.
.
.Setiap manusia diberi hati untuk merasakan kepekaan sekitar. Tapi, anehnya, aku tak peka saat kau bilang perasaan di dalam dirimu mulai memudar. Semua berjalan terlalu baik-baik saja untuk aku menyadari bahwa hatiku sudah di ujung lempar. Sehingga aku harus membongkar semak belukar, mencari-cari alasan kenapa yang manis selalu akan menghambar?
Aku kira kita telah berada di usia “berkomitmen atau tidak sama sekali.” Artinya, bukan lagi masanya untuk kita datang, bilang cinta, lalu pergi.
Sepertinya ini hanya soal kebiasaan. Kau melatih dirimu untuk biasa menerima, atau biasa mencari lagi saat mulai merasa hampa. Jadi mungkin bukan salahku ketika kau pergi tapi tak ingin mengakhiri. Bukan pula salahmu yang menganggap kita masih belum waktunya untuk berjanji. Sepertinya memang sudah waktunya. Sepertinya restu dunia bukan lagi milik kita.
Aku tak mau mengguruimu, tak mau mendikte perlakuanmu padaku. Biar kau belajar sendiri, bahwa sebab-akibat itu benar ada dan perlu dipahami. Seandainya kau mau berpikir dua kali, seandainya kau tahu tak semua menyediakan kesempatan kedua kali, kau tak akan kehilanganku, aku takkan semarah ini denganmu.
Kukira kita sudah harus belajar dewasa. Tapi, kau masih saja fokus pada “apa yang membuatmu bahagia, apa yang bisa dipotong saat itu juga.” Seperti seorang anak di dalam masa tumbuh, belajar memisahkan mana yang menurutnya berguna dan tidak berguna.
Kapan-kapan, menulislah kau dengan tanganmu sendiri. Jujur saja apa yang sedang terjadi, apa yang mengganggu, apa yang ingin sekali kaubenahi. Pasti yang salah selalu bisa diperbaiki; tak bisa serta-merta dihancurkan, tak bisa serta-merta hilang arti.
Kita sudah pernah berkali-kali berjuang sebelum ini. Sebelum pertemuan kita pun, harusnya ada kehilangan yang akan membuatmu tak ingin mengalaminya dua kali. Harusnya, dulu, sebelum kau mencoba untuk menelaahku, kau harus mengkaji dirimu sendiri. Setelah itu mungkin baru kautahu, sebesar apa harapan yang harus kauberikan, agar di akhir aku tak merasa terlalu dikecewakan.
Kalau kisah hanya tersisa kisah, kalau kau belum juga berkaca dan ingin berubah, aku berani untuk hidup sendiri.
Kalau ikatan tali sudah terurai, kalau keeratan kita sudah selesai, aku berani melangkah pergi.— Nawang Nidlo Titisari
-;Han.