan catatan si A ini dalam konteks yang baik. Jangan pernah nolak. Kamu tahu, suatu hari nanti kamu bakal nyesel karena pernah nggak nurutin apa kemauan kami." Jika ayahnya sudah mengeluarkan petuah panjang kali lebar seperti itu, artinya Miranda tidak punya pilihan lain, selain menurut tentunya. Meskipun dengan berat hati sekali pun.

"Oke-oke, aku bakal ke apartemennya Garril. Aku bakal kasih makanan buatan Bunda buat dia," putus Miranda final. Ia harus menyiapkan hatinya ketika nanti bertemu Garril.

****

Miranda memainkan bel apartemen Garril berkali-kali sejak sepuluh menit yang lalu. Lelaki itu tak kunjung membukakannya pintu, padahal petugas keamanan yang ia tanyai sebelumnya mengatakan kalau lelaki itu sudah pulang dan belum keluar juga sejak tadi.

Ada tiga kemungkinan yang memenuhi otak Miranda. Pertama, Garril sedang tidur. Tapi hipotesa satu ini agak rancu, Garril tidak mungkin tidur di jam-jam seperti ini, masih terlalu awal.

Kedua, Garril sedang mandi. Suara kucuran air mungkin mungkin akan meredam suara bel apartemen itu.

Ketiga, ini hipotesa yang paling kejam dan sangat manyakitkan bagi Miranda, yaitu, Garril memang sengaja tak membukakan pintu untuknya. Miranda tahu, pria itu pasti enggan menemuinya.

Miranda menghela napas panjang. Ia menurunkan tangannya yang lumayan pegal. Ia sudah hendak berbalik, ingin pulang saja, tapi pintu apartemen pria itu lebih dulu terbuka.

Miranda sudah menyiapkan cerocosan panjang untuk Garril karena tak kunjung membukakan pintu, namun hanya berakhir di tenggorokannya. Ia urung karena melihat sesosok perempuan dengan penampilan kacau berdiri di ambang pintu apartemen pria itu.

Wanita itu hanya mengenakan kemeja warna biru gelap yang kebesaran di tubuh mungilnya, juga celana pendek yang hanya sebatas paha. Dua kancing teratas kemeja itu sudah terbuka, menampakkan belahan dada perempuan itu yang cukup berisi.

Meskipun penampilannya bisa dikatakan buruk, tapi Miranda yang sebagai wanita tahu, perempuan itu cantik luar biasa. Benar-benar sangat cantik.

Miranda meneguk salivanya susah payah. Prasangka-prasangka buruk langsung merasuk ke dalam otaknya tanpa ia minta, juga ia undang. Ingatannya otomatis langsung melayang ke percakapannya dengan Dokter Andreas juga Dokter Kaev pagi tadi.

Mungkin saja perempuan itu adalah perempuan yang sama dengan yang Dokter Andreas maksud. Terlebih melihat penampilannya yang sudah pasti baru melakukan hal yang tidak-tidak dengan Garril.

"Hei, aku tanya kamu dari tadi loh," tegur perempuan tadi sambil menepuk bahu Miranda.

Miranda mengerjap. Ia baru tersadar dari lamunannya. "Eh iya, apa ya? Maaf, saya kurang fokus," ringisnya tidak enak. "Kamu tanya apa tadi?"

"Kamu siapa dan ada keperluan apa?" Perempuan itu mengulangi pertanyaannya yang tak sempat Miranda dengar dengan bola mata yang berotasi.

"Eung, saya Miranda, dan ini---" Miranda mengangsurkan paper bag berisi tuperware yang ia bawa ke depan perempuan itu, lalu melanjutkan, "---dari ibu saya untuk Garril. Ucapan terima kasih karena tadi udah ditolong sama dia."

Perempuan cantik itu mengangguk-angguk tanpa ekspresi. "Oke makasih juga. Entar aku bilangin sama Mas Garril. Tadi kayaknya dia lagi mandi. Biasa, baru olahraga malam terus keringetan." Ia mengedik santai, sementara Miranda kesulitan meneguk air ludahnya.

Olahraga malam, dua kata bermakna ambigu itu terus berdengung di rungu Miranda. Dugaannya berarti benar.

Patah sudah hatinya. Miranda tak tahu bagaimana cara merekatkannya kembali. Ia tak menyangka Garril akan sebegitu bejatnya, bermain hal yang tak senonoh dengan perempuan yang bukan istrinya.

"Em, kalau gitu saya pamit dulu. Selamat malam." Miranda berkata dengan cepat, tak kuat menahan desakan air mata yang berlomba-lomba ingin keluar.

Ia lantas menganggukkan kepalanya sekali, sebelum berbalik dan pergi meninggalkan apartemen itu tanpa menunggu balasan lebih dulu dari wanita tadi.

Hancur. Hancur. Hancur. Miranda mendengar suara patahan yang saling sahut-menyahut di dalam hatinya, menyisakan luka parah yang memenuhi permukaan lambang cinta itu. Rasanya sangat sakit dan rasa sakit itu benar-benar menyiksanya. Dadanya bahkan mulai menyesak dan tenggorokannya terasa menggondok.

Ini benar-benar menyakitkan. Garril sudah berhasil mematahkan hati Miranda dengan sangat hebat.

TBC

Involunter [Tamat] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang