6. Bomb

1.3K 154 2
                                    

Seharusnya, setelah tadi malam Garril mengusirnya secara terang-terangan, Miranda pergi dari apartemen pria itu. Bukan malah memilih tinggal dan tidur di sana tanpa seizin sang pemilik. Ditambah sekarang dia juga mulai lancang, menjamahi peralatan memasak dan juga bahan-bahan mentah yang tersedia di lemari pendingin pria itu. Apa boleh buat, Miranda cukup takut untuk keluar di jam selarut tadi malam. Agak trauma dengan kejadian yang menimpanya sebelum itu juga.

"Kenapa kamu masih ada di sini? Bukannya kemarin malam saya sudah bilang pada kamu untuk pergi dari tempat tinggal saya?" Suara berat Garril yang berdiri tak jauh di belakangnya, membuat Miranda terkejut bukan main. Refleks, ia menjatuhkan frying pan yang sedang ia cuci hingga menimbulkan bunyi dentingan yang cukup nyaring di telinga.

Miranda kemudian memungut alat penggorengan itu dan memutar tubuhnya supaya bisa berhadap-hadapan langsung dengan Garril.

Sejenak ia sempat merasa terpesona dengan penampilan pria itu. Jarang sekali ia melihat Garril berpakaian santai, biasanya pria itu selalu mengenakan kemeja slimfit dan juga celana bahan. Tapi sekarang Garril terlihat memakai kaos dan celana training yang warnanya senada.

Jika kebanyakan lelaki mapan terlihat begitu memukau dengan pakaian kerjanya, tapi menurut Miranda, Garril jauh seribu kali lebih tampan saat mengenakan pakaian santai itu. Mungkin terdengar sangat hiperbola, tapi untuk ukuran wanita yang jatuh cinta itu normal saja. Sejelek apa pun pria itu, tetap saja dia akan menyebutnya lebih tampan dari siapa pun pria yang ada di Bumi. Cinta memang buta dan membutakan siapa saja.

Miranda berdeham sebentar untuk melonggarkan kerongkongannya. "Eung, aku, aku lagi buatin kamu sarapan. Jadi maaf, kalau aku udah sembarangan sentuh dapur kamu," Suaranya persis seperti cicitan. Miranda terlalu gugup berhadapan dengan pria itu. Ia agak salah tingkah juga, apalagi mendapat tatapan seintens itu dari Garril.

"Saya nggak tanya kamu sedang apa, saya tanya kenapa kamu masih ada di tempat saya? Mengganggu saya saja." Garril menyahut dengan ekspresi datarnya.

"Ehm, kamu tahu kan, kemarin itu udah malam banget. Aku takut aja kalau pulang sendiri, masih agak trauma juga sama pria-pria nggak jelas itu," jawabnya dengan seulas senyum yang ia pasang di wajah kecutnya.

Garril tak membalas lagi, pria itu bahkan sudah hendak memutar tubuhnya untuk kembali ke kamarnya. Berhadapan-hadapanan dengan Miranda membuat mood baiknya hilang begitu saja, tapi sialnya perempuan yang menjadi biang keladi itu malah menahannya.

"Aku buatin kamu sarapan tadi. Omelet sama sosis goreng. Masih hangat semua, jadi lebih baik kamu makan dulu, kalau udah dingin rasanya pasti jadi aneh," kata Miranda dengan cepat. "Aku juga bikinin kamu kopi. Aku pikir kafein cukup baik kalau diminum di pagi hari," imbuhnya lalu memperlihatkan deretan giginya yang rapi. Berharap dengan begitu, Garril bisa terpesona.

"Sarapan bukan kebiasaan saya. Jadi percuma saja kamu bangun pagi-pagi dan buatin saya makanan. Lebih baik kamu makan sendiri makanan itu, setelah itu kamu bisa pergi dari apartemen saya. Ini pagi, bukan malam. Kamu bukan anak kecil, kamu pasti berani pulang sendiri," Garril memutar tubuhnya lalu berbalik menuju kamarnya kembali.

Garril bohong perihal dia yang tidak suka sarapan. Faktanya, dokter spesialis bedah jantung itu tidak pernah absen dari makan paginya. pH basa di lambung Garril seringkali menurun, sehingga asam lambungnya naik. Dia tidak bisa melewatkan begitu saja rutinitas paginya itu.

Tapi mengingat ada Miranda di dapur dan perempuan itu sudah sangat lancang menyentuh alat-alat memasaknya, Garril menjadi sangat tidak berselera. Ia bahkan juga urung keluar rumah untuk melakukan olahraga pagi di taman sekitaran gedung apartemen yang ia tempati, seperti kebiasaannya sebelum mandi dan berangkat kerja.

Garril memilih berbaring kembali ke atas ranjang. Matanya terpaku pada kaligrafi berlafadz 'Allah' yang sengaja ia pasang di dinding kamar, di atas jam dinding untuk mengingatkan pada dirinya sendiri untuk selalu senantiasa beribadah pada Dzat Yang Maha Besar itu.

Ada banyak hal yang memenuhi pikiran Garril. Bukan sesuatu yang sederhana, karena faktanya ini lebih kompleks dari yang terlihat.

Garril menyentuh dadanya, ia tahu perasaan yang selama ini ia rasakan adalah suatu kesalahan besar. Ia tidak mungkin mencintai wanita seperti Kanaya yang telah menjadi milik orang lain. Garril berulang kali harus mengingatkan dirinya kalau wanita itu sudah menikah.

Garril Pramono, ia bahkan sempat menyesalkan takdirnya, meski ia tahu hal itu membuatnya sangat berdosa di hadapan Tuhan. Ia sudah lama berada di samping Kanaya, menjadi sahabat terbaik wanita itu, tapi apa yang sekarang ia dapat, perempuan itu malah lebih memilih pria lain. Mungkin, hal itu memang kesalahan Garril sendiri. Ia terlanjur menjadi pengecut yang hanya memendam perasaannya pada wanita yang ia cintai.

Suara ketukan di pintu yang terdengar agak keras membuyarkan lamunan Garril. Ia memutuskan atensinya pada kaligrafi itu lalu menolehkan kepalanya ke arah pintu. Mendengkus kesal, ia sudah bisa menebak siapa gerangan si pengetuk itu.

Perempuan keras kepala itu, siapa lagi. Batin Garril mulai bersuara.

Ia sama sekali tak berminat beranjak dari posisinya, bukan karena ranjang superempuknya, tapi karena ia malas saja berhadapan terlalu lama dengan perempuan itu.

Penilaian Garril tentang Miranda sangat buruk. Tentu saja, perempuan itu tiba-tiba bersikap agresif padanya. Garril tidak nyaman, dan menjauh adalah opsi yang paling tepat untuk ia lakukan. Lagipula Garril juga punya alasan lain yang lebih dari itu. Kanayanya--ngomong-ngomong Garril suka dengan pengeklaimannya itu--harus menelan rasa sakit hati karena perlakuan kurang adil orang tuanya. Wanitanya itu selalu dibanding-bandingkan, selalu dinilai bodoh, dan tidak kompeten. Ya, itulah permasalahannya kenapa ia menjadi begitu membenci Miranda. Padahal dulu--dulu sekali--, hubungan keduanya lumayan baik. Garril sangat akrab dengan Miranda.

"Garril, ini Mama! Bukain pintunya! Kamu mau jadi anak durhaka, he?!" Tapi suara familier yang mengaku-aku ibunya itu membuyarkan semua asumsinya.

Fakta yang dia dapat, si pengetuk pintu bukan Miranda, tapi memang benar Ibunya. Garril sempat bingung, kenapa bisa wanita yang telah mengandungnya selama sembilan bulan itu berada di apartemennya?

Seingat Garril, wanita di akhir kepala lima itu sedang mengunjungi pameran lukisan di negara yang sering di sebut Kincir Angin. Oh ya, wanitu itu memang penggiat seni. Ia akan dengan sukarela menghambur-hamburkan uang hasil jerih payah putra semata wayangnya untuk menikmati hasil goresan warna yang sangat menakjubkan itu.

Garril sontak langsung bangkit, lalu bergegas membuka pintu. Dan benar saja, ibunya sudah berdiri dengan kedua tangan yang berkacak pinggang. Tebakannya tak seratus persen salah, ada Miranda juga di sana yang berdiri dengan kepala yang menunduk.

Garril mulai merasakan suasana yang tidak enak. Aura-aura di sekelilingnya mulai menggelap.

Ibu Garril terdengar mendecakkan lidah. "Kamu ya, pergaulannya bebas banget. Pantes Mama ajak tinggal serumah nggak mau, taunya kamu tinggal sama perempuan. Mana belum nikah lagi," omel beliau dengan wajah memerah. Kentara sekali kalau wanita paruh baya berpenampilan elegan itu sedang murka.

"Halalin dulu, baru tinggal seatap. Baru kawin. Baru bikin anak. Nggak kayak cara kamu gini. Asal nyoblos sama wanita nggak jelas," omel beliau dengan frontal.

Kalau ibunya sudah nyerocos seperti itu, Garril tidak akan bisa menyela. Jadi, untuk saat ini yang perlu ia lakukan adalah diam dan mendengarkan saja sampai ibunya lelah sendiri.

TBC

Involunter [Tamat] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang