.
.
.
.
Aku mencintaimu, sungguh. Namun dengan segala macam kemungkinan ketidakberpihakan takdirNya pada kita, aku ingin mencintaimu dengan tahu diri dan tahu batas.
Aku harus tahu kapan waktuku untuk berhenti memberi. Memberi kabar, perhatian, peduli, janji, bahkan bila itu hanya sekadar puisi.
Aku harus tahu kapan waktuku untuk berhenti berharap lebih. Bahwa pada satu titik, aku harus rela melepaskanmu dan melanjutkan hidupku. Meski dengan sakit yang begitu nyeri.
Aku harus tahu kapan saatnya aku harus tersenyum ketika mengingatmu. Karena mengenang yang sudah terjadi, pada beberapa hal, jelas lebih baik daripada berandai-andai bagaimana seandainya hal tersebut terjadi. Sesal karena tidak pernah mencoba, pasti tidak menyenangkan untuk diingat berulang kali.
Aku pun harus tahu, kapan waktu yang tepat untuk membuka diri setelah mencintaimu sepenuh hati. Karena bila bukan denganmu aku dijodohkanNya, kita tak akan sampai ke mana-mana.
Pada akhirnya, mencintaimu aku harus selalu tahu batas. Tahu kapan kau harus kuperjuangkan karena kau memang pantas, dan tahu kapan harus pergi, karena ternyata kita adalah pasangan sepintas.
— Tia Setiawati
-;Han.
.
.
.